Skip to main content

Opera Sabun dan Semesta Kecil

“Idolaku Natasha Wilona”
“Kenapa Natasha?”
“Karena dia cantik, baik, dan pantas ditiru”
Oke, bagi yang belum tahu Natasha Wilona itu kaya apa, sila cari foto artis ini di internet. Sudah? Nah, bayangkan kalimat tadi terlontar dari anak umur 10 tahun yang sedang di-interview soal motivasinya untuk mendapatkan beasiswa.

Ke-absurd-an tidak hanya berhenti disitu

“Destiana tahu Natasha dari mana?” (nyebut nama Natasha uda kaya nyebut nama temen lama aja dah)
“Itu loh mbak yang di TV....hhmmm”
“Sinetron Anak Jalanan?” (oke, kalian boleh berasumsi aku juga menonton, but NO)
“Bukan bukan...itu yang ada kiss kiss nya, acara gosip gitu”

Aku dan partnerku yang kuliah di jurusan Psikologi hanya menghela nafas setelah wawancara dengan Destiana kita tutup.

Kita diperlihatkan contoh yang sama saat mewawancarai Ratih, anak kelas V SD yang bercita-cita jadi dokter dan mengidolakan Ayu Tingting (eh nulisnya dipisah apa digabung? Pake tanda hubung?) dan Cita Citata (pake tanda hubung juga ga?). Dengan alasan, cantik dan pintar menyanyi, lebih masuk akal jika Ratih bilang cita-citanya adalah penyanyi karena mengidolakan dua artis tersebut.

“Steffan William mbak, karena filmnya bagus ditonton”

Mungkin adiknya ga berani bilang Steffan ganteng. Oiya, later aku membuat kesimpulan bahwa yang dimaksud film adalah sinetron, karena saat aku tanya lagi kapan nonton filmnya, Ika bilang tiap malam di TV.

HHHMMMMPPPPTTTFFFFFFFFF......

Selama tahap wawancara sekitar 5 jam an, aku bisa  menarik garis merah dan menemukan kecenderungan anak-anak ini dalam menjawab pertanyaan. Tidak semua memang, dan tidak bisa dipukul rata, namun untuk menjawab pertanyaan yang susah atau baru, mereka memilih menjawab dengan jawaban yang ditawarkan sebagai alternatif.

Mungkin baru disini, anak-anak ini ditanya tentang alasan mengidolakan sosok tersebut. Karena jika mereka berkumpul dengan teman sebayanya, mereka mengidolakan orang yang sama dan mereka tak butuh alasan itu. Juga di rumah, mereka tak perlu mengungkapkan alasan itu, karena tayangan tersebut ditonton juga bersama orang tua dan saudara mereka.

Ukuran cantik dan ganteng yang digunakan mereka sebagai alasan, merupakan jawaban yang seketika membuat interviewer menghentikan probing dan harus menggunakan pertanyaan lain untuk mengetahui motivasi dari calon penerima beasiswa ini. Kenapa? Karena ukuran fisik itu subyektif. 
Pertanyaan ga mungkin dilanjutkan dengan “cantiknya gimana?”, “dia termasuk ras apa kira-kira kalau dilihat dari kulitnya?”, atau “hidungnya mancung seberapa?”, karena jawaban yang diberikan akan mbulet like “ya cantik aja”.

 Terkait tayangan opera sabun dan infotainment yang mereka tonton, padahal di jam tersebut katanya mereka belajar (atau meraka multitasking?), aku teringat diskusi seru pembawa acara Good Morning di Metro TV dengan salah satu dokter bernama Tan Shot Yen, membahas tentang polemik pemberian makanan instan sebagai MPASI, si dokter ini ngasih quotes ,

“Jangan kaget kalau kita terkena bencana seperti banjir bandang, tanah longsong atau gempa, itu adalah contoh bahwa semesta besar kita sedang rusak. Hal ini berhubungan dengan semesta kecil kita. Apa semesta kecil kita itu? Tubuh. Apa yang kita masukkan ke dalam tubuh juga berpengaruh terhadap bencana yang mungkin terjadi. Anak kita menderita stunting, obese, dan waktu dewasa mereka kena diabetes. Itu bencana banjir bandang di semesta kecil kita. Dan bencana itu terjadi bukan karena apa yang kita perbuat tepat kemaren, tapi 10 atau 20 tahun ke belakang.”

Ya, saya setuju. Indera kita adalah gerbang ke semesta kecil kita. Salah satunya apa yang kita tonton. Apa yang anak kita tonton. Umpan macam apa yang kita beri di hari ini akan kita tuai hasilnya atau akibatnya 10 atau 20 tahun lagi.


Mungkin besok anak kita bilang berkendara tanpa helm itu keren, atau membentak orang tua itu hal yang biasa. Dan, saat hal itu terjadi, sebenarnya kita telah menimbulkan kerugian juga ke semesta besar kita. 

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.