Pernah
mendapat tanggapan garing dari seseorang? Saat kau sedang gereget-geregetnya dalam
menceritakan sesuatu, ia hanya berpaling dan membalas satu kata “ya” bonus muka
datar. Aku yakin, ada secuil dari rasa kecewa di dirimu akan itu.
Aku tak akan membicarakan etika disini,
karena jika aku membahas tentang etika maka tulisan ini jadi sangat pendek dan
aku akan langsung ditentir oleh kontributor sebelah. Satu hal yang aku bahas
disini adalah “apa yang menurut seseorang yang kau anggap penting itu penting,
maka itu akan penting untukmu juga”. Entah seberapa persen signifikansi hal
penting itu baginya, dirimu akan “otomatis” peduli juga.
Yep. Ada faktor x yang membuat kita
demikian. Adanya faktor x ini membuat ibumu tersenyum walau ayahmu salah
membelikan barang titipannya. Adanya faktor x ini membuat pujangga
terus-terusan mengagungkan subjek yang sama. Adanya faktor ini, membuat ayahmu
membiarkanmu lari sekencang-kencangnya walau resikonya jatuh. Tanpa aku
sebutkan, kau sudah paham faktor x yang aku bicarakan, bukan?
Kalau belum juga, biarkan aku mengulangnya
dengan penjelasan yang lebih panjang. Kau tak perlu bingung kenapa ibumu malah
tersenyum padahal ayahmu salah membeli barang. Ibumu paham, bahwa ayahmu bangga
terhadap usahanya membelikan istrinya barang titipan itu. Ayahmu pahamnya bahwa
ia telah berhasil meluluskan permintaan orang yang dicintainya. Agaknya ayahmu
akan kecewa jika ternyata ibumu malah ngomel, bukan? Ibumu berusaha tidak
membuat ayahmu kecewa dengan dirinya sendiri, sedikitpun.
Untuk contoh ketiga, kau dibiarkan
berlari. Tentunya kau sudah diberitahu untuk tidak berlari, ah tapi
apalah...kau baru tahu rasanya angin yang menggelitik telingamu dan menyeruak
di antara rambutmu. Kau tak mau berhenti. Ayahmu membiarkanmu. Kau tak tahu
seberapa khawatirnya ia. Tapi toh tetap ia biarkan juga kau berlari, karena
disaat berlari kau tertawa lebar sampai seakan-akan ayahmu akan dosa jika tak
ikut tersenyum denganmu.
Jadi inspirasi tulisan ini berawal dari
curhatan seorang sahabat yang kemudian aku olah dengan intuisi a la a la. Hanya
perlu waktu 2 bulan sampai yang aku prediksi jadi kenyataan. Tidak berhenti
disitu, lalu aku introspeksi dengan hubungan orang-orang di sekitarku. Dan
ternyata benar saja, konsep di atas berlaku untukku.
Walau kita merasa masa bodoh, merasa aneh,
merasa ngantuk, takut, dan bahkan illfeel
dengan topik pembicaraan oleh
seseorang yang kita anggap penting, kita akan selalu menemukan cara untuk
membuatnya nyaman dan melanjutkan topik atau tingkah itu. Karena lagi-lagi, itu
penting untuknya.
“Saya kira, cinta itu adalah
memahami. Bukan menjelaskan. Karena semakin banyak penjelasan, maka semakin
rapuh pondasinya.” Tere Liye
Jika
kita memahami apa yang membuatnya bahagia, seharusnya itu membuatmu bahagia
juga. Entah jika itu hanya jalanan yang bertepian dengan laut, bulan purnama
atau kerupuk yang setengah basah karena kuah.
Seharusnya
lebih dari sekedar kata “ya” dan muka datar. Kita mempunyai berjuta pilihan
tanggapan akan hal yang membuatnya bahagia. Kau bisa bertanya untuk membantumu
memahaminya, misal sejak kapan? Apa yang kau lihat? Apa yang kau ingat? Mengapa
menurutmu begitu? Oke oke, atau jika kau bukan penanya ulung atau sedang lelah,
cobalah tersenyum dan biarkan ia melanjutkan ceritanya. Aku yakin, itu sangat
lebih baik dari paket combo “ya” dan muka datar.
Entahlah,
agaknya aku kecewa dengan banyaknya orang yang tak menghargai usaha orang lain
yang telah men-transfer energi positif nya dengan cara memberi tahu orang
kepercayaannya tentang hal yang membuat nya bahagia namun mendapat respon
garing. Ayolah, kau bisa berikan respon yang lebih baik dari itu. Toh
kebahagiaan itu menular, respon garing hanya akan membuatmu kebal terhadap
virusnya.
Comments
Post a Comment