Skip to main content

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.
                Ia tahu persis, penempatan yang baik akan memudahkan seseorang yang sedang mencari buku, mencari inti.
“disini! Bagus kan” kata perempuan itu sambil memasuki ruang baca Jenak. Dengan rok satin pendeknya yang jatuh, ia terlihat manis, seperti gulali yang di jual ibu kantin Jenak waktu SD, pink. Rambutnya pixie.
                Jenak tak paham, sudah 30 menit lebih, tapi si perempuan daritadi malah mengambili buku seenaknya, menaruhnya dimeja, berakting seakan-akan mebacanya, dan si lelaki yang menenteng kamera mahal itu memotretnya. Kali ini si perempuan sedang berlagak serius, lihat dahinya yang berkerut-kerut itu. Jenak makin tak paham. Bagaimana orang bisa memalsukan kebahagiannya sebegitu mudahnya? Ia tak mampu.
                Sekarang perempuan itu memegang buku, berpura-pura mendapat ide setelah membaca buku itu, Jenak berani bertaruh bahwa perempuan itu paham arti judulnya saja tidak. Itu buku ayah.
Klik
Jenak kaget, lelaki itu memotretnya. “iya? Ada yang bisa saya bantu?”. Banyak pertanyaan dalam benaknya, tapi Jenak memilih diam, biar angin membawa pertanda. Diluar mendung, Jenak paham bahwa hari ini akan hujan. Hujan akan menjebak dua sejoli ini. Dan saat itu tiba, ia bisa merapikan buku yang sudah keluar dari rak nya.
Jenak juga tahu bahwa perempuan dan lelaki ini akan mengambil spot duduk di sebelah jendela kayu itu. Ibu selalu menyuruh untuk memindahkan sofa itu, karena jika matahari sedang teriknya, tempat itu akan terkena sinar langsung. Tidak ada yang akan betah duduk disana. Tapi hari ini hujan.
Perempuan itu berkata bahwa ia lelah, ia tidak paham bagaimana bisa ada orang yang bisa membaca lama-lama. Menurutnya, membaca itu tidak menarik, isinya tulisan semua, semua buku itu buku pelajaran. Well, agaknya Jenak setuju dengan pernyataan terakhir.
Tiba-tiba lelaki itu sudah di depannya, untung Jenak tak terjungkat dari tempat duduknya. Ia mengambil beberapa contoh postcard yang Jenak gambar. Bertanya harganya. Dan kembali duduk setelah membeli koleksi postcard terakhir. Ada 10 postcard disitu tadinya.
“ah tidak, kau saja, aku tak tahu harus menulis apa” jawab si perempuan saat ditawari lelaki itu untuk menulis untuk beberapa teman mereka. Jenak semakin penasaran. Perempuan ini, perempuan yang menolak untuk membaca dan menulis, siapa kah dia?
“kau tau kan mereka tak akan membalas tulisanmu?”
“sedikit banyak, iya”
“lalu?”
“aku akan meminta maaf”
“kau terlalu naif Yudha, mengakulah. Mereka  belum bisa memaafkanmu dan keluargamu. Kau tahu kan kita berteman juga karena orang tua kita petinggi kebun sawit itu. Tapi mereka? Mereka bukan temanmu, kau tidak bisa berteman dengan orang
-orang yang kau rubuhkan rumahnya. Hanya membuang waktu, Yud. Jangan kau sakiti hatimu sendiri dengan mendengar cacian mereka.”
                Jenak menyerah. Mencari benang merah yang menjelaskan siapa seseorang itu terkadang melelahkan. Namun seperti biasa, Tuhan dengan sabar memberi mahkluknya petunjuk. Pak pos datang. Surat dari seseorang yang sudah ditunggu Jenak 2 bulan terakhir.
Klik
                Jenak mendengar kamera itu menjepret, tapi tidak tertarik untuk melihat apa objeknya. Ia sibuk membaca. Di surat itu, penulis nya mengatakan ia bahagia. Jenak menangis. Ia ingin segera menyusul. Ia ingin jadi cepat dewasa seperti superhero nya ini. Terjebak bersama buku-buku lama yang halamannya sudah ia hafal luar kepala membuatnya merasa sempit. Seperti ikan koi paling besar di kolam yang selalu menarik perhatian namun merasa kegerahan karena harus berbagi udara dengan   ikan koi yang lebih kecil lainnya.
                 Mereka berdua harus terpisah karena cinta, begitu kata ibu mereka. Tapi Jenak tak percaya, apa itu cinta? Cinta membuat Kak Arum pergi dengan ambisinya, katanya untuk cinta cita-cita. Cinta membuat ibu nya menikah lagi dan melepas tanggungjawab rumah semua ke Kak Arum tepat saat gadis pertamanya itu menginjak 17 tahun. Cinta, yang membuat ayah mereka dibunuh. Kata kawan ayah, ayah mereka cinta kebenaran.
                Tubuh Jenak bergetar, entah karena angin dari hujan di luar atau karena semua kenangan tentang “cinta” nya menyeruak. Satu hal yang Jenak paham hari itu, si perempuan ber-rok satin itu mencintai dirinya sendiri.

                

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.

Wanita dan Peranannya

Pagi itu kelas keakhwatan di pesantrenku kosong karena ustadzah yang mengampu berhalangan hadir. Jadilah pemandu kami menugaskan kami untuk menulis tentang peran perempuan secara umum. Here's my answer.