“...Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi
yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al hajj (22) : 46)
“Uda betah di Asma?”
Pertanyaan itu dilontarkan ummi Isma (pengelola pesantrenku) semalam, saat
pelajaran Ulumul Quran kami kosong karena asatidz kami sedang tidak enak badan.
Semoga Allah segera memberi kesembuhan pada beliau. Amin.
Pertanyaan tadi menggantung. Hanya terdengar kasak kusuk
dari kami, santri yang kebingungan menjawab. Aku pribadi, jelas, seperti
biasanya, tak menyukai jawaban pendek.
Lalu dalam sesaat, teman-temanku memulai sesi curhat mereka
tentang bagaimana mereka mulai terbiasa dengan begadang, dengan kewajiban
piket, dan perang melawan kantuk di dalam kelas.
Aku duduk di depan, semester akhir, tidak terlalu merasakan
bagaimana rasanya dicepit dua kewajiban, kampus dan pesantren seperti mereka,
hanya bisa terdiam. Aku jadi ingat dulu waktu mendaftar sebagai angkatan VI di
Asma Amanina, aku selalu saja merutuki kenyataan kenapa baru sekarang aku
diperlihatkan kesempatan untuk menjadi santri. Dan, ini jawabannnya.
Udah betah di Asma?
Uda bahagia di Asma?
Seringnya, aku mendefinisikan bahagia bukan sebagai emosi
yang penuh dengan haha hihi, tapi aku malah setuju untuk mendefinisikan kata
bahagia dengan contented. Merasa
penuh, merasa jawaban yang aku hanya berani utarakan di batin terjawab
diam-diam, merasa takut tapi selalu diiming-imingi tujuan untuk berjalan terus,
merasa kecil tapi diingatkan bahwa semua yang besar adalah karena mereka tumbuh.
Dan
Aku merasa penuh saat menunggu giliran antri ujian tahsin,
di depan lorong kamar musyrifah, ditemani matahari yang baru saja keluar dari
tempat sembunyinya, memberi warna indah dengan perpaduannya dengan mendung
semalam yang pecah.
Aku merasa penuh saat harus terisolasi di kamar karena sakit
radang tenggorokan di minggu pertama,
melihat hujan dari dalam kamar, dari
tempat tidur tingkat duaku, dan menerka-nerka kenapa suaraku kalau dibikin
latian tahsin dan murojaah tidak selantang kalau bicara biasa.
Aku merasa penuh saat tergopoh-gopoh untuk kembali ke
asrama, dan merasakan betapa lamanya traffic
light di Condongcatur, karena takut tidak bisa absen finger print tepat waktu dan datang halaqoh telat.
Aku merasa penuh saat bisa berbagi hadis shahih tentang
surga dan sungainya, impian kami semua, dan menyadari bahwa kita dengannya
adalah dekat jika kita tetap berjalan lurus. Jika kita tetap saling
mengingatkan dan menguatkan.
Aku merasa penuh saat
keinginan untuk pergi-pergi ke tempat yang seharusnya bisa aku sanggah
berubah menjadi keinginan pulang dan melakukan apa saja di asrama. Jika tidak
ada keperluan apa-apa lagi, aku dengan senang hati akan pulang dan kembali flashback soal keberadaanku disini, dan
mengerjakan apa saja asal di sini.
Aku merasa penuh saat harus lihat-lihatan dengan santri lain
karena kita sama-sama enggan untuk menjadi relawan iqomah, hal yang selalu
terulang setiap kali shalat jamaah, dan akhirnya memberanikan diri untuk
pertama kali shalat di samping kanan persis imam.
Aku merasa penuh saat memaksakan diri untuk bertanya
pertanyaan yang beruulang kali diriku katakan untuk tidak bertanya karena akan
membuatku terlihat bodoh, tapi aku tetap saja melakukannya, dan berakhir dengan
penjelasan panjang dari asatidz dan membuat temanku yang lain bertanya dnegan
topik yang sama.
Aku merasa penuh saat digemuruhi pertanyaan tentang Umar bin
Khatab dan suatu waktu, salah satu asatidz kami menitahkan kami untuk mengamati
film tentang Umar r.a. dan berakhir dengan aku menangis karena melihat
kelembutan Umar r.a. dalam bertanggungjawab kepada masyarakatnya, sampai-sampai
rela ikut berbelanja dengan anak-anak yang ayahnya ikut berperang dan dengan gagah
berkata kepada para istri-istri yang ditinggal suaminya bahwa ia akan
menggantikan posisi mereka dan untuk jangan sungkan untuk mengkomunikasikan
kebutuhan mereka langsung kepada Amirul Mukminin itu.
Aku merasa penuh, karena aku diisi. Aku merasa penuh karena
aku belajar. Aku bahagia karena aku dimampukan meneguk secuil ilmu. Dari ilmu
itu, hatiku kuharapkan tak akan jadi buta karena tanpa visi, misi, dan tujuan.
Comments
Post a Comment