Skip to main content

Paksaan

Paksaan. Adakah ia menjadi salah satu tabiat dari jalan cinta para pejuang? Tentu saja bukan. Kecuali dalam tanda kutip. Di dalam tanda kutip itulah paksaan menjadi sebuah kepahlawanan. Ia serupa sebuah pertempuran melawan ego dan nafsu diri. Awal awal bisa jadi seseorang dipaksa lingkungan, lalu ia memaksa diri. Awal awal  jiwanya payah, jasadnya lelah, lalu terbiasa, lalu terasa nikmat. Lalu ia mengaca, menghayati kembali makna keikhlasan. Begitulah jalan cinta para pejuang. Kepayahan dan keindahannya tak berujung.

Jalan Cinta Para Pejuang
- Salim A. Fillah –

Kapan terakhir kali kau memaksakan diri?
Bangun subuh? Atau memaafkan ibu-ibu yang nyelonong motong jalan motormu barusan? Atau berusaha memahamkan maafmu pada orang lain?

Paksaan. Sebuah kata yang seringnya disandingkan dengan makna negatif. Sebuah terminologi yang menjelaskan tidak adanya motif personal yang kuat bagi seseorang untuk melakukan atau menghindari sesuatu.

Seringnya, kita memisahkan dua hal yang baik dan buruk saja. Padahal, yang berhubungan dengan kebermanfaatan kita adalah mana yang MAU kita lakukan dan mana yang TIDAK MAU kita lakukan. Karena toh sering, kita tahu itu salah, dan kita tetap mau melakukannya.

Tidak semua perihal yang masuk list TIDAK-MAU-kita-lakukan adalah yang buruk. Nah disitulah paksaan memainkan perannya dengan apik. Paksaan, pada awalnya akan mengubah sesuatu yang ganjil untuk dilakukan (ganjil, karena kita tidak sepenuh hati mengerjakannya) menjadi kebiasaan. Di fase perubahan ini dan dalam fase kebiasaan tersebut, seringnya kita meremehkan absen.

Pernah dengar kebiasaan akan terbentuk jika dilakukan selama 20 hari? Nah, karena sudah tau begitu, seringnya otak curang kita bilang “uda 20 hari kan, yauda hari ke 21 bolos gausa aja” atau “yah uda absen sekali, kudu ngulang dari awal nih, etapi nyiapin diri dulu lagi lah biar besok ga bolong lagi”. 

Dan akhirnya, program pembiasaan diri dengan pemaksaan diri sendiri hancur berantakan.
Lingkungan, bisa menjadi alasan seseorang untuk  menyesuaikan sekitarnya atau juga menjadi pribadi baru yang sama sekali asing bagi nilai-nilai yang dianut sekitarnya. Intinya tetap, MAU atau TIDAK MAU. Karena walaupun lingkungannya sedemikian rupa memaksa tapi ia toh tetap tidak mau bergerak dari tempatnya semula, baginya memang jalan memutar kelihatan lebih mudah untuk dilakukan.

Paksaan adalah hal asing yang membuat kita menyesuaikan lagi batas-batas kita. Seringnya, di dalam melaksanakannya, kita dibuat bimbang akan hasil akhirnya. Kita dibuat takut dengan persyaratan barunya. Juga, kita dibuat tidak nyaman dengan jauhnya “konsep ideal” itu dengan diri kita yang sekarang.

Paksaan. Akan mengingatkan kita sudah sejauh mana kita menyeret badan ini untuk mengerjakan dan menjauhi ini itu. Akan bisa memberikan ingatan soal sudah berapa pagi yang kau lewati dengan merapal sebuah cita-cita agung itu. Akan bisa menggelitik kita sudah berapa wajah bersungut-sungut kita yang dilihat saudara kita dalam melaksanakan kewajiban tersebut. Akan mengingatkan kita, tentang banyaknya pengalihan yang ditawarkan oleh kata “sesaat”.

Jika memang kita semua harus dipaksa, paksalah diri kalian sendiri. Tuntutlah tinggi. Karena jika paksaan berasal dari luar, maka kemampuanmu selanjutnya akan jadi pertanyaan, apakah memang kamu sedang memantaskan diri atau hanya memenuhi standar orang lain?

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.