Skip to main content

what if ... had feelings?


                Sudah tiga kali ini, selama aku menginjak remaja, setiap aku ke bioskop aku lebih memilih untuk menonton kartun atau film animasi. Agaknya bisa dibilang aneh, karena setiap nonton pasti gabung sama keluarga-keluarga yang membawa anak mereka, bukan manusia seumuranku. Entahlah, bukan aku tak menyukai film genre action, romance atau horor, hanya saja film kartun ini lebih masuk di otak.
                Mungkin karena disajikan sedemikian rupa untuk lebih mudah dicerna anak-anak (berasa makanan), juga mungkin lebih bebas. Satu quote Pixar yang berhasil menelurkan film sukses adalah “what if feelings had feelings?” dalam Inside Out. What if.
                Simply yet complicated huh. Pertanyaan what if ini berkembang sesuai waktu. Berikut timeline nya.



                Did they stop? Not yet.
                Ada dua variabel tetap dari pertanyaan di atas, yang menurutku, menjadi dasar lahirnya ide dari para animation designer. “what if” dan “...had feelings”. Kenapa 2 kata ini? Asumsiku adalah karena variabel pertama merupakan refleksi dari pertanyaan kita pada semesta. What if. Berjuta kemungkinan bisa jadi jawabannya. Dan untuk jawabannya, kebanyakan kita harus berani mengambil satu hipotesa dan mencobanya. Try and error.
                “....had feelings?”. Untuk variabel kedua ini, aku berasumsi bahwa salah satu media untuk kita mengenali diri kita sendiri adalah dengan merasakan. Dengan berbagai macam hormon dan efek sampingnya, kita bisa merasakan sedih, marah, jijik, geli, malu, bahagia, dan contented (sebenarnya list nya panjang, bahkan satu bahasa seringkali meminjam istilah bahasa lain untuk mendeskripsikannya). Pentingnya mengenali diri kita sendiri ada 2, yaitu untuk memahami kemampuan kita dan harapan kita.
                Mengetahui kemampuan disini tidak hanya dalam bentuk skills, tapi juga batas tolerir kita dalam menerima sesuatu. Kopi jenis apa yang masih bisa kau tolerir keasamannya. Orang seperti apa yang bisa menjadi partner mu (orang yang akan membantumu terus-terusan menuju titik optimum mu). Baju warna apa yang cocok untuk dikenakan hari ini.
                Mengetahui harapan. Kenapa kau merasa marah jika sahabatmu pergi bersenang-senang tanpa mengajakmu? Kenapa kau merasa sedih jika ibumu juga sedih? Kenapa kau merasa malu saat ia mengedarkan pandang dari sudut ruangan? Jawabannya sama, karena kau menaruh harapan. Kau berharap juga diikutkan dalam rencana bersenang-senang dengan temanmu itu, kau menaruh harapan bahwa ibumu akan terus bahagia seperti yang selama ini dia usahakan untukmu, dan kau menaruh harapan bahwa ia akan melihatmu dalam pandangan sekilasnya. Kau berharap untuk sepersekian detik, mata mu akan bertabrakan dengan miliknya.
                Jadi, kenapa aku masih doyan nonton kartun (walau agaknya aku juga picky dalam memilih kartunnya)? Karena menurutku, film animasi ini memperlihatkan simulasi bagaimana mengetahui kemampuan dan harapannya pada penontonnya (ya secara gitu buat anak-anak). Suatu stimulus yang baik dalam bagaimana seharusnya mereka mengenal diri mereka sendiri.

Best animation film? Ah tak ada, aku tak ingin menyempitkan pendapatku kepada mana yang aku suka dan tidak suka, karena sebenar-benarnya hidup adalah menikmati alasan, bukan jawaban “ya” atau “tidak”, bukan? Tapi sejak aku menulis ini di awal tadi, aku berjanji akan memberi tahu kalian 3 film kartun yang worth-to-watch. The Croods, Inside Out, dan The Good Dinosaur. Aku mengurutkannya berdasarkan waktu rilisnya. Dan kau akan mengurutkannya berdasarkan pendapatmu tentang isi nya ya? J

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.

Wanita dan Peranannya

Pagi itu kelas keakhwatan di pesantrenku kosong karena ustadzah yang mengampu berhalangan hadir. Jadilah pemandu kami menugaskan kami untuk menulis tentang peran perempuan secara umum. Here's my answer.