Akhir tahun memang hal yang paling ditunggu bagi sebagian besar penduduk dunia. Selebrasi, liburan, keluarga, hingga rehat dari rutinitas, adalah hal yang banyak ada di benak. Wajar memang. Terlebih ketika akhir tahun 2k15 kemarin jatuh pada hari terakhir kerja efektif menurut banyak kalender yaitu hari Jumat. Well, awal tahun baru 2k16 kuhabiskan dengan mengamini ajakan jalan-jalan sekaligus menghadiri pesta kebahagiaan seorang teman semasa Aliyah karena telah menyempurnakan separuh agamanya. Perjalanan yang akan ditulis kali ini adalah perjalanan pada tanggal satu hingga tiga.
JOGJA
Perjalanan
kumulai dari Yogyakarta menuju Malang, dimana akad dan walimatul ‘ursy
berlangsung. Dengan bermodalkan kenekatan untuk memesan tiket kereta dari 2
bulan sebelumnya, berangkatlahku bersamaan dengan rekan berperjalanan di
penghujung hari terakhir 2k15. Sadar bahwa hari itu merupakan hari pergantian
tahun, sempat nyaris terlupa bagaimana moda transportasi yang kita akan gunakan
dari meeting point hingga ke stasiun. Dan mengingat jam keberangkatan 20.45 yang
beriringan dengan persiapan tahun baru dan mempertimbangankan posisi stasiun
yang berada di tengah kota, opsi akomodasi ternyaman yang akan kita pilih
mengerucut pada trans jogja dan taksi. (Iya. Kita menghabiskan tahun baru di
kereta. Kalau dibanding dengan teman-teman lain memang kita yang paling merana.
Tapi biar saja. Toh sudah bisa berangkat saja merupakan keajaiban bagiku dan
rekanku HAHAHA, mengingat suka duka yang harus kita alami pra keberangkatan).
Setelah
melakukan hal agak tidak penting (baca: pingsut), akhirnya kita memutuskan
untuk memesan taksi. Waktu itu waktu masih menunjukkan pukul setengah empat.
Dan setelah menghabiskan setengah jam menghubungi seluruh nomor telepon taksi
yang ada di internet, 12 maskapai yang terhubung tidak ada yang dapat
memberikan armadanya untuk kita tumpangi. HAHA DISITU UDAH MULAI PANIK. Waktu
tempuh dari meeting point ke stasiun sebenarnya hanya setengah jam, namun persiapan
tahun baru merubah segalanya. TAPI PANIKNYA MASIH KALEM. Oke, usaha untuk dapat
kendaraan publik yang lebih enak gagal. Berjalanlah kita ke halte trans
terdekat. Sampai disana dan bertanya soal jalur yang akan ditempuh, penjaga
halte memberi tahu kalau rute ke stasiun sangat macet. Dan karena bus kota yang
jalannya banyak berputarnya, dua jam adalah waktu tempuh yang dia perkirakan.
HAHAHA PADAHAL UDAH MAU JAM 5. NTAR GIMANA SALAT NYA KALAU DI BIS DOANG DUA
JAM. Oke, setelah perundingan singkat akhirnya kita memutuskan untuk mencari
peruntungan di jalan. Mulai dari melambaikan tangan hingga agak kerenan dikit
nyari info taksi yang bisa dipesan lewat Hp kita lakukan.
CLING. Dengan
seksama dalam waktu yang singkat sekali dari kejauhan terlihat taksi dengan
lampu yang menyala. KEAJAIBAN LEWAT. Pak supir lupa matiin lampu kalau udah ada
penumpang yang masuk. Maklum, taksi Jogja belum secanggih itu. Untungnya, kita
termasuk golongan yang sabar. Kita masih dikasih rezeki dengan datangnya
seorang bapak taksi tak lama setelah itu. Ndak perlu nunggu lama yang jelas.
Ohya, karena padatnya volume kendaraan ke arah kota dan setelah berbincang
sejenak dengan supir, beliau akhirnya hanya mengantar hingga ke spot paling
dekat yang mampu dicapai taksi tanpa kemacetan yang berarti. Demi kebaikan
semua pihak. Jadilah kita harus menempuh jarak sisa ke stasiun dengan berjalan
kaki. Lumayan. Sekitar satu kilo sekalian dengan cari makan. Mana ada yang pake
sweater dobelan berasa mau ke Jayawijaya lagi. Entah gimana perasaan si pemakai
sweater menghadapi kenyataan dan keringat yang bercucuran. Dari sini perjalanan
terasa tentram. Entah emang Jogja yang bikin nyaman, atau fakta bahwa jam
setengah tujuh sudah ada di stasiun dan tinggal ishoma yang perlu kita lakukan.
Kereta datang tepat waktu, dan pada 20.45 berangkatlah kita menuju Malang.
MALANG
Hari pertama di
tahun 2k16. Kereta berada diantara Tulungagung dan Kediri seingatku saat suara
terompet bergema dimana-mana. Posisiku adalah antara sadar ingin terjaga dan
mabok ingin tidur. Hingga saat ini, aku tidak ingat berapa lama aku terjaga
pada malam itu. Yang tersisa hanyalah ingatan bahwa kami berkenalan dengan
sepasang pemuda/i dari UMY jurusan HI dan akuntansi yang akan berkelana juga ke
Malang, kereta pada malam itu yang dingin, susu bawaan kami yang tumpah ke baju
warna cerahku, dan perkelanaan kami ke gerbong-gerbong lain untuk sekedar
meluruskan kaki dan mencari sensasi (baca: kalor. Karena kereta juga cukup
dingin).
Dan sesampainya
di Malang sembari menunggu jemputan tiba, adzan berkumandang. Pas enaknya.
Salat dululah kita. Keluar dari stasiun, disambut dengan senyum ramah dari
jemputan (INI SEBENERNYA GATAU DIRI SOALNYA MINTA TOLONG DIJEMPUT TEMEN TAPI
MALAH TEMEN BAWA AYAHNYA HAHAHA). Berpisahlah rombongan (karena yang satu mau
datang nikahan dan satu lainnya ada misi silaturahim dengan orang). Satu ke
daerah Gajayana. Satu ke daerah lainnya. Ohya, satu kejadian menarik terjadi
saat pisah rombongan. Sebut saja temanku ini Ija. Ayah Ija mengira jemputan
yang satu lagi sudah datang, maka beranjaklah kita (rombongan nikahan) langsung
dari stasiun daripada membuang waktu. TAPI. Kita harus merelakan satu teman
menunggu sendirian di depan stasiun. Maksud hati nemenin nunggu, apa daya yang
punya kuasa mobil terburu waktu. Hiks. Begitulah. Komunikasi memang penting
dalam setiap laku dan pikir agar segalanya berjalan selaras.
Yosh. Setelah
istirahat super singkat dan beberes, datanglah aku ke akad temanku ini. Bersama
rombongan Ija yang menjemputku tentunya. Kita datang bertiga berstatus jomblo
dengan gagahnya ke Masjid Cahyaning Ati namanya di perumahan Permata Jingga.
Satu lagi adalah teman seperguruan Ija yang kebetulan adik tingkatku juga saat
Aliyah. Sebut saja namanya Rafis. Yang menarik adalah, si Rafis merupakan adik
teman seangkatanku, (sebut saja) Dzafhi. Kebetulan Dzafhi tidak hadir karena
masih menempuh studi lanjut di negara Nordik. Poin utamanya, Dzafhi ini dulu
sempat menaruh hati pada mempelai wanita saat Aliyah. BAH. Pun si Rafis ini
tidak tahu menahu soal itu, jadilah aku sebagai pembawa berita (agen
penghancur reputasi Dzafhi di keluarganya) dengan memberi tahu adiknya yaitu
Rafis. Yang aku tahu, awalnya Rafis menggoda kakaknya lewat pesan pribadi
karena kakaknya keduluan orang dalam bersegera. Entah jadi atau tidak rencana
Rafis menggoda kakaknya di forum pesan virtual keluarga mereka HAHAHA.
Akad berlangsung
khidmat dengan beberapa insiden kecil. Yang paling terkenang di hati saya saat
akad adalah ketika mempelai pria mengucap qabul. Ohya, sebut saja nama mempelai
pria Danar. Berbekal informasi dari intel terpercaya, aku tahu kalau si Danar
ini adalah hafidz (30 juz) yang sudah fasih berbahasa Arab. Namun. Saat.
Mengucapkan. Qabul. Dengan. Bahasa. Arab. Beliau. Terlunta. RUKUN PERKAWINAN
TERNYATA BISA BIKIN SEORANG HAFIDZ GEROGI COY HAHAHA. Perlu empat kali mengucap
barulah Danar secara sah sudah tidak jomblo lagi. Selesai janji suci diucap,
pengantin wanita maju dengan anggun (sambil menyempatkan melambaikan tangan ke
arahku. Kayanya sengaja deh. Sambil menyiratkan kalau dia mau bilang, AKU
DULUAN YAAAA). Tanda tangan buku nikah, pegang tangan mesra, tatap tatapan,
diteruskan dengan standar operasional oleh petugas KUA. Selesailah acara pagi
itu. Aku, Rafis, dan Ija kemudian pamit pulang setelah foto depan masjid yang
cukup kece itu.
Sampai di rumah
pukul sepuluh lebih sedikit. Hampir sejam kugunakan untuk menggenapi tidur yang
kurang di kereta semalam. Sementara Rafis dan Ija kembali mengerjakan suatu
slide yang mereka harus presentasikan hari esoknya. Biasa, dokter memang
kerjaannya ga pandang hari. Rafis dan Ija ini merupakan adik tingkat mempelai
wanita di kampus. Sebangunku, jam menunjukkan pukul sebelas lebih sedikit. Aku
linglung. Bingung membedakan antara dunia nyata dan alam mimpi. Aku memimpikan
bermain dota melawan orang Thailand dan saat bangun aku merasa janggal dengan
adanya backsound dari game yang sama kudengar. Ternyata adik Ija pelakunya. Dia
sedang main dota serasa tanpa dosa. Padahal sebentar lagi Jumatan. Untung kelar
sebelum ayahnya meriksa ke atas haha.
Selesainya
Jumatan kita bertiga diajak makan ayah Ija sebelum ke kondangan. Ternyata ayah
Ija juga akan menghadiri pesta ketidakjombloan Danar dan pasangannya juga. Usut
punya usut, temanku ini bekerja pada rumah sakit yang sama dengan ayahnya Ija.
Waktu itu pikirku agak percuma juga mau kondangan tapi kok makan dulu, tapi
ternyata selalu ada pelajaran yang bisa diambil kalau kita bersyukur. Sewaktu
acara berlangsung, waktu yang dipergunakan untuk makan terasa sayang jika
dibandingkan percakapan yang terjadi dengan teman teman lama. Tahu kenapa?
Karena pernikahan teman adalah ajang reuni kecil kecilan :D Dari jam satu kita
datang hingga sekembalinya kita selepas ashar, hanya hidangan penutup yang aku
santap demi sedikit lebih lama berbincang.
Ohya, banyak hal
menarik tentang teknis pesta pernikahan yang terjadi. Kebetulan pesta diadakan
di samping kolam renang dengan tema outdoor. Dekorasi didominasi warna merah
muda. Kolam dihiasi dengan nama dua mempelai yang dibuat seperti kapal.
Backdrop sebagai foto latar yang berisi shoutout menarik. Panggung musik dengan
MC super kece dan syar’i. Bingkisan pernikahan yang disisipi nasihat pernikahan
dari Ibu mempelai wanita yang super sekali isinya (dijamin bikin pengen nikah
cepet). DAN. Danar yang membacakan surat kesukaan mempelai wanita yaitu surat
Maryam (karena hafidz jadi biasa lah ya. 98 ayat juga dijabanin). Nah disini
menurut saya terjadi momen klimaks. Pesta yang sebelumnya riah diiringi alunan
musik dan instrumen, seketika berubah syahdu oleh bacaan si Danar yang
mengambil alih spotlight di panggung. Senang bukan kepalang rasanya menyaksikan
momen-momen yang tak mampu diilustrasikan dengan kata seperti saat itu.
Acara berangsur
sepi setelah makanan habis. Tapi kayanya bukan gara-gara itu. Acara memang
diset untuk selesai kurang lebih bertepatan dengan adzan ashar berkumandang.
Singkat. Padat. Bermakna. Salah sekian filosofi yang aku percaya. Cukup wah
untuk menjamu tamu namun tidak berlebihan. Cukup panjang waktu yang digunakan
namun tidak memotong waktu salat. Dan cukup berisi akan momen-momen penting
namun tidak mengurangi kekhidmatan. Setelah berpamitan dengan semua yang
kukenal, pulanglah aku ke rumah Ija untuk melanjutkan perjalanan karena barang
yang masih kutinggal. Kebetulan Ija dan Rafis sekalian pulang ke Jakarta via
Surabaya jadi aku masih bersama mereka hingga meeting point jalan-jalan yang
beneran haha.
Disepakati,
waktu kumpul adalah maghrib sekalian salat di rumah mempelai wanita. Aji dan
Rafis yang memiliki tiket pesawat dari
Juanda pukul Sembilan berangkat dari Malang pukul lima untuk menghindari
kemacetan. Ikutlah aku dengan mereka karena kebetulan arah ke rumah mempelai
sejalan. Yak, transportasi aman pikirku. Toh kalaupun macet masih banyak spare
waktu sampai maghrib jadi bisa lah tepat waktu. Ternyata. MACET PARAH. Bukan
macet biasa. Jalan arteri utama Malang-Surabaya penuh mulai dari dalam kota.
Agaknya aku lupa mempertimbangkan faktor tahun baru. DAN ADA DRAMA YANG
TERJADI.
Untuk ke rumah
Itha si mempelai, mobil harus putar arah sedikit untuk kemudian masuk gang
dimana rumah Itha berada. Aku sudah melewati gang itu pukul 17.20. Hanya
tinggal menanti putar balik. TAPI. SETENGAH JAM BERLALU DAN SEMUA PUTER BALIK
DITUTUP KARENA MACET HAHAHA. Padahal sudah maju sekitar tiga kilo. Daripada
mobil berputar arah dan Ija Rafis ketinggalan pesawat, akhirnya waktu itu
kuputuskan untuk turun dan mencari angkot balik karena sambil menunggu aku
lihat banyak angkot lewat tadi saat macet. Kulihat jam menunjukkan 17.50. Sudah
maghrib. Lumayan paniknya saat udah jalan seratusan meter tapi angkot yang
diidam idam dari tadi tak kunjung tiba. Sambil berharap, aku memutuskan untuk
melanjutkan langkah cepat karena takut tertinggal rombongan yang sudah menanti.
Jalan lah. Sabar. Terus. Sambil mengecek telepon akan banyak pesan kekhawatiran
teman dan rombongan. Akhirnya. Tanpa sadar, tiga kilo terlewat sampai gang
depan rumah si Itha. Untung saat itu ada senyum teman yang sudah sabar nunggu.
Kalau ndak, keringat yang mengucur dengan mudah berbuah kerut sinis di muka.
DAN. BERANGKATLAH KITA KE IJEN. WOOHOO. Dengan mobil HiAce berkapasitas 16
orang, dan supir yang bertampang soleh, serta si Itha yang melepas kami, aman
dan tentram sudah perasaan campur aduk karena jalan kaki barusan.
BONDOWOSO
Sebagai intermezzo,
berikut adalah perkenalan singkat gerombolan yang akan menghabiskan weekend
pertama di tahun 2k16 ini bersama-sama (urut dari kursi duduk): Cepec si ustadz
agung Kempek yang gabisa bilang P, Kipri si engineer daerah yang nyasar jadi
pegawai bank, dan mas supir soleh yang menjelma dalam bentuk mirip Pandji
Pragiwaksono. Espa si wanita tangguh ketua perjalanan, Haidy teman sekantor
Espa yang mungil, dan Nnardi wanita yang katanya paling muda (katanya N nya dua
emang karena dulu ngetik di akte gitu, mungkin petugasnya latah dan lelah).
Lanjut dengan Nunha yang membuat mobil sedikit miring ke kiri, Rupit yang rumah
Jembernya kita singgahi nanti, dan Alit wanita karir metropolitan Jakarta. Lalu
ada Amay wanita penuh kasih bendum (bendahara umum) perjalanan, Mita sang
penakluk rimba, dan Noma wanita kecil yang memiliki jiwa petualangan yang
besar. Baris kedua terakhir diisi Aghin satu satunya tenaga medis yang dapat
diandalkan, Nafri yang dulunya imam masjid masyhur, dan slot kosong untuk
barang. Yang cukup beruntung berada pada kursi panas adalah aku sebagai tim
hore dan haru, Naafan juragan internet Jawa Tengah, dan Rafi yang hingga kini
belom bisa move on dari kekasihnya. Ohya, Nnardi, Haidy, Rupit, dan Alit
merupakan anggota gerombolan yang tidak kami kenal sebelumnya (karena ini
semacam mini reuni) sekaligus pemanis perjalanan kali ini.
Enam Pejantan.
Sepuluh Perawan. Tiga Mahasiswa. Tiga belas pekerja.
Untuk menuju Ijen, sebenarnya ada dua jalur yang dapat ditempuh. Yaitu melewati Bondowoso dan Banyuwangi. Karena kebetulan kita dari arah barat, maka jalur dari Bondowoso lah yang kita tempuh. Mulai mobil keluar Malang pukul setengah delapan, sebenarnya hampir semua isi mobil dalam keadaan terlelap. Sekitar pukul sebelas, mobil berhenti sejenak untuk isi dan lepas muatan. Isi untuk bensin, lepas untuk buang air kecil. Hal ini dilakukan karena jalanan menuju Ijen yang tidak mungkin dilakukannya isi dan lepas muatan dengan nyaman. Tidak sampai setengah jam berhenti, perjalanan dilanjutkan. Dan tidak lama pula setelah itu keterlelapan melanda hampir seisi mobil.
Mulai memasuki
setengah satu hingga sejam berikutnya mobil dilanda guncangan hebat. Bukan
badai atau taufan penyebabnya. Namun jalanan menanjak menuju pos
pendakian Ijen adalah biang keladinya. Lima hingga enam orang pun tidak mampu
melanjutkan nikmatnya tidur, termasuk aku. Ternyata jalanan naik masih diakrabi
oleh lubang-lubang durjana yang ukurannya besar. Tak cuma satu dua. Hampir tiap
belokan ada. Untuk orang yang mendapat jatah duduk di mobil paling belakang lah
yang paling kena imbasnya. Waktu itu orang yang beruntung adalah aku, Naafan,
dan Rafi. Hanya kami bertiga baris yang semua personilnya membuka mata dan
cukup tangguh menghadapi guncangan yang nyata.
Setengah dua pun
tiba. Mobil pun akhirnya menemukan tempat peristirahatannya. Akhirnya dia bisa
beristirahat sejenak setelah ratusan kilo berjalan. Kami ber 16 pun bersiap
dengan pakaian tebal, konsumsi, dan penerangan secukupnya. Agak cukup
disayangkan seluruh toilet yang ada pada waktu itu harus antri banyak atau
dalam keadaan sudah tidak proposional untuk digunakan. Akhirnya setengah jam
lebih kami gunakan untuk mencari semak dan tempat persembunyian lainnya untuk
bongkar muatan yang sudah tidak berguna. 02.15 kami mulai berdoa dan setelah
itu segera memulai perjalanan.
Dengan kondisi
gelap gulita, malam itu bintang bersinar dengan cerahnya. Untung bulan sedang
tidak dalam fase diatas langit waktu itu yang mengganggu bintang. Bekas awan
musim hujan pun enggan untuk muncul. Malu sepertinya dengan indahnya para
bintang. Dimotivasi oleh cantiknya angkasa pada malam itu, semua anggota
rombongan berjalan riang dengan mantap kecuali Nunha dan Nnardi yang sedikit
kurang termotivasi walaupun sudah dijejali perbekalan. Apalagi nama terakhir.
Dorongan, tarikan, serta gandengan dari Noma dan anggota rombongan lain ternyata
belum mampu membuat langkah Nnardi lebih ringan. Belaian angin dan gantengnya
para punggawa rombongan sepertinya membuat Nnardi terbuai. Hingga cerita
mendaki ini selesai dua jam kemudian, Nnardi merupakan highlight perjalanan
naik.
Yep. Dua jam
sudah lelah berjalan akhirnya peluh yang kami keluarkan mulai menampakkan
hasilnya. Diwarnai dengan banyak pit stop untuk menanti Nnardi, iklan sponsor,
dan episode filler kartun masa kecil selama naik, estimasi waktu tempuh dua jam
ternyata berhasil dicapai. Ternyata segala kekhawatiran akan kemampuan fisik
beberapa anggota rombongan tidak bermasalah. Justru perjalanan menjadi menarik
dan tidak tergesa dengan adanya mereka. Kalau tidak ada mereka, mungkin
senandung-senandung lagu masa kecil tidak akan keluar dan tidak ada cerita yang
bisa dibawa setelah turun.
Dan. Akhirnya.
Kita sampai di ujung perjalanan saat waktu menunjukkan pukul 04.15. Yeay! Ujung
disini adalah titik dimana para pendaki dapat memeilih leyeh-leyeh atau
meneruskan melihat api biru yang tersaji lebih dekat. Mencium aroma sulfur
lebih dekat. Dan merasakan hangatnya kawah yang terbakar. Karena kondisi api
biru yang menyala kecil waktu itu, hanya Espa, Rupit, Haidy, dan Alit yang
memutuskan untuk terjun lebih dalam melihat. Sisanya? Bercengkerama dan menanti
kepulangan empat wanita yang turun sembari mempersiapkan alat rekam untuk
mengabadikan mentari yang akan naik.
Pukul 05.05
rombongan kembali bersatu. Sebelum matahari naik, kita salat jamaah dalam
keadaan super. Super sekali bahkan. Ketiadaan air bersih membuat kita
bertayammum, lalu kondisi tempat wisata yang tidak menyediakan tempat salat
membuat kita menggelar jaket yang kita gunakan sebagai alas untuk bersujud.
Daaaaan. Karena namanya juga gunung, tempat salat yang kita pilih punya kemiringan
yang cukup lumayan untuk dapat menimbulkan encok kalau duduk diantara dua sujud
HAHAHAHA. Aku sangat yakin 30 derajat ada. DAN SAAT SALAT ADA KEJADIAN LUCU
TERJADI. Bayangkan. Duduk diantara dua sujud saja sudah rawan cidera karena
menahan sakit, apalagi duduk tahiyat. SALAH SEORANG ANGGOTA ROMBONGAN
MEMUTUSKAN UNTUK DUDUK TAHIYAT SECARA SEMPURNA SEMENTARA YANG LAIN TERPAKSA
MEMPOSISIKAN UNTUK DUDUK SEPERTI DUDUK DIANTARA DUA SUJUD.
Sambil menahan
lara, duka, dan kejangnya otot yang menumpu karena kemiringan, si pelaku
melanjutkan menyelesaikan bacaan salat. HAHAHAHA. SUNGGUH MERANA. Kemudian
setelah salam, anggota rombongan yang duduk sempurna tersebut merintih
kesakitan sambil berguling di tanah disusul dengan gelak tawa penuh keceriaan
anggota yang lain (nama anggota dirahasiakan untuk tetap menjaga nama baik
ybs). Dan kejadian tersebut menjadi topik hangat pembicaraan selanjutnya.
Hingga langit menampakkan pantulan cahaya mentari yang akan tiba. Untung saja
mentari tahu kalau seorang manusia di ujung Ijen sana butuh pengalih perhatian.
Agenda peristirahatan kami usai ketika jam menunjukkan pukul 06.00. Segenap
pasukan Tour The East siap turun mengguncang kendaraan lagi.
Mengikuti rumus
waktu mendaki-turun pada umumnya, waktu yang kita gunakan untuk turun adalah
setengah dari waktu yang digunakan untuk naik. Jam tujuh semua rombongan sudah
berkumpul di dekat tempat peristirahatan mobil yang digunakan. Tidak ada lagi
kejadian banyaknya pitstop. Tidak ada lagi kisah tunggu tungguan. Bahkan Nnardi
yang tadinya paling susah naik, urusan turun dia juaranya. Juara dua tapi.
OHYA, KEMUDIAN ADA KEJADIAN SERU TERJADI LAGI. Saat sang sopir akan atret mobil
memutar arah, ban belakang tersangkut di selokan. Niat sang sopir bagus
sebenarnya, sekalian ngencengin atret biar tenaganya cukup buat naik di
jeglongan. Namun apa dikata, kondisi tanah yang basah karena habis hujan membuat
kegemparan sempat muncul di parkiran mobil waktu itu. Supir kol, angkot, mobil,
penjual makanan, minuman, sampai cindera mata berkumpul karena mobil kami
terperosok di got.
Sempat sekitar
lima belas menit sang sopir budiman nan rupawan yang kami sewa berusaha keras
mengeluarkan mobil dari got namun tak ada hasil berarti. Tukang parkir pun tak
mampu berpikir dan berbuat banyak. Hingga seorang malaikat datang dengan
menyarankan untuk meminta supir truk menarik mobil disertai dengan pembangunan
jembatan dari batang kayu besar sebagai landasan agar ban mobil tidak
bergesekan dengan tanah encer. Bagi tugaslah kita. Sang sopir menuju sopir
truk. Para pejantan yang ada di mobil difungsikan untuk angkat-angkat kayu
balok dan besar dari ujung lapangan tempat parkir. Setelah semua balok dipasang
sedemikian rupa dan truk sudah siap menarik HiAce kami, eksekusi penyelamatan
pun dilakukan. Syukur kami ucapkan karena prosesi berjalan lancar dan mobil pun
dapat memutar.
TAPI MASALAH
TIDAK BERHENTI SAMPAI DISITU. Setelah meminggirkan mobil, ternyata sang sopir
masih melakukan cek ulang dengan tukang parkir tentang rute yang akan
kita tempuh menuju Banyuwangi. Beranjaklah supir dari tempat duduknya keluar.
Tak lama setelah itu dengan wajah sedikit nyengir, dia berkata kepada kita
“mbak, ternyata tadi ndak usah diputer balik mobilnya. Kata tukang parkirnya
jauh lebih deket kalau lewat sana (sambil nunjuk belakang mobil).” HAHAHA.
TERUS TADI CAPEK MUTER BALIK SAMPAI KEPEROSOK SEGALA NGAPAIN. Ternyata semua
ada hikmahnya. Konstruksi batang sebagai jembatan yang kita tadi bisa dianggap
sebagai amal jariyah yang pahalanya terus ngalir selama ada orang yang lewat selokan
tempat kita terperosok tadi. Dan itu kali kedua konstruksi yang kita bangun
terpakai. Oleh kita lagi. Semoga manfaat aja lah ya hahaha. Off we go to
Banyuwangi!
BANYUWANGI
Ohya, lupa
menambahi. Kondisi kamar mandi saat kita turun adalah kehabisan air. Saat masuk
mobil, kondisi kita adalah penuh keringat yang sudah kering menempel kulit.
Jika ada personil yang tadinya kebelet pipis, semak adalah tempat bersemayamnya
air yang keluar dan tissue basah adalah sebaik-baik pengganti air yang mampu
kita pergunakan. Jadilah kita memutuskan untuk mencari masjid seketemunya saat
sudah melewati jalan turun gunung berkelok yang (ternyata) juga penuh lubang.
Jalan yang kita tempuh adalah jalan kendaraan yang berasal dari Banyuwangi
menuju ke Ijen.
Selama
perjalanan ke Pantai Banyuwangi, yang aku ingat hanya dua hal. Satu adalah
betapa bahagia nya kita saat menemukan masjid karena kita dapat membasuh muka,
gosok gigi, dan mengganti pakaian yang berkeringat. Dan dua adalah saat waktu
menunjukkan pukul sepuluh untuk sarapan pagi. Sarapan jam sepuluh. Sepuluh.
Sarapan apa makan siang haha. Untung kemarin sekeluarnya kita dari rumah Ija
aku dibekali keripik tempe Malang yang terkenal itu satu kardus. Tercukupilah
kebutuhan manusia-manusia yang jam makannya teratur (terutama pejantan di kursi
panas belakang) untuk mengganjal perut. Hanya dua yang teringat karena hanya
dua kali itu aku benar-benar bangun karena lelah mendaki haha.
Setelah matahari
berada pada posisi klimaksnya, panasnya Banyuwangi membangunkan kami di mobil.
Dari daerah kabupaten yang menunjukkan arah pantai, dapat kami temui buah naga
bersemai dan dijajakan oleh masyarakat lokal. Karena penjualan buah naga yang
semena-mena ini, sempat beberapa kali perjalanan terhambat karena jalan menuju
dan ke pantai hanya muat untuk dua mobil pas. Dan untuk membeli buah naga mobil
tidak ada lahan parkir. Jadilah banyak kendaraan harus bergantian untuk dapat
melewati spot-spot penjualan buah naga. Untungnya tidak sampai sejam dari jalan
kecil tersebut sampailah kita ke pusat pantai Banyuwangi.
Sesampainya di
tempat persemayaman mobil, kami memutuskan untuk menggabungkan salat di awal
agar nyaman bermain hingga sore. Waktu itu sekitar setengah pukul satu siang. Dengan
bermodalkan sunblock hasil ancaman ibu ketua perjalanan, stok tabir surya yang
kami punya melimpah ruah karena banyak yang membeli botol baru. Ohya saat kami
salat, personil yang sedang tidak bertugas lapor beralih mengurus kapal yang
akan kami gunakan untuk menyeberang. Menggunakan kapal karena pantai Wedi Ireng
yang kita tuju terletak agak jauh dan kalau harus renang manual bisa sejam
sendiri sepertinya. Satu kapal bisa diisi delapan orang. Kami pesan dua kapal.
Yang menarik dari perjalanan kali ini adalah si Cepec tidak membawa sandal. Dan
dia mengeluh kepanasan berjalan menyusur bibir pantai mendekat ke kapal.
Setelah aku coba, ternyata pasir pantai panas juga ya. HAHA. Akhirnya belilah
dia sepasang sandal di toko kelonton sebelah spbu pinggir pantai.
Kapal yang
dinanti pun datang. Rombongan pun dibagi dua. Aku memilih kapal yang dengan
kamera paling bagus dan yang kira-kira hasil fotonya lebih banyak. Yang menarik
perhatianku selama perjalanan adalah pulau kecil yang agak menjorok ke laut dan
kami lewati di tengah perjalanan menuju Wedi Ireng. Tempat ini dijadikan
penduduk lokal sebagai hotspot untuk memancing karena di sekitarnya merupakan
laut yang agak dalam. Ohya, tidak seperti banyak pebisnis kapal di pantai
lainnya entah kenapa mas-mas yang menjajakan jasa kapal penyeberangan yang kami
gunakan tidak terlalu hitam. Hitam dalam artian legam. Ini berdasarkan
pengamatan saya di Lombok, Kuta, Jepara, dan Semarang sih. Mungkin kurang
valid. Tapi serius. Mas-mas yang kami pakai jasanya masih tergolong “putih”
untuk ukuran orang pantai.
Tidak sampai
setengah jam, sampai lah kami ke pantai Wedi Ireng. Pantai nya jernih. Pasirnya
bersih. Kalau mau sedikit masuk ke rerimbaan, bisa kita temui tanaman yang
masih belum terjamah manusia. Jadi aku urungkan niat untuk bermain lebih masuk
ke daratan. Bagusnya pantai ini lagi adalah formasi laut yang menjorok ke dalam
dan ada semacam karang yang sedikit menutupi aliran air dari laut Jawa. Laut
yang menjorok memungkinkan area renang yang luas dan karang memungkinkan ombak
dibelokkan ke arah pantai sehingga sering kita jumpai ombak yang tidak
terkontrol kuatnya. Tapi malah jadi seru! Ohya, di pinggir pantai ada bisnis
lokal penyewaan alat diving dan boardsurfing. Naafan dan Kipri yang sangat
excited dengan jernihnya pantai menyewa alat diving sederhana dan board untuk
dapat menikmati koral yang terletak agak jauh dari bibir pantai.
Tidak seperti
yang lainnya yang menghabiskan senja di Wedi Ireng dengan berenang dan bermain
air, aku termasuk golongan yang lebih memilih untuk bermain kartu HAHAHA. Jauh
jauh ke Banyuwangi cuman buat mainan kartu. Kebetulan permainan yang dimainkan
adalah permainan hati. Dan para pecinta hati diseluruh dunia tentu ingin unjuk
kebolehan. Ternyata rombongan kami waktu itu kelebihan kuota main pemain hati
sampai harus ada yang mengantri satu game hanya untuk bermain. Keasikan
bermain, aku dan teman temanpun ditegur oleh sang ketua rombongan. Tiga puluh
menit waktu spare untuk kami memuaskan diri bermain katanya. Langsunglah aku
berlari ke laut. Menikmati pantai yang jernih itu sembari membentangkan badan
ke atas. Menikmati surga dunia berupa kesantaian selagi bisa.
Yang perlu
dicatat dari pantai ini adalah: Pantai ini banyak memakan korban luka. Saking
masih jarangnya dijangkau manusia, bebatuan yang ada di bawah masih sangat
tajam. Sedikit saja tidak hati-hati dalam memilih pijakan, sayatan sayatan di
telapak kaki sudah mesti jadi jaminan. Apalagi yang tidak berhati-hati sama
sekali seperti aku HAHAHA. Selain luka sayat di telapak, jari kelingkingku robek
sekitar satu senti kedalam karena dengan ceroboh menyelam. Naafan, Kipri, dan Cepec
adalah tiga korban gesek lainnya.
Jam empat
kembali dari Wedi Ireng, kami beberes menuju kediaman Rupit. Kondisinya adalah,
hanya ada dua spot pemandian umum disitu dan antrinya cukup banyak. Segeralah sebagian
besar kami berhamburan untuk mengantri mandi. Dengan kaki yang sedikit
tersayat, aku tak mampu bergerak blangsatan seperti mereka bergerilya mencari
tempat untuk mandi. Untungnya, Nnardi memeiliki ide untuk mencari masjid yang
ada kamar mandinya. Ikutlah saya berharap bisa mandi sedikit lebih lama
daripada digedor orang di spot pemandian umum. Ternyata setelah menemukan
masjid, kamar mandinya digembok. Akhirnya kami memutuskan untuk memutus urat
malu meminta warga sekita untuk numpang kamar mandi. DAN DAPAT DI PERCOBAAN
PERTAMA. Senang! Ternyata asal meminta tolong dengan tulus banyak yang mau
membantu :D Dan usut punya usut Bapak dan Ibu yang kami tumpangi ternyata
merupakan penduduk asli daerah sekitar. Anaknya tiga. Satu merantau ke Jawa
Tengah. Satu punya rumah di seberang jalan, satunya lagi masih jomblo dan punya
warung di dekat pantai.
Setelah selesai
bebersih, kembalilah kami ke rombongan. Sama sekali aku tidak menyesal telah
memutuskan untuk tidak mandi di spot pemandian umum. Dengan bantuan Aghin,
lukaku ditutup dan diikat dengan selotip yang menempel pada rambut kaki. Iya
yang kalau dicabut sakit itu. Kadang kita harus mau repot sendiri biar hasilnya
sesuai dengan yang kita mau wkwk. Tak lama setelah itu, lanjutlah perjalanan
kami ke Jember. Start dari Banyuwangi jam lima.
JEMBER
Seperti
biasanya, aku tidur ketika kelelahan. Dan momen aku bangun mobil sudah sampai
di tempat makan. Semacam pondokan dengan banyak tempat lesehan. Waktu itu
sedikit hujan. Kamar mandi rumah makan ini ukurannya cukup besar. Tapi cuman
satu. Seingatku aku makan nasi goreng. Ternyata ada udangnya. Untung stok anti histamine
lengkap. Sikat. Pukul setengah sepuluh kita selesai makan. Pak supir yang
kedinginan pesan sop iga. Rokok yang kubeli waktu menunggu mandi di Banyuwangi
tadi kuberikan padanya. Dan tidak sampai setengah jam kemudian sampailah kita
di rumah Rupit.
Sampai tempat
peristirahatan, Rupit menawarkan pilihan pada kita. Ada dua kamar di lantai
atas dalam rumah dan dua kamar di lantai bawah luar rumah utama. Saat itu juga
Noma secara intuitif berseru para punggawa wanita di lantai atas. Padahal belum
survey tempat. Banyak dari kita tak heran dengan kelakuannya. Tapi sudahlah, mungkin
dia lelah. Tau kenikmatan yang sebagian dari kita suarakan malam itu? BISA
TIDUR HORIZONTAL. Setelah hampir 48 jam tak mampu merebahkan badan diatas
empuknya Kasur, HERE WE ARE. SELONJOR. BISA PELUK GULING. NGULET NGULET
SEKENANYA. Hehe
Taroh barang,
bruk bruk bruk. Kamar mandi dalam dalam langsung terisi. Tak lama kemudian
kudengar suara Noma berbincang dan masuk melihat kamar kami. Dia melongo seraya
berkata, KOK KAMAR KALIAN ENAK SIIH. BISA DITARIK KASUR BAWAHNYA. Lah, emang
diatas ngga? timpalku. Dia menggeleng sambil meronta. Sepertinya butuh air.
Yaudah tuker aja Nom kalau gitu. Senyum merekah dari bibirnya. YOOOOOOOOK,
jawabnya tanpa pikir panjang. Setelah prosesi transfer panjang (karena udah
bruk bruk in barang dan banyak yang pewe karena teler), kumarahin lah dia. Ndak
lagi dibiasain memutuskan sesuatu tanpa liat kondisi lapangan nya dan cuman
nurutin ego.
Beres transfer,
aku langsung menuju dapur. Spot favorit sepanjang masa. Ohya, kondisi rumah
Rupit saat itu adalah kosong. Orang tuanya yang dulu bekerja sebagai pahlawan
di Jember kini bermukim di ibukota karena dipindah tugaskan di Dikti. Hanya kakak
Rupit dan seorang penunggu rumah yang waktu itu ada. Terus karena Rupit bilang anggap
saja rumah sendiri, tentulah sebagai tamu dan raja kutunaikan titahnya HAHAHA. Waktu
itu ada semangka dan beberapa cemilan yang tersisa di kulkas, (SEBAGAI TAMU
YANG BAIK DAN DEMI MENURUTI MAKLUMAT EMPUNYA RUMAH) langsunglah cemilan kutaruh
di meja depan tipi tempat anak-anak mengisi ulang baterai telepon dan kongkow kongkow
singkat sebelum tidur. Waktu itu malam minggu aku ingat. Ada Liverpool lawan
Chelsea. Kakaknya Rupit juga memberi kami pia dan klitikan yang ia punya dari
kamarnya waktu itu.
Sebelum tidur,
kami berusaha mengeksploitasi semua fasilitas yang ada di rumah Rupit sebelum
kembali berhadapan dengan gersangnya fasilitas selama perjalanan. Mesin cuci
kita kuasai untuk sekedar membilas pakaian kami yang berpasir. Kulkas kita
kosongi. Jemuran dan bahkan pegangan tangga kita penuhi baju kita. Air panas
kita pakai maksimal. Semua sofa pewe kita singgahi bagi yang tidurnya ndak mau
dusel duselan di kamar. Mantap lah pokoknya. Ohya, sempat ada kegaduhan kecil
saat kita menggunakan mesin cuci. Karena mesin cuci otomatis, sekali cycle
pemakaian butuh waktu sekitar 45-60 menit. Kondisinya udah pada ngantuk. Biar
efisien digabungin semuanya. Yang mau bilas cucian berpasir ada jantan ada
perawan. Para perawan sempat khawatir (dan insecure) dengan beberapa jenis
pakaian yang mereka masukkan kalau nanti dilihat para lelaki garang katanya.
LAH GITU DOANG. Akhirnya aku bilang kalau sudah selesai proses, para wanita
bisa ambil pakaiannya duluan. Gitu aja kok dipermasalahkan HAHAHA.
Sambil menunggu
beberapa dari kami yang membilas pakaian kami berkumpul di depan tipi. Ada juga
sebagian yang sudah terlelap macam Nnardi, Haidy, Nunha, Aghin dan Kipri. Waktu
itu ada titah dari sang ketua perjalanan Espa untuk menyiapkan diri pukul lima
esok hari. Siap kata kami. Belum sampai setengah jalan menunggu cucian, habis
sudah makanan. Akhirnya kami hanya bisa menatap tipi dan berbincang sekenanya. Sekenanya
otak mampu mencerna.
Setelah beberapa
saat, berbunyilah si mecin cuci. Bagai menunggu orang hamil lahiran, para
wanita berhamburan ke ruang cuci. Segera mempersenjatai pakaian mereka untuk
digantung. Kasian ya ndak salah apa apa tapi kok dihukum :( gantung pula :(
Setelah itu para wanita langsung ngacir ke kamar. Menyisakan aku, Alit, dan
Cepec di ruang tengah. Alit sibuk menelepon dari awal dia menaruh pantatnya di
sofa dan belum selesai hingga sekarang. Cepec sibuk mengganti channel tipi. Aku
sibuk mencari informasi tentang tempat yang akan kita datangi esok hari di
portal daring.
Setelah berbagai
kata kunci yang aku gunakan sebagai senjata, ternyata destinasi esok hari
adalah spot air terjun. Dan kita akan melakukan semacam susur kali dulu. Hal menarik
yang aku temukan di internet adalah, PREMAN. Tiap laman dan kata kunci
Madakaripura kulayangkan, ada satu kata di setiap laman yang muncul:
PREMAN. Langsunglah Cepec kupanggil. Kita temukan bahwa mulai dari parkir, portal
masuk desa wisata, masuk tempat wisata, sepanjang pinggir susur, hingga lokasi
foto air terjun sungai banyak preman yang berjaga. Semacam jurit alam, sudah
diatur posnya. Lalu asiklah kita berdua mendiskusikan strategi esok hari agar terhindar dari godaan preman yang terkutuk. Hingga Cepec tidur duluan.
Ternyata dari tadi dia depan tipi pengen tidur situ. Akupun pergi ke lantai atas.
Zzz
Tiga januari. Di
pagi pukul setengah lima aku bangun. Ada Rafi dan Cepec yang juga sudah terjaga
kala itu. Kuajak mereka segera menunaikan tugas bersama. Namun karena panggilan
alam darurat, Cepec kita tinggal. Kulihat Nafri dan Kipri masih nyenyak dengan
tidurnya, aku jadi ingat jaman dulu. Jaman saat mereka berdua sempat menjadi
buah bibir karena hal ini. Dan sempat membuat kredibilitas Nafri sebagai imam
masjid masyhur sempat dipertanyakan. Kemudian hape Nafri bergetar disampingku.
Ada tulisan ayah Kipri kulihat. Aku baru ingat, sudah sejak Aliyah orang tua
mereka bersahabat erat. Hingga sekarang, sering bahkan orang tua Kipri
menghubungi Nafri terlebih dahulu untuk menanyakan kabar (Itupun kabar Nafri
HAHA) daripada langsung ke anaknya. Pun sebaliknya. Mesra sekali memang mereka
berdua.
PROBOLINGGO
Jam menunjukkan
pukul lima. Sebagian besaar dari kami sudah siap dengan logistik masing-masing di
ruang tengah. Hanya Kipri dan Nafri yang masih memeluk guling mereka di kamar.
Seketika itu pula aku mendengar sedikit teriakan dariruang belakang. Ternyata
itu Rupit. Dia kaget ada pakaian dalam lelaki yang masih bersisa di mesin
cucinya. Masih berpasir pula. Lima belas menit kemudian baru terungkap misteri
kepemilikan kolor misterius tersebut. Nafri dengan santainya turun setelah
salat dan mengambil barangnya dengan muka tanpa dosa. Setelah diskusi singkat,
akhirnya diputuskan bahwa sarapan akan dilaksanakan nanti di dekat tujuan. Dan
sambil menunggu beberapa yang masih beberes, banyak yang menginvasi halaman
rumah Rupit yang juga ditumbumbuhi berbagai tanaman. Lima lebih setengah jam,
berangkatlah kita.
Udara pagi itu
sejuk. Kondisi langit cerah. Keadaan terjaga yang aku alami karena nyenyak
tidur semalam membuatku yang disiplin sarapan sudah mencak-mencak dari jam
tujuh pagi. Dari mencoba usaha mencari tempat makan melalui aplikasi daring
hingga mengamati jalan dengan teliti kulakukan. Mana tidak ada camilan untuk
pengganjal pula haha. Rewel sekali aku rupanya. Setelah dua jam, mobil berhenti
di sebuah warung makan pinggir jalan yang menjajakan rawon sebagai menu utama yang
diiklankan besar di banner depan. Soto, Rawon, prasmanan, telur ceplok, dan
sayur merupakan menu yang menghiasi meja kami pagi itu. Lega sekali rasanya.
Akhirnya setelah sempat menanti. Menyamakan jam biologis apalagi dengan orang
sebanyak itu merupakan pelajarannya.
Tak lama setelah
sarapan, kami sampai di Madakaripura. Seturunnya dari bis, mulailah aku dan
Cepec mengecek dan berdiskusi dengan para lelaki lain. Menerangkan kepada
khalayak apa yang kita temukan di internet tadi malam. Ternyata benar. Yang
kami lihat dan alami waktu itu adalah banyak oknum yang dengan seenaknya
mengguyur begitu saja kendaraan pribadi orang agar kelihatan basah. Ketika
orang yang punya kembali, biaya parkir PLUS biaya cuci lah dikenakan. Kemudian tak
jauh kami berjalan, ada lagi segerombolan oknum mencegat kami. Kata mereka
menelurusi sungai berbahaya karena licin. Oleh karena itu harus ada guide yang
mendampingi kalau terjadi apa-apa. Sudah begitu memaksa pula. Akhirnya
kutanggapi dengan kita baik baik saja tanpa mereka. Dan begitu saja kami meninggalkan
para oknum illegal tersebut. Tak lupa kutitipkan pesan pada supir untuk
mengawasi mobil.
Setelah berpose
bersama di landmark Madakariura, kami pun menyusuri sungai. Jalan untuk menuju
air terjun ternyata hanya ada satu. Setapak kecil yang dapat dilalui hanya
cukup untuk dua orang, arah menuju dan arah kembali. Disepanjang jalan yang
agak lebar terdapat pit stop untuk sekedar ngopi dan makan gorengan. Namun dengan
isi tangki kami yang masih penuh, kami teguh untuk tidak berhenti hingga tujuan
kami sambangi. Mulai memasuki 300 meter menuju air terjun, kondisi jalan yang
harus kami lalui banyak berubah. Dari setapak dan jembatan artifisial yang
nyaman untuk dipijak berubah menjadi tengah sungai berbatudan pinggiran yang tidak
memiliki koefisien gesek tinggi.
Kami pun
kebasahan karena daerah itu merupakan daerah rembesan dan transit air dari atas
yang mengalir deras. Beberapa dari kami ada yang menggunakan jas hujan sekali
pakai. Ada pula yang sengaja basah-basahan dengan kaos. Ada pula yang nekat
hanya menggunakan jaket untuk menahan dinginnya air dan sensasi kesegaran yang
dibawanya. Hampir sejam kami menikmati tempat persinggahan terakhir dalam
perjalanan kali ini. Muka muka muram dan slentingan tentang pekerjaan esok hari
mulai keluar lagi saat itu. Begitulah waktu. Tak membiarkan manusia untuk seenaknya
berlalu. Namun bagi mereka yang tahu, waktu adalah senjata utama untuk terus melaju.
Setelah
menghabiskan memori banyak kamera yang kami bawa, tepat pukul dua belas
menandai akhir perjalanan kami dengan arahan dari Espa sang ketua perjalanan. Tinggal
Kipri dan Rafi yang masih nyemplung di muara yang dibentuk oleh tetesan air
waktu itu. Menunggu lima menit, meluncurlah kita kembali. Dalam perjalanan
kembali, rombongan kita banyak yang terpisah. Ada yang tergoda ngopi. Ada yang
terburu-buru ingin ganti baju karena basah. Ada juga yang tergoda dengan aroma
pisang goreng yang baru matang.
Aku, Nafri,
Rafi, dam Amay kebetulan menjadi satu kelompok waktu itu. Kami masuk dalam
golonngan rentan aroma pisang. Setelah berhenti sejenak dan meneruskan
perjalanan pulang, ada percakapan lucu (meski agak kurang sopan) terjadi waktu
itu. Rafi yang masih menyisakan pisang dan makan berdiri ditegur oleh Nafri yang
kebetulan sedang kuat iman. Sebagai bentuk penyesalan, Rafi pun meminta maaf.
Namun entah kenapa dia secara tersirat Rafi menyinggung kalau dia berurusan
dengan batang masih sopan. Tidak seperti Nafri yang dibiarkan terbuka dan bisa
saja terbang kemana mana. Kami para pejantan pun sontak tertawa bersamaan. Tak
heran memang predikat paling tidak senonoh diberikan kepada Rafi oleh teman-temannya
semasa Aliyah dulu. Ternyata Amay mendengar celoteh kita. Sebagai wanita yang
santun perangainya, Nafripun mengatai Rafi yang telah memulai ketidaksopanan
yang terjadi seraya meminta maaf kepada Amay. Masalah ini memang Rafi juaranya
hahaha.
Kembalinya kita
ke kendaraan menandai berakhirnya pula rencana yang sudah kita jalani meski
dengan perencanaan yang terhimpit waktu. Selesai sudah agenda liburan tiga hari
yang singkat namun sarat akan benih persahabatan dan makna kehidupan. Senang
rasanya rencana padat nan ringkas yang kita susun dengan banyak batasan ini
dapat terjalani tanpa kendala yang berarti. Sampai jumpa lain waktu lagi kawan!
Kalaulah ada kesempatan datang, boleh kita berkumpul lagi.
Sekian dan
terimakasih telah menyimak. Ohya, foto menyusul! :)
Disclaimer:
Nama makhluk yang digunakan dalam cerita ini
disamarkan demi kebaikan ummat manusia. Kalau ada cerita dan impresi yang
kurang berkenan, itu hanyalah eksagerasi penulis semata dalam mengekspresikan
apa yang dirasa. Jadi mohon dimaklumi ya. Hehe
Comments
Post a Comment