Karena seringnya kita menggunakan ukuran kita
untuk mengukur orang lain.
Baik? Bisa baik.
Buruk? Bisa juga.
Jadi beberapa malam lalu, aku terlibat debat
dengan wakil senat di ruang kelas tentang rencana forum santri mahasiswi yang
akan jadi salah satu proker besar di kepengurusan ini. Debat ini awalnya
bermula saat aku menangkap keinginan wakilku untuk membuat divisi/ su’un baru
bernama eksternal. Menurutku, untuk sekarang, hal itu belum diperlukan karena
belum ada hasil nyata yang bisa jadi gambaran Job Description su’un tersebut.
Keadaan setelah kelas sebenarnya juga kurang
kondusif untuk rapat, karena semua sedang lelah. Dengan kemampuan memahami dan
mendengarkan yang sucks abis, kami
berdua masih kukuh dengan pendapat masing-masing, sampai akhirnya aku capek
sendiri.
“eh bentar, kayanya yang kamu maksud A ini di
pemahamanku itu B”
“ah iyaaa” katanya senang karena sudah merasa
satu frekuensi. “Aku tadi jelasin pakai A soalnya aku ngertinya gitu”.
Aku yang tak mau kalah malah menasehati dengan bahasa kurang apik, "Ya kan kamu lagi ngomong sama orang lain, pakailah kata yang dimengerti orang itu. Kecuali, kalau kamu cuma ngomong sama diri sendiri".
Ukurannya ternyata tidak pas dengan ukuranku.
Judul pemahamannya ternyata beda dengan pemahamanku.
Lalu aku menyimpulkan, bahwa kata-kata yang
ada, seringnya tidak bisa atau kurang mewakili apa yang ingin kita sampaikan ke
orang lain. Untuk mempermudah hal tersebut, deskripsi dengan ukuran objektif
sangat bermanfaat. Deskripsi tersebut membantu untuk mencari persamaan, bukan
fokus di perbedaan.
Kebutuhan struktur tiap organisasi berbeda,
hal itu juga yang membuat terkadang dari kita memaksakan pemahaman suatu job title dengan job description nya. Sekali lagi, kita tidak bisa menggunakan
ukuran kita untuk mengukur orang lain.
Perdebatan ini membuatku tak enak hati. Lain kali, semoga aku diingatkan untuk tidak ngotot duluan.
Comments
Post a Comment