Beberapa waktu
yang lalu, saya mendapat kesempatan untuk membantu seorang teman dalam misinya.
Dia sedang menuliskan esainya dan membutuhkan ide dari para influencer di
sekitarnya. Mereka yang berkarya dalam menggerakkan banyak orang, tak jarang
mereka ini merupakan inisiator dalam hal baik dan agen perubahan.
Meski belum
tentu dapat menjadi inspirasi untuk tulisannya, saya berusaha sebisa mungkin
menjawab dengan jawaban terbaik yang saya punya. Berikut adalah empat poin
pertanyaan yang diajukan:Kenapa jadi sukarelawan? (1)
Sebelum
menjawab pertanyaan, saya selalu membiasakan meluruskan apa yang menjadi objek
pertanyaan. Pun menyamakan paham tentang apa yang menjadi tujuan sebuah
pertanyaan dilontarkan. Jadi mari dimulai dengan arti sukarelawan itu sendiri. Menurut
KBBI, sukarelawan adalah kata benda yang berarti orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela (tidak karena diwajibkan
atau dipaksakan).
Menurut saya,
sukarelawan berasal dari tiga suku kata dasar.
Kemudian masih
menurut KBBI;
Suka (v) berarti
berkeadaan senang. Suka juga berarti mau. Dan mau berarti berhendak. Ingin.
Rela (v)
berarti bersedia dengan ikklas hati. Rela juga berarti persetujuan atau izin.
Dan yang perlu digarisbawahi pada arti terakhir adalah tidak mengharap imbalan
serta atas kemauan sendiri
Wan (n) berarti
tuan. Yang dapat diartikan sebagai entitas manusia.
Jika
disatukan, secara denotatif istilah sukarelawan dapat berarti sebuah entitas yang bersedia melakukan
sesuatu atas kemauan sendiri dengan tidak mengharapkan imbalan dan berkeadaan
senang. Perlu ditambahkan bahwa frasa tidak mengharapkan imbalan memiliki makna bahwa segala sesuatu yang
didapatkan si pelaku tidak selamanya berbentuk materi atau kekayaan. Karena
saya percaya segala sesuatu yang terjadi akan selalu ada balasannya, ada hukum timbal
balik yang mengatur dunia kita.
Menurut saya,
sukarelawan lebih dari sekedar label yang menyertai pelaku suatu aktivitas.
Sukarelawan merupakan implementasi dari sebuah kebaikan. Tindakan nyata yang
mana sebuah alasan kenapa manusia hidup berdampingan satu sama lain. Bahu
membahu bekerjasama membangun peradaban. Kalau bukan untuk hidup bersama, lalu
untuk apa lagi manusia ada? Jadi, sukarelawan merupakan kegiatan yang sudah
seharusnya dilakukan oleh manusia. Itulah kenapa kita sering menjumpai manusia
manusia yang tidak bahagia padahal mereka memiliki banyak materi. Ketika manusia
melakukan sesuatu dengan mengharap imbalan dan tidak dengan sepenuh senang, ada
bagain dari hati manusia yang menjadi tumpul karena jarang dibuat bahagia.
Untuk menutup
jawaban, saya menjadi sukarelawan karena ingin berfungsi sebagai manusia
seutuhnya. Saya menjadi sukarelawan karena saya senang dengan berbagai macam
ilmu pengetahuan. Saya menjadi sukarelawan karena saya ingin lebih
mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang manusia dapat lakukan dengan akal.
Saya menjadi sukarelawan karena saya bersedia dan dengan rendah hati ingin
berbuat kebaikan yang bukan hanya bias dilakukan oleh orang banyak berupa
keringat, tapi lebih dari itu dengan menggunakan olah pikir. Karena dengan
berpikir sedikit
saja, kebaikan yang dilakukan dapat berguna lebih banyak daripada yang
hanya sekedar bekerja. Saya menjadi sukarelawan karena dengan berbagi lelah dan
pikiran, saya merasa utuh. Saya menjadi sukarelawan saya merasa apa yang saya
lakukan dan pelajari bermanfaat bagi orang yang saya temui. Dan dengan
bermanfaat, saya memenuhi kewajiban personal saya dengan Tuhan saya untuk menghamba.
Kenapa memilih bidang tersebut? (2)
Dalam merencanakan
sesuatu, kuantitas okupansi primer yang harus dikerjakan dan preferensi pribadi
menjadi acuan saya dalam mengambil keputusan. Mulai dari kecil saya terbiasa
membantu orang tua dalam mengurusi pekerjaan rumah dan membantu keluarga maupun
tetangga yang membutuhkan. Dari situlah saya menyadari kalau ternyata saya mempraktekkan
apa yang disebut sebagai kesukarelawanan. Berangkat dari pemahamanan dan ketakjuban
dengan pekerjaan yang mereka lakukan sebagai orang tua, saya merasa untuk harus
berbuat baik sebagai timbal balik. Saya sadar segala sesuatu terjadi karena
sebuah aksi, akan selalu ada reaksi yang menyertainya.
Seiring dengan
bertambahnya usia, makin banyak yang harus dilakukan untuk belajar menjadi
manusia. Yang paling kentara ada dalam hal pendidikan. Kita harus memasuki sistem
pendidikan yang telah disusun sedemikian rupa untuk membekali kita secukup
mungkin dalam menghadapi ujian ujian yang akan dating berupa kita. Baik ujian
itu yang mengharuskan kita mengolah pikir, olah raga, maupun olah hati untuk
menyelesaikannya. Seiting bertambah pula level kesukaran ujian yang dihadapi,
bertambah pula pemahaman saya akan kesukarelaan yang saya lakukan (dan saya
inginkan).
Saat menempuh
pendidikan dasar, saya sukarela menjadi representasi sekolah. Tim pramuka, tim
cerdas cermat, tim kemah, tim olahraga, tim petugas upacara, tim lomba seni,
tim lomba sains, hingga tim kesehatan saya ikuti dengan niat belajar sebanyak
mungkin (membuktikan kemampuan juga sih :P namanya juga anak kecil ndak mau
kalah) dan mengeksplorasi segala bentuk kontribusi yang mampu saya lakukan
serta gemari. Kebanyakan maunya ndak sih haha.
Kemudian saat
masuk sekolah menengah pertama, saya merasa ekstra kontribusi yang saya lakukan
terbatas oleh status kelas percapatan yang saya ikuti. Meskipun begitu, saya
masih dapat ikut lomba matematika (Pasiad kalau kalian tahu), ikut perguruan
beda diri, ikut naik gunung (tapi gaikutan pecinta alamnya), ikut banyak olah
fisik (selain karena memang di pondok boarding banyak main fisik),
penelitian ilmiah juga sering ikut acaranya, asrama hafidz, dan terakhir belajar
super ngotot untuk lomba cerdas cermat yang diadain OSIS Aliyah (namanya
OPPMIA). Ya jadi ndak ada yang bisa diceritain banyak kecuali memang ada acara
kolosal
Dan terakhir
sebelum saya menjawab pertanyaan, saya memasuki masa masa dimana hampir sebagian
besar pijakan hidup yang saya punya saat ini ditempa. Masa masa ini adalah masa
sekolah menengah atas. Beruntungnya, masa kritis ini saya lalui di tempat yang
memiliki standar super bagus dibanding tempat lain. Woy
fokus jawab wey, malah ksbb. Jaman ini, saya memilih untuk menjadi
sukarelawan dengan menjadi anggota OSIS yang fokus di bidang jurnalistik. Saat
itu, saya sadar bahwa banyak hal yang lebih banyak harus saya kejar dibanding
kemampuan analitis dan teoritis yang diajarkan di kelas. Oleh karenanya saya
harus memulai belajar linguistik. Mulai dari hampir mendirikan ekskul
fotografi, ikut ekstra desain grafis, ikut klub cinta buku, hingga jadi loper
koran saya lakukan. Kebetulan waktu itu juga saya masuk sebuah kelas bilingual
(yang seleksinya berpreferensi menggunakan nilai MATEMATIKA sebagai tolak
ukurnya. Well, saya tahu karena saya mencuri pandang lembar kertas penilaian
saat wawancara masuk kelas tersebut -__-). Dan dari situlah saya mulai memaknai
sukarela sebagai apa yang saya pahami sekarang. Sukarela untuk melakukan hal
yang belum bias saya lakukan. Sukarela untuk belajar sesuatu yang saya sangat
bodoh akannya. Sukarela menerjang segala keterbatasan untuk menempa diri agar
terpersenjatai untuk menghadapi perang dan ujian selepas fase menengah atas
ini.
Kemudian
masuklah saya ke dalam fase selanjutnya. Fase dimana saya melakukan segala
sesuatunya secara sadar dengan kuasa penuh. Apa yang terjadi dengan diri saya
sepenuhnya merupakan akibat yang harus saya tanggung sendiri akibatnya. Disini
mulailah saya mandiri menentukan apa yang ingin saya lakukan. Waktu itu stand
point yang saya miliki adalah saya ingin melakukan sesuatu dimana saya menjadi
otak oleh suatu gerakan, bukan sekedar ikut apa yang sudah ada di pasaran. Kurang
lebih tercipta pemikiran tersebut karena selama ini yang saya lakukan adalah
mengamini gerakan yang dipersuruhkan orang, kasarnya. Saat itu Tuhan juga memlihatkan
kuasanya dengan mempertemukan saya dengan seorang dosen saya yang dengan begitu
saja (baca: secara ajaib) mengajak saya untuk membuat sebuah komunitas robotika.
Padahal, hari itu adalah hari pertama beliau sebagai tenaga pendidik dan saya
sebagai pesertanya dipertemukan. Berangkat dari situ, lama kelamaan komunitas
ini berkembang menjadi komunitas non otonom yang bergerak secara massif dalam berkompetisi
baik regional, nasional, hingga internasional. Semenjak itu, kerangka robotika yang
dipakai kurang relevan dengan tujuan adanya komunitas didirikan (yaitu belajar
dan mempergunakan ilmu untuk membuktikan kapasitas. Karena dalam memulai segala
sesuatu harus ada buktinya kan? J
Indonesia aja merdeka butuh diakui secara statute huehehe). Saat itulah
komunitas belajar robotik tersebut (yang tidak sampai dua tahun) berubah nama
menjadi Metaloka. Meta berarti perubahan. Loka berarti dunia. Nama metaloka
diharapkan menjadi wadah muda mudi yang bergabung untuk mengubah dunia.
Kerangka yang dipakai Metaloka adalah komprehensi materi inter disipliner.
Jadi, segala project yang dilakukan atau
direncanakan adalah berdasarkan multi disiplin. Dengan adanya perbaduan segala
aspek keilmuan, diharapkan karya yang dihasilkan dapat berguna bagi lebih
banyak orang, terpahami lebih banyak disiplin ilmu, dan tersebar lebih luas
lagi.
Untuk menutup
jawaban, bidang ini sebenarnya bukan sepenuhnya saya yang pilih. Ada campur
tangan Tuhan yang membuat terciptanya Metaloka. Saya berkomitmen untuk
komunitas ini karena saya tidak dibatasi untuk belajar. Saya belajar tidak hanya
karena saya diharuskan secara akademis, melainkan saya belajar karena saya
merasa tertantang untuk membuat diri saya terus lebih bermanfaat dari
sebelumnya. Saya memilih untuk berkomitmen karena sebagai manusia saya sadar
ilmu itu tidak ada batasnya, dan Metaloka memberikan jalan paling lapang untuk
saya menelusuri batas batas ilmu tersebut.
Apa saja aspek yang harusnya ada di pendidikan sukarelawan? (3)
Pendidikan
sukarelawan. Edukasi kebermanfaatan. Pengajaran keahlian.
Ketika
membahas pendidikan, tujuan dari adanya pendidikan tersebut harus memiliki
alasan yang kuat untuk diadakan. Edukasi adalah penambahan pengetahuan dan
kemampuan seseorang melalui teknik praktik belajar atau instruksi. Praktis
ataupun teoritis. Pada ranah praktikal, kegiatan sukarelawan yang dipahami
masyarakat sendiri kebanyakan merupakan kegiatan yang “hanya” membutuhkan waktu
dan otot. Kenapa secara kasar saya sinis terhadap banyaknya komunitas itu
sendiri? Karena kebanyakan komunitas yang saya temui sering kehilangan arah
dalam berkegiatan. Kehilangan arah dalam artian hanya melakukan ritual (ritual secara
definisi adalah melakukan kegiatan fisik tanpa maksud yang jelas). Kehilangan
arah dalam artian komponen subordinat di suatu komunitas yang hanya melakukan job description. Kehilangan arah dalam
artian kehilangan roh dalam menentukan ke arah mana komunitas tersebut dapat
dibuat lebih berkembang. Kehilangan arah dalam artian kehilangan tujuan
berlayar. Ibarat kapal, kapal ini bongkar pasang muatan (berganti kepengurusan)
ke berbagai tempat bukan karena tempat tersebut dibuat pembelajaran, namun
lebih karena sebelumnya kapal tersebut memang berlabuh di tempat itu. Again,
ritual. Kapal mungkin memang banyak dibuat untuk menempuh rute yang sama. Tapi sebagai
manusia yang berakal, kita bisa memodifikasi kapal tersebut sedemikian rupa
untuk menempuh banyak petualangan dan pembelajaran baru bukan?
Jadi sebelum
mempegawaikan orang untuk berlayar agar tidak hanya berdiam, apa saja yang
perlu diperhatikan?
Visi
bersukarela. Kenapa sebuah gerakan
atau kebersukarelaan itu ada harus ditanamkan kepada calon suakrelawan.
Kejelasan visi. Keteraturan waktu evaluasi. Perjalanan gerakan mulai dari pahit
hingga manis harus ditransfer secara baik kepada calon pembawa kebaikan
(baca:sukarelawan)
Motivasi
sukarelawan. Hal yang sering menjadi benalu pada sebuah gerakan adalah
ketidak seragaman keinginan. Ketika seorang memutuskan untuk menjadi partner
dengan tandemnya, harus ada kesamaan motivasi agar selama berperjalanan, partnership
tersebut dipastikan berakhir dengan tujuan yang sama. Meskipun kadang kerjasama
tersebut sering berpemahaman berbeda, visi tadilah yang mempertemukan banyak
pihak tersebut. Agar dalam pelaksanaannya, batas partnership yang dibuat mampu
secara personal dan professional diperhukumkan apabila dilanggar oleh salah
satu pihak. Disini, motivasi calon sukarelawan harus sejelas-jelasnya digali. Tidak
salah memang melakukan sesuatu di waktu yang
berlebih kosong, namun jangan sampai ketidak mampuan salah satu pihak
dalam berkomitmen menjadi benalu bagi bagian lainnya untuk berkemajuan. Gali motivasi
sedalam dalamnya.
Teknis
dasar. Komunitas dapat dibagi berdasarkan bidang kemampuan dan keahlian.
Mampu secara akal, teknis, dan waktu. Ahli dalam berpikir, berkegiatan, berjejaring,
tugas spesifik, dan mengatur waktu. Untuk itu, seyogyanya tiap komunitas
memiliki panduan dasar dalam menjalankan fungsi mereka. Ada buku pedoman yang
terus diperbaharui. Saya percaya tidak ada sesuatu yang statis didunia ini (kecuali
ilahiyah). Karena komunitas merupakan kelompok spesifik yang berjuang di bidang
yang spesifik pula, kemajuan dalam bentuk log atau panduan sangat penting untuk
dipelihara. Agar tiap tahunnya (atau ukuran waktu lain) dapat dilihat kemajuannya.
Pemahaman
yang sama. Hindari menerima orang-orang yang kira kira susah untuk
diajak berkemajuan. Baik secara teknis, maupun secara intelektual. (Atau kalau dibalik,
hindari komunitas yang kegiatannya itu-itu saja). Aspek pendidikan pemahaman
seyogyanya harus diterapkan pada saat rekrutmen. Dan selayaknya pula komunitas memperbantukan
orang bukan karena kekurangan orang semata, namun mempertimbangkan kualitas
komunitas itu sendiri.
Saat ini
setidaknya empat hal tersebut yang secara kritis mampu terpikirkan. Selanjutkan
akan ditambahkan apabila ada hal yang terlewat.
Volunteer yang baik itu seperti apa? (4)
Volunter yang
baik adalah yang volunteer yang paham akan kapabilitas dirinya, bijak dalam
memilih kebermanfaatan yang diinginkan, mau bekerja keras untuk mendapatkan pengetahuan
baik ranah teoritis maupun praktis, dan berkomitmen untuk terus berkemajuan
dalam menyebarkan kebaikan.
Semoga
membantu!
Comments
Post a Comment