Skip to main content

Tidak Merasa Bi(a)sa

Sudah hari ke-6.

Dimulai dari excitement untuk segera kelar KKN, aku balik ke asrama dengan pemahaman bahwa kemampuan adaptasiku harus diuji lagi. Jam tidur yang amburadul dan lingkungan yang kondusif banget buat jaga mulut sama sekali tidak memberiku ruang gerak buat malas dan ngemeng sesuka hati. Hahaha.

Sadar banget bahwa sudah tertinggal banyak dari yang lain, membuatku kudu maraton simakan dan setoran tahsin. Lebih kaget lagi adalah saat aku pribadi belum ikut placement test dan dapat kabar besok pagi akan ada ujian. UJIAN APA ASTAGA?!

Setelah mendapat perlengakapan perang, dan nodong (hampir) setiap orang yang ketemu buat nyimak baca jilid satu , akhirnya lumayan bangga dapet nilai setoran pertama A+ (selanjutnya entah kenapa menurun).

Setelah di ahlan wa sahlan in Ustadz Deden di matkul Akhlak dan Adab, seakan inget jaman daurah kemaren, aku diblebeki dengan keutamaan dan syarat menuntut ilmu. Bahwa ilmu adalah obat dari kerancuan akal dan suatu hal yang tidak akan pernah puas manusia dapatkan. Bahwa dengan kehadiranku disini sebagai santri, memang sudah takdir.

Terlampau sering rasanya aku berhenti sejenak saat sedang berjalan dari mushala ke kamar atau saat mencuci piring atau saat kelar kelas, untuk mengingat lagi bagaimana awal aku bisa memilih ini dan apa tujuanku disini. Bahkan Vika, musyrifah yang juga seangkatan denganku, yang waktu itu ditugasi untuk menempel poster Open Recruitment Santri di lorong yang jarang aku lewati pun jujur ia tidak mengira bahwa poster itu akan menarik perhatian orang. Karena tertampang disana pun poster itu pun tidak memiliki cap dari BEM, yang berarti poster tersebut ilegal.

Pagi ini, setelah menikmati keramas yang lama dan mengeringkan rambut, aku berencana untuk sarapan. Oiya, di asrama kita ada piket masak dan makanannya adalah untuk sarapan dan nasi makan malam. Jadi, ini adalah kali pertama aku merasakan masakan piket. Kocak, ternyata nasi di 3 rice cooker habis tak bersisa. Jadilah aku hanya makan sayur dan tempe. Antara pingin ketawa, tapi kok ga habis pikir juga, tapi yes aku harus mau terkejut dengan dinamika Life of Santri lainnya.

Juga, aku sekamar dengan pribadi yang pendiam. Bagi yang kenal denganku, mungkin paham bagaimana aku bukan manusia yang bisa berhenti ngomong just because I’ve been told to do so. Somehow, kita cocok, aku tidak merasa perlu untuk mencari topik untuk bicara (jadi lebih banyak ngomong sama diri sendiri) dan dia juga bisa menikmati ketenangannya. Still looking forward to spend a good time with her though.


Kalau setelah dengar curhat dari musyrifah dan kakak tingkat lainnya dimana mereka butuh waktu 3 bulan sampai satu semester untuk beradaptasi dengan ritme asrama, aku kira aku tetap akan mengharuskan diri untuk tidak terbiasa. Bukan karena hatiku tak disini, tapi aku ingin “ketidak biasaanku” ini menajdi alat penggerak ampuh untuk belajar lebih keras. Aku ingin “ketidak biasaanku” ini menjadi pemicu untuk terus mengingat sudah seberapa berubahnya diriku sendiri saat pertama masuk asrama dan sekarang sampai nanti lulus.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.