Jadi
ini pertama kali nya aku nulis soal percakapan, murni percakapan, tentang 2
kontributor blog ini dalam ngelihat kontribusi manusia untuk sekitarnya.
Percakapan ini terjadi selama kurang lebih 2 jam, via whatsApp (that’s why bisa
sama persis, karena tinggal copast).
Me : “Kakdib, aku dihubungin lagi sama pihak Yogyakarta
Mengajar. Mereka ngajak ketemuan besok, aku ga yakin. Tapi aku uda ngutarain
kalau aku masih pingin ngajar”
Him : “ndak yakin kenapa?”
Me : “Jadi mereka kan kemaren ngrekrut, trus kasih masa
percobaan k volunteer sampai bulan Agustus. Ternyata sampai bulan tersebut,
koordinasi mereka sendiri ga jelas. Sampai bulan puasa bahkan sampai idul
fitri, sampai sekarang ini. Aku uda pernah cerita belum kalau inisiator nya itu
5 anak SMA yang sekarang kelas tiga? Keren kan. Aku sempet nghubungin mbak Ata,
orang yang biasa bantu ngumpulin anak-anak di daerah Badran buat dateng
kegiatan belajar tapi hasilnya nihil. Dan semoga dengan momen liburan ini,
masih ada chancve buat aku ngajar lagi. Aku ceritanya ga keruan ya? Soal ga
yakin, aku janji mau nulis, targetku 2 halaman buat besok” (Aku sedang
mengikuti program kelas menulis esai)
Him : “mungkin inisiatornya lagi sibuk mau unas”
Me : “aku awalnya mikir gitu, that’s why aku usaha
nghubungin mbak Ata sendiri, tapi hasilnya nihil itu tadi. Tapi aku tetep
pingin ngajar. Jadi kayaknya walau besok aku ga bisa ketemu mereka, aku minta
ketemuan, entah minggu atau senin”
Him : “Ketemunya sama anak SMA itu?”
Me : “Yap”
Him : “Menarik. Kalau dideskripsiin berarti kamu ikut
kegiatan yang diadain anak SMA ya”
Me : “ IYAAAA. Aku salut banget sama mereka”
Him : “Menurutmu, kalau anak SMA aja bisa arrange kegiatan
kaya gini. Seumuranmu harusnya bisa ngapain?”
Me : “Well, kok aku kayaknya agak gimana kalau ukuran yang
dipakai adalah “anak SMA” atau “seumuranku”. Tapi yang aku tau pasti, selama
kita bisa meluaskan manfaat seluas-luasnya ya ga ada batasan umur sih. Dengan
cara apapun”
Him : “Eh? Maksudku bukan ngremehin ya. Maksudku apa yang
kamu punya yang ndak dipunya anak SMA. Kaau dipikir, menurutmu kamu bisa
ngebikin sesuatu yang lebih ndak dari anak-anak SMA itu dengan resources yang
kamu punya (sedangkan mereka tidak). Jelas, kalau manfaat semua harus dikejar.
Gimana?”
Me : “Resources, waktuku lebih banyak dan fleksibel. Sesuatu
yang lebihmu ukurannya dari apa ni? Dari inisiatif ngajar kan?”
Him : “Ga terbatas ngajar sih. Apapun.”
Me : “ Sebut. Bikin ukuran yang jelas dulu sebelum pakai
kata ‘lebih’ “
Him : “Aku uda pernah bahas ini sih. Yang bedain doint the
motion sama setting the notion. Skala manfaat buat orang. Kreatif cari lahan
manfaat. Ndak Cuma stuck di manfaat yang dua dibikin sama orang. Aku sebenernya
Cuma pingin ngeliat seberapa kreatif sih kamu bisa set notion buat manfaat.
Ibarat gini, kalau semua orang kerja, siapa yang mikirin kerjaan apa yang
dikerjain orang. Kalau semua orang kerja (kebanyakan) pakai otot, siapa yang
mikirin apakah yang dikerjainn itu masih relevan manfaatnya. Pernah denger
pendidikan di Finlandia dan Skandinavia bisa maju? Mereka secara geografis
mirip Indonesia. Luaas. Banayak penduduk terpencil. Fasilitas publik ga merata.
Kalau terus-terusan ngandelin volunteer
buat ngembangin daerah tertinggal, kapan bisa progresif? Bukan berarti
aku meremehkan orang yang ngelakuin. Justru aku apresiasi. Yang aku pingin
garis bawahi adalah harus ada yng mikirin
hal ini dari sisi yang lain. Harus ada pengatur. Harus ada yang ngeliat dan
menyelesaikan masalah sampai ke akarnya. Harus ada ynag mikirin. Caranya
gimana? Untuk kasus mereka, mereka minta dana APBN negara mereka. Ngutang sama
luar bahkan. Buat apa. Buat set notion. Bikin pemerataan pendidikan secara
struktural dsengan cara ngirim guru ke pedalaman plus infrastruktur. Dibikin
mutasi buat guru. Setelah dievaluasi, digratiskanlah pendidikan. Semacam gitu”
Me : “ Kenapa menurutmu setting the notion lebih tinggi
posisi nya daripada doing the motion? Kalau dalam konteks yang kamu bilang tadi
kamu apresiasi, omonganmu sebelumnya dan malam ini pun mengindikasikan bahwa it
is better to become the one who setting the notion”
Him : “ Kamu nanya soalnya ga paham atau pingin tanya
pendapatku?”
Me : “ Aku paham, tapi aku tanya pendapatmu. Selama ini
soalnya menurutku, those who volunteer themselves ga bisa dibagi dua gitu aja.
Pun yang doing the motion dianggap kebanyakan pake otot dan yang satunya pake
otak”
Him : “Memang ga bisa dibagi dua. Tapi penggunaan energi
yang lebih dominan. Okay, pendapatku ya”
Me : “Nope, tetep ga bisa dibagi, dengan alasan apapun,
menurutku. Go on”
Him : “Aku uda pernah billang kan ndak ada yang sepenuhnua
hitam dan putih, dalam setiap hal. Yang bisa kita lakuin Cuma ngeliat mana yang
lebih dominan. Termasuk yang tadi aku bilang, set notion sama be mmotion.
Pendapatku, iya being the notion ounya derajat yang lebih tinggi daripada
motion. Kalau ga ada yang mikir, ga akan ada gerakan. Kalau ga ada inisiasi, ga
akan ada yng namanya perubahan. Menurutmu kenapa ayat alquran yang diturunin
pertama kali itu “iqro”? Padahal kondisi Rasul sendiri waktu diturunkannya
wahyu itu ndak bisa baca. Karena manusia disuruh mikir. Bahkan Rasul waktu
diturunin wahyu pertama itu diteriakin iqro tiga kali ama djibril. Ada ulama
yang ngartiin ini kita disuruh mikir 3x sebelum ngelakuin satu perbuatan. Di
alquran sendiri jelas secara eksplisit dibilang bahwa kedudukan orang yang
berilmu lebih tinggi daripada yang ndak(berilmu ini diterjemahin yang paling
cocok untuk kata ‘alim. Dimana artinya bisa juga mikir). Itulah kepaan aku ga
suka orang yang seenaknya dalam berperbuatan. Dalam artian ndak dipikir
matang-matang sebelum dilakukan. Bukan ga suka sih. Ga setuju.”
Me : “I have to admit that
1.
Aku setuju sama semua contoh yang kamu kasih
2.
Akupun ga suka sama orang yang ga paham impact
dari perbuatannya sendiri
3.
Still, aku ga setuju sama pendapat awal
Inisiasi dan mikir ga harus dilakuin sama orang yang set
notion sih kak, untuk continous effort dan fleksibilitas kita tetep butuh lebih
dari sekedar ‘ide awal’. Lagi-lagi, kenapa aku dapat kesan bahwa kamu
berpendapat yang setting the notion itu lebih penting? Aku lebih suka
visualisasi jaring sih daripada hierarkis. Dan aku gatau apakah ini masuk
hitungan atau engga (yang entar kesannya malah pamer atau gimana) Aku
dihubungin Yogyakarta Mengajar karena mereka lagi hancur, karena mereka gatau
lagi kudu gimana, mereka buuth saran masukan dan ide sistem ke depannya mau
gimana. Kepentingan tetep pingin ngajarku yang aku sebut ke kamu adalah murni
kepinginanku pribadi, yang kamu baca sebagai doing the motion. Lagi-lagi, aku
ga setuju sama pembagian itu”
Him : “Boleh diperjelas ga, kalimat mana dari aku yang kamu
ga setuju”
Me : “Pendapatku, iya being the notion punya derajat yang
lebih tinggi daripada motion. Kalau ga ada yang mikir, ga akan ada gerakan.
Kalau ga ada inisiasi, ga akan ada yng namanya perubahan”
Him : “Bukannya daritadi muter kalimatmu di ‘ga setuju sama
pembagian itu’?”
Me : “iya kakdib, soalnya aku ga sejalan sama kamu yang
hilang ada status yang lebih tinggi daripada yang lain. I told you, aku lebih
suka visualisasi hubungan 2 golongan yang kamu maksud ini sebagai jaring, bukan
hierarkis”
Him : “Pun aku. Apalah itu hierarki. Tapi kalau ndak ada
hierarki, surga pun ndak akan ada tingkatannya. Kita harus paham tingkatan mana
yang mau kita tuju (jelas yang paling atas). Tapi pada ranah praktisnya, kita
kerja kaya jaring.
Me : “Yang ada di pikiranku, yang bisa bikin hierarki itu
Cuma force di luar mahkluk. Surga? Yang bikin bukan mahkluk. Amalan? Yang
decide juga bukan mahkluk (well malaikat membantu mecatat sih)”
Him : “Kepikiran ndak sih, sepenting-pentingnya kerjaan,
bakal ujungnya chaos kalau ga ada hierarki. Siapa megang apa. Siapa punya
tanggungjawab apa. Siapa ngehandle siapa. Akan selalu ada”
Me : “Aku lebih suka menyebutnya dengan spesialisasi. Siapa
megang apa, siapa ahli dimana, siapa bisa timbal balik apa dengan siapa. Toh di
dunia yang sekarang katanya hierarkis ini tetep chaos juga, konsep hierarkis
yang ga aku suka disini adalah banyak individu yang menganggap kontribusi
individu lainnya lebih rendah, lebih bisa didominasi, bisa digantikan”
Him : “Kamu tau aku ga nganggep rendah kontribusi yang lain.
Kamu juga tau aku ga nganggep tiap orang dengan mudah bisa digantikan. Tapi
kalau semua dosen kerjaannya cuman ngajar, apa yang mereka tau? Siapa yang
bakal evaluasi kurikulum? Siapa yang bakal ngusulin perbaikan untuk kemajuan?
Siapa yang bakal menganalisa kalau yang dilakuin itu progresif. Ya kan? Yang
aku tekanin lebih ke mindset jadi manusia lebih dari yang lain. Lebih bijak.
Lebih bisa ngeliat secara luas. Lebih bisa berbuat banyak. Ndak cuman terpaku
sama yang ada. Manusia itu diciptakan untuk mencipta. Kalau kita bisa berbuat
lebih, kenapa ndak. Makannya dibantu nah itu anak-anak SMA nya”
Me : “Kalau penekananmu disitu, dan kamu merasa lebih bijak
dan mencipta karena setting the notion, sayangnya...di penekanan yang sama, aku
pilih sisi yang lain. Dan aku uda bilang dari awal, kalau aku emang rencana
ketemu mereka tapi belum tau kapan”
Him : “Kalau kamu terus-terusan milik sisi itu rugi”
Me : “so it’s not over yet uh. Jadi gini menurutku, semua
orang berkembang dengan caranya sendiri, cara gimana dia widen their
understanding dan widen their perspective. Cemacem. Kalau di penggolonganmu,
ada dua, kita di sisi yang berbeda, tapi bukan berarti satu pihak itu ga bisa
diajakin buat mikir atau berbuat dengan cara yang lain. Aku menghargai semua
bentuk kontribusi. Semua. Dan jika itu ngebuat aku rugi, well itu menurutmu.
Jangan kamu baca ini sebagai niatanku buat ga berkembang ya. It’s just
different path dan bukan berarti aku ga mau nyoba dengan cara yang satunya”
Him : “ ‘terus-terusan milih sisi itu’ sama ‘gamau nyoba
dengan cara satunya’ sama apa beda?”
Me : “sama”
Him : “terus kenapa kamu masih mendebat? Aku setuju semua
poinmu, kecuali satu dimana kamu ga merasa rugi terus-terusan ngelakuin hal
yang sama”
Me : “Aku mendebat karena di suatu waktu aku pernah bilang
ke kamu kalau aku bakal nyoba saranmu yang daftar Forum Indonesia Muda itu. But
then kamu masih bilang ‘kalau kamu terus-terusan milih sisi itu, rugi’. You
know kata ‘terus-terusan’ itu ga relevan”
Him : “Yatapi kalau kamu Cuma daftar karena orang dan bukan
maumu sendiri ya sama aja boong”
Me : “Salah, bukan gitu maksudku. Okay gini, kamu tau kita
‘all or nothing’ kan, kita juga ga suka konsep orang bertindak tanpa pemikiran
(menurutku, orang yang bertindak hanya karena omongan orang lain itu tetep
diitung tanpa pemikiran). Intinya, aku dapet ide buat ganti kacamata dari kamu,
thanks a lot for that. Dan aku mau coba, gitu.”
Him : “Kay, kamu bisa lebih dari sekedar ngebantu orang”
Me : “I’m listening”
Him : “ ‘sekedar’ bukan maksud meremehkan. Kamu bisa
ngebantu orang buat ngebantu orang lain. Dengan itu manfaatnya bisa beranak
pinak. Setelah kamu selesai di suatu tempat, kamu bisa ngebantu orang buat
ngebantu orang di tempat lain lagi”
Me : “definisi manfaatku disini adalah feeling contented.
Dan kalau ngomongin soal beranak pinak, aku ngajar juga merasa beranak pinak,
apalagi entar kalau yang aku ajar inget dan ngajarin ke temennya, atau suatu
saat dia jadi guru, guru dari anaknya sendiri. Lagi, kakdib, kata ‘sekedar’ mu,
buatku, ga relevan, ga ada kontribusi yang ‘sekedar’, ga diantara individu yang
memegang konsep ‘all or nothing’ “
Him : “Give a man fish and he’ll live for the day. Teach a
men how to fish and he’ll learn how to live life”
Me : “agreed”
Him : “kapan si aku ngeremehin ngajar?”
Me : “Ga ada, Cuma kamu mengkategorikan ngajar sebagai doing
the motion yang katanya setingkat di bawah seeting the notion”
Him : “Lagi. Aku pingin menggarisbawahi. Kamu ndak bisa
selamanya ngegantungin sama sukarelawan. Karena pada masanya, sukarelawan juga
butuh ngurusin hal lain. Yang aku tekanin, jangan kejebak di ngajarnya doang.
Jangan kejebak di mindset bangga karena terus-terusan jadi volunteer. Yes, kamu
sepatutnya bangga emang, tapi alangkah lebih bangga kalau kamu yang ngeset
orang buat ngelakuin kebaikan itu sendiri, karena pada prakteknya toh yang
negset juga ngajar kan.”
Me : “Buat aku, ngajar ga pernah pake kata doang, pun
volunteer. Balik ke konsep awal, aku masih ga setuju tanggapanmu yang
meletakkan satu status di atas yang lain. Ngalir atau engga nya kebaikan emang
jadi satu consideration, tapi dua status ini mengalirkan kebaikannya
sendiri-sendiri. Ibarat kamu nyamain ayam sama ikan, bukan ayam sama itik”
Him : “Toh mau dekan atau rektor kan mereka sama sama ngajar
kan. Cuman ada yang ngebedain mereka dari dosen lainnya”
Me : “lagi, aku ga pernah pake kalimat ‘selamanya
ngegantungin sama sukarelawan’. Aku menghargai kontribusi dua pihak dengan
segala kelebihannya. Cause after all, we’re volunteer of our dreams kan?”
Him : “Cause after all, we’re volunteer of our dreams. We
set our dreams. We strive for it. Aku tambahin :p “
We
exchange ideas. Ini adalah gimana cara kita berdua bikin struktur tentang
sebuah realitas (Bahkan milih rasa martabak manis aja juga begini). Mengetahui
di nilai mana saja yang kita sama dan menunjukkan dengan jelas dimana yang kita
beda. Percakapan di atas adalah satu yang berhasil dari banyak yang gagal. Cherish
to the all future conversation about life!
Kenapa
bahasan ini yang aku posting? Karena aku ingin mendengar pendapat kalian
tentang cara kalian berkontribusi ke sekitar. Tentang memberi makna sebuah
kehadiran satu noktah kecil di semesta dan bagaimana noktah itu menggerakkan
noktah lainnya.
Agaknya aku pribadi juga kaget
kenapa conversation ini bisa sampai 5 halaman sendiri. Ga kebayang kalau semua
conversation (baik tertulis maupun tidak tertulis, yang terucap atau yang nonverbal) antara 2 manusia diarsipkan. Kalau
ada kesempatan, percakapanmu dengan siapa yang akan kau arsipkan?
Comments
Post a Comment