Dia
paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude
itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia
berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun.
Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik
penempatannya.
Ia
tahu persis, penempatan yang baik akan memudahkan seseorang yang sedang mencari
buku, mencari inti.
“disini! Bagus kan” kata perempuan itu sambil
memasuki ruang baca Jenak. Dengan rok satin pendeknya yang jatuh, ia terlihat
manis, seperti gulali yang di jual ibu kantin Jenak waktu SD, pink. Rambutnya
pixie.
Jenak
tak paham, sudah 30 menit lebih, tapi si perempuan daritadi malah mengambili
buku seenaknya, menaruhnya dimeja, berakting seakan-akan mebacanya, dan si
lelaki yang menenteng kamera mahal itu memotretnya. Kali ini si perempuan
sedang berlagak serius, lihat dahinya yang berkerut-kerut itu. Jenak makin tak
paham. Bagaimana orang bisa memalsukan kebahagiannya sebegitu mudahnya? Ia tak
mampu.
Sekarang
perempuan itu memegang buku, berpura-pura mendapat ide setelah membaca buku
itu, Jenak berani bertaruh bahwa perempuan itu paham arti judulnya saja tidak.
Itu buku ayah.
Klik
Jenak kaget, lelaki
itu memotretnya. “iya? Ada yang bisa saya bantu?”. Banyak pertanyaan dalam
benaknya, tapi Jenak memilih diam, biar angin membawa pertanda. Diluar mendung,
Jenak paham bahwa hari ini akan hujan. Hujan akan menjebak dua sejoli ini. Dan
saat itu tiba, ia bisa merapikan buku yang sudah keluar dari rak nya.
Jenak juga tahu bahwa
perempuan dan lelaki ini akan mengambil spot duduk di sebelah jendela kayu itu.
Ibu selalu menyuruh untuk memindahkan sofa itu, karena jika matahari sedang
teriknya, tempat itu akan terkena sinar langsung. Tidak ada yang akan betah
duduk disana. Tapi hari ini hujan.
Perempuan itu berkata
bahwa ia lelah, ia tidak paham bagaimana bisa ada orang yang bisa membaca
lama-lama. Menurutnya, membaca itu tidak menarik, isinya tulisan semua, semua
buku itu buku pelajaran. Well, agaknya Jenak setuju dengan pernyataan terakhir.
Tiba-tiba lelaki itu
sudah di depannya, untung Jenak tak terjungkat dari tempat duduknya. Ia
mengambil beberapa contoh postcard yang Jenak gambar. Bertanya harganya. Dan
kembali duduk setelah membeli koleksi postcard terakhir. Ada 10 postcard disitu
tadinya.
“ah tidak, kau saja,
aku tak tahu harus menulis apa” jawab si perempuan saat ditawari lelaki itu
untuk menulis untuk beberapa teman mereka. Jenak semakin penasaran. Perempuan
ini, perempuan yang menolak untuk membaca dan menulis, siapa kah dia?
“kau tau kan mereka tak akan membalas
tulisanmu?”
“sedikit banyak, iya”
“lalu?”
“aku akan meminta maaf”
“kau terlalu naif Yudha, mengakulah. Mereka belum bisa memaafkanmu dan keluargamu. Kau tahu kan kita berteman juga karena orang tua kita petinggi kebun sawit itu. Tapi mereka? Mereka bukan temanmu, kau tidak bisa berteman dengan orang-orang yang kau rubuhkan rumahnya. Hanya membuang waktu, Yud. Jangan kau sakiti hatimu sendiri dengan mendengar cacian mereka.”
“sedikit banyak, iya”
“lalu?”
“aku akan meminta maaf”
“kau terlalu naif Yudha, mengakulah. Mereka belum bisa memaafkanmu dan keluargamu. Kau tahu kan kita berteman juga karena orang tua kita petinggi kebun sawit itu. Tapi mereka? Mereka bukan temanmu, kau tidak bisa berteman dengan orang-orang yang kau rubuhkan rumahnya. Hanya membuang waktu, Yud. Jangan kau sakiti hatimu sendiri dengan mendengar cacian mereka.”
Jenak
menyerah. Mencari benang merah yang menjelaskan siapa seseorang itu terkadang
melelahkan. Namun seperti biasa, Tuhan dengan sabar memberi mahkluknya petunjuk. Pak pos
datang. Surat dari seseorang yang sudah ditunggu Jenak 2 bulan terakhir.
Klik
Jenak
mendengar kamera itu menjepret, tapi tidak tertarik untuk melihat apa objeknya.
Ia sibuk membaca. Di surat itu, penulis nya mengatakan ia bahagia. Jenak
menangis. Ia ingin segera menyusul. Ia ingin jadi cepat dewasa seperti
superhero nya ini. Terjebak bersama buku-buku lama yang halamannya sudah ia
hafal luar kepala membuatnya merasa sempit. Seperti ikan koi paling besar di
kolam yang selalu menarik perhatian namun merasa kegerahan karena harus berbagi
udara dengan ikan koi yang lebih kecil
lainnya.
Mereka berdua harus terpisah karena cinta,
begitu kata ibu mereka. Tapi Jenak tak percaya, apa itu cinta? Cinta membuat
Kak Arum pergi dengan ambisinya, katanya untuk cinta cita-cita. Cinta membuat
ibu nya menikah lagi dan melepas tanggungjawab rumah semua ke Kak Arum tepat
saat gadis pertamanya itu menginjak 17 tahun. Cinta, yang membuat ayah mereka dibunuh.
Kata kawan ayah, ayah mereka cinta kebenaran.
Tubuh
Jenak bergetar, entah karena angin dari hujan di luar atau karena semua
kenangan tentang “cinta” nya menyeruak. Satu hal yang Jenak paham hari itu, si
perempuan ber-rok satin itu mencintai dirinya sendiri.
Comments
Post a Comment