Skip to main content

Yang Mutlak dan Relatif

Sabtu hujan dari siang.

Setelah gembira pesananku dari pulau seberang datang, aku lanjut bersilaturahmi dengan kawan lama. As usual, aku nyerocos soal apa aja ke-absurd-an yang paling up-to-date dari hidupku, termasuk kepilih jadi ketua senat santri.

Kawanku ini, dengan baik hati menceritakan soal pengalamannya diberi amanah dan merasa kurang pantas untuk itu. Kata seniornya waktu itu, “Menurutmu, ada orang yang lebih pantas dari kamu?”. 

Pertanyaan retoris, aku setuju.

Menurutmu ada yang lebih pantas dari kamu?

Kemungkinanya ada 2. Bisa jadi seniornya waktu itu menyindirnya dan ingin membuatnya semangat. Bisa jadi juga, waktu itu seniornya ingin diberi usulan siapa pengganti yang paling pas. Entah. Tapi tetap, ia terngiang itu seperti pertanyaan retoris.

Setelah merasa kurang cukup (dilihat dari wajahku yang kurang yakin, mungkin), ia mengingatkanku soal amanah apa saja yang sudah pernah aku emban. It was very kind of him. Walau ia pernah jengkel sendiri gegara aku terkesan lepas tangan dengan pekerjaan di hari H, toh sore ini ia menjelaskan kenapa aku pantas dan harus terus memantaskan diri.

Menurutmu ada yang lebih pantas dari kamu?

Ada, karena di atas langit masih ada langit, relatif. Tapi masalahnya sekarang bukan itu, mengingat aku dipilih, bukan mengajukan diri. Ya walau sudah jauh-jauh hari aku juga memilih diriku sendiri untuk posisi itu, tapi aku sama sekali tidak menyebarluaskan apa yang aku amini diam-diam itu.

Lanjut, ke pesanan dari pulau seberang. Sederhananya itu cuma kacang almond yang dibalut coklat teh hijau. Rupanya? Bayangkan buah zaitun, ya agak gede dikit. Aku ketagihan sejak main kos temenku dan titip minta beliin kalau dia pulang.

Karena sampai malam masih hujan dan aku mendekam di kamar dengan temanku di asrama, jadilah dalam semalam coklat setoples uda abis lebih dari setengah. Selang beberapa setelah itu ia bilang perutnya sakit. Aku kira kembung biasa, karena hawanya memang dingin bberangin.


Senin malam, dia mengajakku ke klinik untuk periksa. Wah serius juga, batinku. Setelah keluar dari ruang periksa, dia senyum-senyum bilang, “mah, kata dokternya aku magh kebanyakan makan coklat”. Pelajaran untuk kami berdua adalah walau coklat emang sering bikin lupa diri, apa apa yang berlebihan memang ga baik, mutlak.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Notulensi Majelis Ilmu Jogokariyan : Burung dan Semut #Part1

Untuk pertama kalinya, saya akan mengangkat topik mengenai apa yang saya percaya disini. Meski sudah seyogyanya tiap apa yang kita lakukan berlandaskan percaya, pengangkatan topik yang baru sekarang ini tidak lain tidak bukan merupakan pembuka atas semua tulisan. Penjelasan bahwasanya segala yang saya lakukan (termasuk menulis disini) sebenarnya merupakan implementasi kepercayaan yang saya yakini. Hasil paling akhir dari sebuah proses percaya dan berpikir. Percaya tidak ada apa apanya bukan apabila hanya diamini dalam dada tanpa aksi nyata.