Sebelum mulai baca postingan ini, sila merujuk ke kesini.
"Malam ini ada pemilihan Senat Santri ya." Kata pemandu halaqahku
Sejenak memoriku terbawa ke beberapa bulan yang lalu saat aku dan kontributor sebelah membicarakan tentang tujuan dan targetku di pondok pesantren. Waktu itu aku bilang aku ingin jadi ketua angkatan. Hal itu aku utarakan sebelum aku tau apakah benar posisi itu ada, dan tugasnya apa atau tanggungjawabnya seperti apa. Dengan rumus "pokoknya", saat itu aku mengamini diriku sendiri untuk menjadi ketua angkatan.
Yang aku tahu, untuk seseorang yang berumur 20 tahun, rumus "pokoknya" terdengar bodoh sekali. Ya, tiap hari aku mencari alasan lain kenapa aku pantas dan sebaiknya jadi ketua angkatan. Mulai dari sadar diri karena semester ini ga ada kegiatan selain nyekripsi sampai aku butuh trigger tambahan yang bisa menggerakkan aku dari ketertinggalan pasca KKN.
Singkat cerita, dikagetkan dengan rutinitas baru dan kecenderungan suara tiba-tiba jadi lirih kalau tahsin (padahal uda ketinggalan banyak banget), aku ambruk. Kena radang dan merasa kecil hati apakah iya aku akan terbiasa dengan hidup baru jadi santri Asma Amanina angkatan VI ini.
Pemilihan Senat Santri dimulai pukul 8. Ruang kelas yang biasanya ditata meja rapi, sekarang hanya digelari karpet untuk alas duduk. Pembawa acara malam ini dari musyrifah, berpakaian (kayanya sengaja) senada warna maruh dan hitam. Dan, perutku mulas.
Step 1.
Semua santri ditanyai apakah ada yang ingin mengajukan diri atau ada yang ingin mengusulkan saudaranya. Namaku disebut oleh anggota sekelompok daurah ku kemaren, yang aku curhatin soal cerita kocak aku daftar pondok poesantren. Aku mendelik, perutku semakin mulas.
Step 2.
Keenam kandidat-yang-merasa-ganjil-karena-terpilih disuruh memisahkan diri dari kerumunam umtuk akhirnya dipanggil satu persatu menghadap dewan formatur untuk ditanyai kesediannya. Setelah menjawab bersedia, dan tanpa tedeng aling-aling aku disuruh balik berkumpul dengan kandidat lain. Padahal kandidat lain lama ditanya-tanya.
Step 3.
Dewan formatur mengumumkan dua nama kandidat yang bisa di-voting. Nama itu adalah dua nama santri yang dulunya santri cadangan. Santri yang masuknya belakangan gegara ada yang keluar. Santri yang dapat kesempatan kedua. Salah satunya aku. Forum mulai riuh karena berdiskusi soal nama dan divisi mana sebaiknya ia diberi amanat. Oke, ke-absurd-an cerita ini dimulai dari sini.
Step 4.
"Mah (panggilan kami di Asrama adalah ammah), temenin aku ke toilet yuk, kebelet pipis"
"Duh, kamu bilang gitu aku jadi inget aku juga kebelet"
Iya, aku diajak meninggalkan forum sejenak oleh teman sekamarku. Dsiitu aku baru tau bahwa mulas berlebihan bisa mengalahkan rasa kepuyuh. Pergilah kita setelah ijin dengan salah stau musyrifah yang mulai senyum-senyum. Perasaanku malah tidak karuan..
Step 5.
"Ayo mah orasi!" pekik salah satu santri sekembalinya aku dari toilet dan bahkan belum sempat duduk. Aku mau bilang apa? Ga mungkin kan aku pake rumus "pokoknya"? Ya kan? Atau bilang gegara saya pengangguran? Ga kan? Ayo otak bekerjasamalah.....
Keluarlah sedikit curhatan soal keterkejutan diri dan satu kalimat tidak berstruktur untuk memantapkan niat menjadi Ketua Senat Santri. Salam penutup. Waktunya penentuan.
Step 6.
Voting dilakukan dengan mata tertutup dan mengacungkan trangan setelah disebutkan nama kandidatnya. Aku dimenangkan dengan 22 suara, melampaui teman seperjuanganku yang mendapat 15 suara. Saking bingungnya aku hanya diam saat musryrifah memekikkan Allahu Akbar.
Deep down I know, dibalik kata pokoknya, aku lebih membutuhkan posisi itu daripada posisi itu membutuhkanku. Untuk apa? Untuk belajar lebih banyak. Aku sadar betul keputusan utnuk masuk Pondok Pesantren ini keputusanku yang nantinya juga akan dipertanggungjawabkan, maka sudah seharusnya langkah ini menjadi titik lompatku untuk menggambar garis batas yang lebih lebar dari targetku sebelumnya.
Entah waktu itu doaku diijabah Allah atau memang Allah sudah menakdirkan begini, yang penting sekarang adalah aku paham apa hasil dari doa yang kau amini diam-diam.
"Malam ini ada pemilihan Senat Santri ya." Kata pemandu halaqahku
Sejenak memoriku terbawa ke beberapa bulan yang lalu saat aku dan kontributor sebelah membicarakan tentang tujuan dan targetku di pondok pesantren. Waktu itu aku bilang aku ingin jadi ketua angkatan. Hal itu aku utarakan sebelum aku tau apakah benar posisi itu ada, dan tugasnya apa atau tanggungjawabnya seperti apa. Dengan rumus "pokoknya", saat itu aku mengamini diriku sendiri untuk menjadi ketua angkatan.
Yang aku tahu, untuk seseorang yang berumur 20 tahun, rumus "pokoknya" terdengar bodoh sekali. Ya, tiap hari aku mencari alasan lain kenapa aku pantas dan sebaiknya jadi ketua angkatan. Mulai dari sadar diri karena semester ini ga ada kegiatan selain nyekripsi sampai aku butuh trigger tambahan yang bisa menggerakkan aku dari ketertinggalan pasca KKN.
Singkat cerita, dikagetkan dengan rutinitas baru dan kecenderungan suara tiba-tiba jadi lirih kalau tahsin (padahal uda ketinggalan banyak banget), aku ambruk. Kena radang dan merasa kecil hati apakah iya aku akan terbiasa dengan hidup baru jadi santri Asma Amanina angkatan VI ini.
Pemilihan Senat Santri dimulai pukul 8. Ruang kelas yang biasanya ditata meja rapi, sekarang hanya digelari karpet untuk alas duduk. Pembawa acara malam ini dari musyrifah, berpakaian (kayanya sengaja) senada warna maruh dan hitam. Dan, perutku mulas.
Step 1.
Semua santri ditanyai apakah ada yang ingin mengajukan diri atau ada yang ingin mengusulkan saudaranya. Namaku disebut oleh anggota sekelompok daurah ku kemaren, yang aku curhatin soal cerita kocak aku daftar pondok poesantren. Aku mendelik, perutku semakin mulas.
Step 2.
Keenam kandidat-yang-merasa-ganjil-karena-terpilih disuruh memisahkan diri dari kerumunam umtuk akhirnya dipanggil satu persatu menghadap dewan formatur untuk ditanyai kesediannya. Setelah menjawab bersedia, dan tanpa tedeng aling-aling aku disuruh balik berkumpul dengan kandidat lain. Padahal kandidat lain lama ditanya-tanya.
Step 3.
Dewan formatur mengumumkan dua nama kandidat yang bisa di-voting. Nama itu adalah dua nama santri yang dulunya santri cadangan. Santri yang masuknya belakangan gegara ada yang keluar. Santri yang dapat kesempatan kedua. Salah satunya aku. Forum mulai riuh karena berdiskusi soal nama dan divisi mana sebaiknya ia diberi amanat. Oke, ke-absurd-an cerita ini dimulai dari sini.
Step 4.
"Mah (panggilan kami di Asrama adalah ammah), temenin aku ke toilet yuk, kebelet pipis"
"Duh, kamu bilang gitu aku jadi inget aku juga kebelet"
Iya, aku diajak meninggalkan forum sejenak oleh teman sekamarku. Dsiitu aku baru tau bahwa mulas berlebihan bisa mengalahkan rasa kepuyuh. Pergilah kita setelah ijin dengan salah stau musyrifah yang mulai senyum-senyum. Perasaanku malah tidak karuan..
Step 5.
"Ayo mah orasi!" pekik salah satu santri sekembalinya aku dari toilet dan bahkan belum sempat duduk. Aku mau bilang apa? Ga mungkin kan aku pake rumus "pokoknya"? Ya kan? Atau bilang gegara saya pengangguran? Ga kan? Ayo otak bekerjasamalah.....
Keluarlah sedikit curhatan soal keterkejutan diri dan satu kalimat tidak berstruktur untuk memantapkan niat menjadi Ketua Senat Santri. Salam penutup. Waktunya penentuan.
Step 6.
Voting dilakukan dengan mata tertutup dan mengacungkan trangan setelah disebutkan nama kandidatnya. Aku dimenangkan dengan 22 suara, melampaui teman seperjuanganku yang mendapat 15 suara. Saking bingungnya aku hanya diam saat musryrifah memekikkan Allahu Akbar.
Deep down I know, dibalik kata pokoknya, aku lebih membutuhkan posisi itu daripada posisi itu membutuhkanku. Untuk apa? Untuk belajar lebih banyak. Aku sadar betul keputusan utnuk masuk Pondok Pesantren ini keputusanku yang nantinya juga akan dipertanggungjawabkan, maka sudah seharusnya langkah ini menjadi titik lompatku untuk menggambar garis batas yang lebih lebar dari targetku sebelumnya.
Entah waktu itu doaku diijabah Allah atau memang Allah sudah menakdirkan begini, yang penting sekarang adalah aku paham apa hasil dari doa yang kau amini diam-diam.
Comments
Post a Comment