Skip to main content

Jaga kedua sisi lembut dan kerasnya

Okay, bulan terakhir di tahun 2015 ini kita berdua sepakat untuk menggandakan tulisan. Entah bakal gimana jadinya tapi mari berpikir positifnya dulu. Tapi kalau dipikir kesempatan “nyampah” dengan tulisan baper yang meningkat mungkin bisa berarti bagus bagi aku sendiri untuk lebih peka tentang apa yang aku tulis.
Kemarin, sabtu tanggal 5 Desember 2015 mungkin bisa dianggap hari yang paling tidak produktif selama di Jogja. Lil guilty, tapi kurang lebih memang aku merencanakannya. Terlepas dari rutinitas semester 5 yang meningkat drastis di bagian akhirnya, aku memang sudah butuh piknik hahaha.
Namun, jauh dari perkiraanku, walaupun fisikku membatasi dirinya untuk ter-expose keluar kos lama-lama (Aku keluar kos mungkin hanya kurang dari setengah jam), namun hatiku sudah melompat dari tempatnya dari pagi hari.
Rencana untuk me-time terganti dengan ada seorang teman yang tiba-tiba menangis dan ingin bertemu denganku. Aku yang sama sekali tidak merasa keberatan, kaget, ia yang katanya datang sore hari, ternyata sudah datang bakda zuhur.
Ia memanggil namaku saat masuk kamar dan langsung lunglai ke lantai sambil melanjutkan tangisnya. Bodohnya aku. Perlu sekitar 2 menit untuk sadar bahwa yang dia butuhkan adalah bantal. Dia akan menginap malam itu denganku, karena beberapa pertimbangan.
Malamnya, aku mendapat telepon tak terduga. Bukan dari seseorang yang aku harap dengar suaranya di ujung telepon harus kuakui. Mungkin karena itu juga aku memberi respon dingin mampus sampai telepon di tutup.
Orang dari masa lalu? Bukan. Hanya saja orang ini mengambil waktuku secara cuma-Cuma. Dan harus kuakui, aku tak suka. Aku melihat jam dan berjanji pada diri sendiri akan memberi waktu padanya setengah jam untuk menyampaikan maksudnya.
Tak hendak aku membandingkan temanku dengan kenalanku ini. Apa yang ingin aku tulis disini adalah bagaimana hati bisa dilelahkan dengan mudah. Hanya dengan seseorang yang tiba-tiba marah padamu dan mendiamkanmu atau juga atasan kerjamu yang memintamu mengerjakan hal di luar job description, kelewat sering.
Aneh menurutku karena bagiku hati yang kuat adalah yang “lunak” dan “keras” di saat yang bersamaan. Ia harus lembut, mengikhlaskan apa yang seharusnya dilepas, menerima apa yang tak masuk di nalar, dan menampung semua alasan sementara sebagai mahkluk yang bertanya-tanya mengapa harus dihadirkan ke dunia ini. Dalam bentuk ini, hati sangat rentan untuk dilelahkan, termasuk  karena perubahan.
Ia harus kukuh. Ia harus dilatih untuk tetap percaya. Si hati ini, didesain secara mengagumkan untuk menyembunyikan “kata-katanya” dalam doa. Ia pun bisa memaki, masih dalam bentuk doa, memaki mengapa ia harus diperkerjakan secara semena-mena hanya karena kita belum belajar bagaimana memberi filter untuk emosi yang bermanfaat dan tidak.
2 orang ini, temanku yang menangis dan kenalanku yang tak tahu tujuan telpon nya, hati mereka sedang dilelahkan. Oleh? Oleh harapan untuk terus akur dengan sahabat dan harapan untuk tetap diam di zona nyaman. Dua hal yang tidak mungkin selama kau ingin berkembang sendiri.
Tiap perubahan mengandung pilihan baru, sayangnya, mereka berdua terlalu sedih untuk melihat kemungkinan-kemungkinan Tuhan.
Untuk teman yang membasahi bantalku dengan air matanya, jika kau membaca ini, maafkan temanmu itu, Ann. Kau berhak mendapat ketenangan batin daripada harus mendendam. Ini fase. Toh hubungan manusia punya dinamika nya sendiri, yang harus kau lakukan adalah tetap melanjutkan menulis garismu sendiri. Esok, saat semuanya mereda, ia mau tak mau akan tersenyum karena sapaan selamat pagimu, Ann. Selama itu belum terjadi, mau kah kau mengikhlaskannya?
Untuk seseorang dengan telepon setengah jam nya, kuatkanlah hatimu itu. Ambil konsekuensi penuh atas keputusan yang sempat tidak berani kau ambil. Lihat sisi positifnya, kau membantu orang bukan? Di lain kesempatan, tolak lah secara halus. Tanpa harus ada bersalah, hatimu juga berhak lepas dari ketakutannya sendiri untuk mengatakan "tidak”.

Jangan lelahkan hatimu sendiri. Jaga harapanmu sendiri. Jaga kedua sisi lembut dan kerasnya.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.

Wanita dan Peranannya

Pagi itu kelas keakhwatan di pesantrenku kosong karena ustadzah yang mengampu berhalangan hadir. Jadilah pemandu kami menugaskan kami untuk menulis tentang peran perempuan secara umum. Here's my answer.