29 Agustus 2015
Saat aku menulis ini, aku sedang berada di kamarku, kamar
lamaku. Kosong. Hanya lemari kayu besar, yang kuingat baru dibeli saat pertama
kali pindah kesini. Dan beberapa baju yang kugantung seadanya. Oh..ada juga
boneka anjing besar terbungkus plastik di atas lemari, dulu itu kunamai dogi (
aku tak perlu menggunakan huruf y dan huruf g dobel, toh bunyinya sama ).
Aku terlahir dari pasangan teman hidup yang sudah bersama
selama 24 tahun. Sang gadis suka membaca, tapi tidak berkacamata tebal, selalu
duduk di depan kelas, berpura-pura tidak peduli buku catatannya sedang berada
dimana. Sedangkan sang pria, duduk di belakang kelas, di pojok, sambil terus
membolak-balik buku catatan sang gadis, berusaha memahami catatan yang kelewat
rapih itu.
Aku? Aku kombinasi dari keduanya, aku duduk di depan tapi jarang
mendengarkan.
Tadinya aku ingin menulis cerita panjang tentang seorang
gadis yang lain ( bukan ibuku ), dengan
detail suasana dan mungkin tekstur meja
tempat si gadis sedang menaruh dagunya juga ikut dijelaskan. Sayang, aku tak
suka menjelaskan terlalu rinci lewat tulisan.
Tulisan pria itu besar-besar memenuhi setinggi baris buku
tulis, tidak enak dibaca. Memusingkan. Tapi dia jago berbicara. Gadis itu
sampai kagum dibuatnya karena setiap orang merasa “diundang” dengan semua apa
yang dibicarakan lelaki itu. Nah aku baru tau kalau kepribadian pria itu adalah
ekstrovert.
Aku? Aku tadinya yakin aku ekstrovert juga. Tulisanku tidak
sebesar lelaki itu, setengahnya mungkin, tapi tetap, kata si gadis tulisanku
tidak berubah, jelek.
Aku suka membaca, waktu SMP, dia membelikanku
majalah remaja puteri rutin tiap edisi. Aku menikmatinya, tapi entahlah mungkin
waktu itu aku belum terlalu mengenal apa saja yang bisa aku baca. Sang pria tak suka membaca, tapi dia rela lampu kamar tetap
dinyalakan agar si gadis tidak membaca dalam gelap. Aku salut, kau tahu!!
Si Gadis suka memasak, saraf pengecapnya peka terhadap
berbagai rasa dan rempah membuatnya menjadi koki terhebat ( bagiku ). Tak lama,
bakat itu juga turun kepadaku, kepekaan saraf pengecapnya, bukan kelihaian di
dapurnya. Sang pria bagiku adalah pemuja fanatik bagi si gadis. Dia memuji
apapun yang dibuat dan dihasilkan si gadis, walau kadang itu hal yang gagal
seperti lidah kucing yang kelewat tipis atau kue kukus yang bantat.
Aku baru saja berganti posisi dan baru kusadari panjang
tubuhku sudah menyamai kasur single yang tadi pagi baru diseret masuk kamar ini
oleh sang pria. Aku tumbuh besar J
Si gadis selalu mengolokku anak yang nakal, bahkan setelah aku dapat KTP. Aku
tidak nakal, menurutku. Hanya kurang penurut, suka membantah dan lama kalau
disuruh. Misal kemaren dia bercerita tentang seorang gadis yang didaftarkan
ibunya jadi pramugari dan si gadis pasrah saja, “coba kamu didaftarin gitu
tanpa kamu tahu, mana mau kamu sekolah disitu”. Teknisnya, aku sudah besar, aku
bisa kan diajak bicara soal masa depanku. No need to act behind my back. Dan
itu dianggapnya sebagai tindak pembangkangan -_-
Berbeda dengan sang pria, dia fans beratku dan aku fans
terberatnya. Dia selalu memujiku jika memakai baju baru atau jilbab baru atau
rok baru atau hanya karena senyumku. Aku selalu bisa minta dipeluk dan dicium
kapanpun. Tapi aku paling takut untuk membantahnya. Tenang saja, sang pria ini
pria paling sabar. Tapi tentu saja aku tak mungkin curhat banyak hal dengannya.
Terlalu logis.
10 April 2016
Hari ini, mataku masih bengkak karena tangisan semalam. Aku
tak yakin juga karena apa, sedih atau lawan katanya. Anehnya, ini sudah terjadi
dua kali, dan aku belum tahu pasti alasannya. Rasanya penuh, dan susah
diuraikan satu persatu. Sama penuhnya saat aku sadar aku sudah bisa dengan
mudah menjangkau semua sudut ranjangku. Penuh antara perasaan takut, sedih,
bahagia, khawatir, syukur, rindu dan menyesal. Yang aku tahu, aku tak ingin beranjak
berdiri dari simpuhku karena lemah menguasaiku.
Comments
Post a Comment