Skip to main content

Koherensi

Ramadan bulan ini agaknya sedikit menarik dari biasanya. Bulan dimana setan dibelenggu, banyak manusia menjadikan dirinya sendiri PLT dalam menjalankan tugas setan di dunia. Menjauhkan akal dan rasa makhluk dari Tuhannya 😂

Tersebutlah Euro, Manila Major, Brexit, amburadulnya mudik, kampanye spesial Trump, bom, Copa Amerika, hingga PokemonGo yang baru rilis. Bagi saya beberapa hal yang sebelumnya tertulis memang cukup menyita perhatian. Menilik Ramadan sebelumnya yang agak kacangan, godaan untuk kembali mengulang kesemenjanaan makin bergelora tentunya.

Sejatinya banyak hal yang bahkan untuk ukuran manusia sekilas bayangkan, tidak dapat dicerna sama sekali. Etapi baru sadar....

Tulisan ini adalah tulisan bertema bulan Juni dengan topik good team.

Untuk memulai, mari kita ulik definisi suatu tim. Kumpulan. Entitas jamak dari ketunggalan yg bekerjasama untuk melaksanakan tujuan tertentu. Sinkronisasi. Kerjasama. Atau semua nama yang dapat engkau sematkan menurut hematmu. Atau singkatnya, singular -> plural -> proses -> output menurut hematku. Dan dengan kata sifat good didepannya, sebuah good team pada hakikatnya dapat men deliver tujuan yang dimilikinya secara sempurna. Komplit. Utuh. Sesuai dengan apa yang ditargetkannya. Dan karena kata good ini memiliki interpretasi yang sangat beragam dari satu dengan yang lainnya, mungkin dari sinilah banyak muncul perbedaan. Intinya kembali ke tujuan tim tersebut.

Mari kita ambil contoh. Katakanlah good team dalam hal sepakbola, buat saya, good team dalam hal ini adalah mendapatkan hasil. Sebuah gelar juara misalnya. Kalau hal tersebut adalah patokannya, maka jadilah hal tersebut. Apabila dikemudian hari tim tersebut tidak mendapatkan hasil sesuai target, maka akan saya katakan tim tersebut bukan lah good team. Mau main sebagus apapun. Sebaliknya, apabila tujuan tercapai, entah bagaimanapun kelihatannya, entah bagaimanapun caranya, tim yang dibentuk tersebut merupakan good team. Mau dibilang tidak punya striker pun, mau dibilang main kasar pun (selama masih dibawah naungan peraturan), mau dibilang apatis pun, mau dibilang hokipun, mau dibilang one-man team sekalipun, tetaplah sebuah good team.

Untuk konteks lain, katakanlah tim dota, seorang dengan bakat sejago apapun apabila tidak dapat bekerjasama dengan timnya, tentu hanya akan berakhir sia-sia. Mau se imba apapun stategi yg dipakai seorang kapten, kalau pada eksekusinya banyak flop, kemenangan di depan mata mudah sekali untuk sirna.

Atau mencoba jadi kaya Ridwan Kamil sedikit, mari kita kaitkan dengan konteks menikah. Tim suami istri dan bagi yang berkelimpahan ada anak menyertai. Itu bisa jadi merupakan tim terlama dalam hidup manusia. Tujuannya? Surga bersama-sama. Biar bagaimanapun dinamikanya, tim yang baik versi ini akan mampu reuni di tempat peristirahatannya kelak, bukan?

Lalu kenapa harus ada good team? Jawabannya sesederhana manusia yang tak bisa hidup tanpa orang disekitarnya. Tak selamanya manusia bisa bergantung pada dirinya sendiri, dan oleh Tuhan, diberikannya kesempattan untuk memudahkan menjalankan tugas dengan terciptanya manusia lain.

Hm. Kalau dipikir lagi, sebuah good team tidak melulu soal hasil dan tujuan. Namun juga keselarasan didalamnya. Boleh jadi sebuah tim berhasil mencapai tujuannya dan banyak yg menilai bahwa hal tersebut hanya sumbangsih beberapa bagian saja. Namun sebenarnya ada tambal sulam disitu. Alam semesta bekerja dengan rapih. Tiap bagian dalam keseluruhan memainkan perannya, baik dominan maulun inferior. Dan keselarasan yang terjadi itulah yang menjadikan tim tersebut berhasil

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Ayah yang Khawatir

Menurutku, semakin kita bertambah dewasa, beberapa istilah yang kita kenal dari kecil akan berubah perwujudan konkretnya di kepala, antara melebar dan mendalam. Kita tidak lagi terpaku hanya pada makna harfiah saja. Istilah hanya digunakan untuk mengerecutkan maksud komunikator kepada komunikan. Pemahaman komunikan, lagi-lagi dipengaruhi  oleh perubahan tersebut.