Skip to main content

Tentang Awal Ramadan


Empat belas tahun lalu, saya merupakan anak kecil imut menggemaskan (menurut kerabat terdekat saya) yang gemar berkelahi, bermain, dan bersepeda. Dan masih jelas di ingatan akan teriknya sinar mentari pada tengah hari, betapa menyegarkannya air wudlu yang melewati dahi, dan betapa dangkalnya esensi puasa yang dijalani. Tapi tulisan ini tidak akan membahas tentang kenangan-kenangan tersebut. Melainkan sedikit opini saya akan Ramadan secara prinsipil, intrikasi atas pelaksanaan, dan menyikapinya.
 
Sewaktu saya mengenyam pendidikan Aliyah di Insan Cendekia, saya banyak terekspos dengan keilmuan astronomi. Kurang lebih tiga tahun saya belajar mulai dari dasar dan dengan segala puji bagi Tuhan tidak sulit bagi saya untuk memahami penentuan Ramadan dengan metode hilal secara ilmiah. Dan dengan basis islam kuat dari sekolah saya, sudut pandang agama dari hal tersebut pun dapat saya kuasai.

Tulisan ini sebenarnya mulai terlintas untuk dikerjakan semenjak beberapa waktu silam saat maraknya isu perbedaan mulai serta berakhirnya Ramadan dipolitisasi oleh berbagai pihak terkait. Dan saya sangat benci dengan hal tersebut. Saat itu saya belum memiliki kesempatan dan nyali untuk menulisnya. Tapi tidak sekarang.

Mari kita mulai. Indonesia itu sangat unik. Mulai dari aspek geografis, kultur masyarakat, hingga diversitas keyakinan khususnya Islam sendiri. Dan tiga hal tadi baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi penentuan Ramadan.
Apa hubungannya?

Sebagai mayoritas penduduk muslim letak Indonesia dapat dikatakan jauh dari Mekah. Ini dapat berhubungan dengan rukyatul global. Letak lintang dan bujur yang berbeda pun tentunya dapat mengakibatkan perbedaan kondisi langit yang berbeda pula.
Secara kultur, masyarakat Indonesia satu golongan dan lainnya memiliki kecenderungan untuk bangga atas golongannya sendiri dibanding yang lainnya.
Dan secara kepercayaan, keempat mazhab besar muslim ada di Indonesia. Dimana setiap mazhab memiliki ijtihad dan illat nya masing-masing.

Disinilah sebagai muslim kita ditantang untuk tidak menilai sesuatu secara parsial saja. Akan tiba masanya ketika keputusan atas segala sesuatu mulai dilakukan secara komprehensif dari sisi agama, ijtihad-ijtihad yang ada hingga ilmu sains yang berkembang karena pada dasarnya semua hal tersebut linear. Berjalan beriringan dan menguatkan satu sama lain.

Prinsip fundamental

Bulan Ramadan adalah bulan spesial. Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Baginda Rasulullah saw bersabda,

ل الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ


”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080)

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا


“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.” (HR. An Nasai no. 2116. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadan dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadan cukup dengan satu saksi karena hadits ini dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/92)

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

“Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari ketiga hadits tersebut, jelas bahwasanya terdapat perintah atas muslim untuk mengawali dan menutup puasa dengan berpatokan dengan bulan.

Metode penentuan awal bulan

Wujudul Hilal

Populer disebut dengan hisab di Indonesia. Metode ini adalah dengan menghitung posisi bulan di bola langit. Biasa digunakan oleh ormas Muhammadiyah di Indonesia. Prinsip metode ini:
  1. Konjungsi/fase bulan baru sudah masuk sebelum matahari tenggelam
  2. Saat matahari tenggelam posisi bulan sudah di atas ufuk
 
Imkanur Rukyat

Populer disebut dengan rukyat di Indonesia. Metode ini umum digunakan dalam sidang isbat yang rutin dilaksanakan tiap tahun. Prinsip metode ini:
  1. Konjungsi/fase bulan baru sudah masuk sebelum matahari tenggelam
  2. Umur bulan baru minimal sudah mencapai 8 jam
  3. Jarak Bulan dari horison minimal 2o" lengkung langit saat mengamati hilal
  4. Jarak Bulan-Matahari di Bola langit minimal 3o" lengkung langit
 
Rukyat Global

Metode ini sangat sederhana. Pada praktiknya cukup dengan mengikuti kapan Arab Saudi melaksanakan salat Ied. Metode ini biasa dilakukan oleh negara-negara yang tidak memiliki sumber daya muslim yang memahami astronomi secara mumpuni, khususnya bola langit.

Seputar awal Ramadan

Tentang kelebihan dan kekurangan metode: Keunggulan wujudul hilal adalah dapat dilakukan kapan saja bahkan hingga ribuan tahun ke depan. Kekurangannya hadits nabi yang menjadi prinsip penentuan memiliki pengartian lain dalam praktiknya; Keunggulan imkanur rukyat (dengan peralatan astronomi tentu) adalah ketepatan dalam menghitung awal dan akhir ramadhan karena metode ini tentunya mutlak membutuhkan hisab terlebih dahulu untuk waktu pengamatan serta posisi pengamatan bulan di bola langit. Kekurangannya adalah membutuhkan teknisi yang memahami astronomi secara baik mulai dari tahap menghitung, mengamati hingga mengambil kesimpulan. Selain itu perlu adanya peralatan untuk pengamatan; Keunggulan rukyat global adalah tidak perlu pusing-pusing, tinggal ikut pemerintah arab sebagai patokan. Kekurangannya adalah yang menjadi referensi rukyat hanya satu tempat padahal perubahan fase bulan dinamis setiap detiknya. (Hal yang menyebabkan hasil rukyat di berbagai tempat bisa berbeda).

Mengenai perbedaan beberapa ormas: Dengan berbagai perbedaan yang ada, sangat mungkin terjadi perbedaan awal dan akhir Ramadan bagi masing-masing ormas. Apakah lantas ada yang salah dan benar? Bukan seperti itu. Selama memegang prinsip masing-masing dan tidak ikut-ikutan, dibolehkan dan merupakan fitrah terjadi perbedaan.

Tentang perbedaan Ramadan di tiap negara: Banyak negara dengan minoritas muslim yang menggunakan rukyat global. Wajar adanya tidak banyak muslim pada daerah-daerah tertentu yang paham ilmu astronomi. Selain itu ada pula negara yang karena faktor politis mengikuti rukyat global sebagai penentuan.

Perihal sidang isbat hanya untuk Ramadan: Ramadan dinilai merupakan bulan yang paling mulia dari segala bulan yang ada. Kenapa hanya Ramadan? Karena perintah Rasul untuk Ramadan perlu berpatokan pada kepastian fase bulan. Seperti prinsip pada tiga hadits di atas (bulan dinamis, supaya lama puasa adil untuk semua bagian dunia(?).

Seistimewa itu Ramadan.
 
Opini Penulis

Perlu diketahui tentang menulis artikel ini, saya memiliki kecenderungan untuk menggunakan wujudul hilal. Tentunya hal ini saya pertunjukkan untuk memberikan perspektif yang adil bagi pembaca untuk dapat menentukan pilihannya. Terkait dengan dasarnya, dapat dilihat pada tautan ini. Semoga dengan masih diperkenankannya kita menemui Ramadan kali ini makin membuat semangat kita untuk beribadah makin menyala. Jangan sia-siakan bulan spesial ini dengan senda gurau belaka. Jalan kita masih panjang kawan. Cheers!
















































Extras

“Dua tahun lalu (2014), para ormas dimarahi Profesor Thomas dan Pak Moedji dari ITB. Mereka mengatakan kalau Muhammadiyah lancang karena mengandalkan hisab saja tanpa mau rukyat. NU sendiri lontong karena tidak tegas dalam memberi prediksi lebaran sejak awal serta kurang komprehensif dalam menerapkan ilmu modern. Pemerintah sendiri payah karena menyebabkan kebingungan di masyarakat. Dan Masyarakat masih acuh-tak-acuh terhadap hal ini, khususnya muslim.” - Emil Fahmi Yakhya

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Ayah yang Khawatir

Menurutku, semakin kita bertambah dewasa, beberapa istilah yang kita kenal dari kecil akan berubah perwujudan konkretnya di kepala, antara melebar dan mendalam. Kita tidak lagi terpaku hanya pada makna harfiah saja. Istilah hanya digunakan untuk mengerecutkan maksud komunikator kepada komunikan. Pemahaman komunikan, lagi-lagi dipengaruhi  oleh perubahan tersebut.