Hwaaaaaaa 1 September! Sudah bulat satu bulan
saya tidur dari kegiatan nulis-nulis hal personal (ya laporan KKN bukan hal
personal kan?)Hahaha.
Di postingan kali ini, kayanya seru kalau
bahas dikit kemana aja sih para kontributor blog yang demen makan ini? Jawaban
singkatnya, kami memperbaiki diri.Tsaaadest emang bahasanya.
Pertemuan terkahir kami tanggal 27 Juli 2016
dimana kami sepakat untuk tidak memberatkan masing-masing dengan tugas menulis
tiap minggu seperti biasanya, bahwasanya kami sepakat bahwa hal tersebut akan
dibebankan di akhir “masa rehat” kami. Saya pribadi rehat satu bulan, dimana
saya bertanggungjawab untuk menulis sebanyak 9 tulisan. Kalau kontributor
sebelah, beliau akan menguras otak dan tenaga lebih banyak di akhir “masa
rehat”nya karena ia menghabiskan 2 bulannya yang berarti, bagi para penggemar
tulisannya mohon sabar menunggu untuk 12 tulisannya ya.
Kalau jawaban memperbaiki diri belum juga
cukup (iya, berasa blognya penting banget dan ada yang baca rutin aja), mungkin
clue selanjutnya adalah dalam rangka
memperbaiki diri ini kami merasa tertekan, stress, dan frustasi. Kami berdua
setuju kesempatan ini bukan kesempatan yang semua manusia bisa rasakan. Jadi,
jangan dibayangkan kami leha-leha selama off
dari blog ini (iyaudasihya, aku tetep ngerasa blognya penting), bayangkan
saja soal suara habis, sleepless night, air
mata, dan pembahuruan niat yang tiap bangun tidur kami lakukan.
Anyway, seperti kebanyakan ciptaan-Nya yang lain, semua keadaan juga mempunyai
dua sisi.
Dan memang sudah harus dipisah di paragraf
ini, penjelasan soal pelajaran yang kami berdua dapat memang berbeda. Satu
bulan kemarin, aku belajar bahwa kita sebagai individu tidak bisa memaksakan
nilai yang kita anut dan standar keseharian kita kepada orang lain. Seideal (bisa
universal dan subjektif) apapun apa yang kita anut, pribadi lain pun punya
ritme kehidupannya sendiri. Aneh memang, ketika kamu biasa bangun sebelum fajar
dan malah menemukan kenalanmu yang belum tidur dan melakukan yang menurutmu
tidak baik. Lagi-lagi, nilai itu subjektif.
Ah iya aku jadi ingat bahasan semalam, soal
cara publishing pada jaman dahulu.
Seorang Imam Malik menulis buku Al
Muwaththa’ selama 40 tahun, dan bukannya pergi ke penerbit (yakali emang uda
ada), beliau mengajarkannya pada muridnya selama hidupnya. Dikarenakan revisi
yang terus diadakan tiap tahun, maka ilmu yang diterima per angkatan muridnya
berbeda. Hadits yang tadinya ada di bab apa jadinya bisa dipindah dan
dihilangkan , maka pemahaman yang diterima
pun akan berbeda.
Perlu banyak kelapangan hati untuk “sekedar
melihat” bahwa ada yang berbeda dan butuh pertahanan diri yang kuat untuk tidak
merasa paling benar.
Comments
Post a Comment