Skip to main content

Ukuran Pemahaman yang Berbeda

Karena seringnya kita menggunakan ukuran kita untuk mengukur orang lain.

Baik? Bisa baik.

Buruk? Bisa juga.

Jadi beberapa malam lalu, aku terlibat debat dengan wakil senat di ruang kelas tentang rencana forum santri mahasiswi yang akan jadi salah satu proker besar di kepengurusan ini. Debat ini awalnya bermula saat aku menangkap keinginan wakilku untuk membuat divisi/ su’un baru bernama eksternal. Menurutku, untuk sekarang, hal itu belum diperlukan karena belum ada hasil nyata yang bisa jadi gambaran Job Description su’un tersebut.

Keadaan setelah kelas sebenarnya juga kurang kondusif untuk rapat, karena semua sedang lelah. Dengan kemampuan memahami dan mendengarkan yang sucks abis, kami berdua masih kukuh dengan pendapat masing-masing, sampai akhirnya aku capek sendiri.

“eh bentar, kayanya yang kamu maksud A ini di pemahamanku itu B”

“ah iyaaa” katanya senang karena sudah merasa satu frekuensi. “Aku tadi jelasin pakai A soalnya aku ngertinya gitu”. 

Aku yang tak mau kalah malah menasehati dengan bahasa kurang apik, "Ya kan kamu lagi ngomong sama orang lain, pakailah kata yang dimengerti orang itu. Kecuali, kalau kamu cuma ngomong sama diri sendiri".

Ukurannya ternyata tidak pas dengan ukuranku. Judul pemahamannya ternyata beda dengan pemahamanku.

Lalu aku menyimpulkan, bahwa kata-kata yang ada, seringnya tidak bisa atau kurang mewakili apa yang ingin kita sampaikan ke orang lain. Untuk mempermudah hal tersebut, deskripsi dengan ukuran objektif sangat bermanfaat. Deskripsi tersebut membantu untuk mencari persamaan, bukan fokus di perbedaan.


Kebutuhan struktur tiap organisasi berbeda, hal itu juga yang membuat terkadang dari kita memaksakan pemahaman suatu job title dengan job description nya. Sekali lagi, kita tidak bisa menggunakan ukuran kita untuk mengukur orang lain.

Perdebatan ini membuatku tak enak hati. Lain kali, semoga aku diingatkan untuk tidak ngotot duluan.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Notulensi Majelis Ilmu Jogokariyan : Burung dan Semut #Part1

Untuk pertama kalinya, saya akan mengangkat topik mengenai apa yang saya percaya disini. Meski sudah seyogyanya tiap apa yang kita lakukan berlandaskan percaya, pengangkatan topik yang baru sekarang ini tidak lain tidak bukan merupakan pembuka atas semua tulisan. Penjelasan bahwasanya segala yang saya lakukan (termasuk menulis disini) sebenarnya merupakan implementasi kepercayaan yang saya yakini. Hasil paling akhir dari sebuah proses percaya dan berpikir. Percaya tidak ada apa apanya bukan apabila hanya diamini dalam dada tanpa aksi nyata.