Skip to main content

Yakin Uda Jadi Akhwat? #1

It’ll be cruel critics to those who named themself as akhwat.

The very first I encounter this phrase, I was just like “oh yang kerudungnya besar”. Yes, receh emang pengertian akhwatnya. Later I know, akhwat adalah saudara perempuan. So guess what, as long as we’re moslem women, we’re akhwat. Mau ada yang pulang jam  1 malem, mau yang warna bajunya motifnya nabrak, mau yang suaranya kaya toa, kita masih saudara satu sama lain. Dan kewajiban sesama muslim adalah sebagai pengingat.

Ide menulis ini adalah kegeramanku sendiri kepada mereka yang “akhwat” banget (yang jilbabnya lebar dan kegiatannya muter di sekre UKM atau masjid). Bukan kegeraman sebal atau emosi negatif, bukan juga jenis kegeraman yang ngebikin illfeel, tapi lebih ke “Hey guys, you can do better!things.

Beberapa hal yang ingin kusampaikan kepada saudara-saudara perempuanku di kesempatan kali ini adalah soal cara penghargaan mereka ke diri sendiri.

Hidup bersama banyak “akhwat” di asrama, membuatku sadar bahwa mereka sering lupa untuk merawat diri. Aduh alasannya banyak sekali ya sayang, kaya misal syuro disini, liqo disana, tugas kampus, tanggungjawab di kepengurusan. Percaya atau enggak, kekeliruannya hanya di kau belum benar-benar meluangkan waktu untuk itu.

Beberapa dari saudara perempuan tersayangku ini baru ribut soal “perawatan” kalau mau nikah. Assalamualaikum jeung, haruskah ada jaminan sang pangeran mau menjabat tangan wali kita baru kita mau berbenah? Seharusnya tidak. Itulah kenapa konsep perbaikan diri ditulis leih dulu dari membina rumah tangga yang syar’i dalam tahapan ustadiyatul alam.

Saudaraku, sudah atau belumnya sang pangeran datang, kita setiap hari akan berinteraksi dengan orang lain, bukan? Kita akan bertatap muka dengan mereka, akan bersalam semut dengan sesama saudara kita juga, akan menjadi pusat perhatian kalau sedang presentasi program atau nge-liqo-in adek-adek. Apakah kita tidak ingin memuliakan mereka dengan penampilan kita yang pantas?

Kira-kira apa yang ada di pikiran teman kepengurusan kita saat mencium bau dari jilbab kita yang agak lembab karena ternyata rambut kita di dalam masih basah?

Kira-kira apa yang ada di pikiran dosen kita jika melihat kuku kita potongannya kurang rapi dan bekas hena nya tidak beraturan?

Kira-kira apa yang ada di pikiran mutarrobi kita saat kita menghadiri liqo dengan baju tabrak motif?

Kira-kira apa yang ada di pikiran teman kita yang sedang walimah jika kerudung lebar kita lusuh dan dekker yang kita gunakan sudah lecek dan warnanya ga nyambung sama baju yang sedang kita pakai?

Kira-kira apa yang ada di pikiran calon mertua kita (walau saat itu belum resmi jadi mertua) saat tau calon anak mantunya doyan merengut dan have no sense of jokes at all?

Keep the answer for yourself lah ya.

Saudaraku, akhlak seorang muslim yang baik itu tercermin juga dari dia menjaga penampilannya. Aku sedang tidak berbicara tentang baju mahal, perawatan salon yang namanya aneh, atau wajah senyum bohongan. Aku sedang berbicara tentang penghargaan ke diri sendiri.

Jagalah dirimu sendiri dari anggapan orang lain yang kurang kau sukai. Bukan berarti kita berbenah dengan ukuran manusia ya, since ukuran manusia itu ga pernah ada mentoknya. Bukan juga berarti kita akan menjadi orang yang meng-generalisir dari penampilan luarnya saja. Kita berkewajiban untuk menkondisikan apa yang menjadi hak kita, tubuh dan wajah kita sendiri.

Yang penting kan hatinya, Bil!

Coba kalian pikir, adakah orang dengan hati peka membiarkan jilbabnya yang miring kanan miring kiri?

Adakah orang yang teratur ibadahnya membiarkan kuku tangannya panjang?

Adakah orang yang paham bahwa senyum adalah ibadah malah doyan merengut?

Seharusnya tidak.


Saudaraku, apa-apa yang terlihat di luar dan apa yang kita rasakan di dalam itu berhubungan. Apa-apa yang berusaha kita tampakkan di luar, entah itu decent looks atau senyum ikhlas, adalah bentuk rasa syukur kita kepada Allah atas fisik yang disempurnakan. Apa-apa yang berusaha kita jaga dengan dengan rutin merawatnya seperti kuku, rambut, kulit dan wajah adalah sarana penyempurnaan ibadah kita dengan akhlak yang terpuji.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.