Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.
Saya seringkali terbayang-terbayang bagaimana proses evolusi hubungan antar manusia yang dilalui untuk bisa berevolusi menuju peradaban sekarang ini. Tentang zaman dimana kayu dan batu menjadi sumber penghidupan untuk kemudian terganti dengan segala alat elektrikal. Akan komunikasi antar entitas yang terhalang jarak namun kini jarak tersebut dapat dipangkas seperti membuka-tutup ketiak. Terlalu menakjubkan untuk dibayangkan bukan.
Beberapa waktu lalu saya sempat mengalami total writer's block. Keadaann dimana seorang diharuskan untuk menulis skripsi namun kepala tak kunjung urun mengeluarkan isinya. Dalam kondisi ini yang terjadi adalah kegabutan maha dahsyat karena waktu dan energi dihabiskan namun tidak ada sesuatu signifikan untuk dihasilkan. Menyedihkan sekali.
Banyak memiliki bahan bacaan tidak mesti berujung dengan banyak pikiran untuk dituangkan. Banyak waktu luang pun tidak berarti banyak hasil yang dikerjakan. Banyak dukungan pun tidak berarti memuluskan banyak proses perjuangan. Apalagi cuman pacar. Punya pun belum tentu nikah dapat disegerakan. Malah kadang banyak penyatuan datang dari banyak kekuasaan Tuhan.
Namun saat masa-masa halangan ini terjadi, saya banyak belajar. Belajar bahwa saya masih sangat buruk dalam menangani hal dimana saya merupakan pemilik kuasa sepenuhnya. Belajar bahwa dibutuhkan tekad yang berdarah-darah untuk hal yang butuh waktu. Belajar bahwa hingga kini pun menunda masih merupakan sahabat karib yang menemani. Belajar bahwa ada banyak hal tidak akan pernah bisa dilakukan dalam satu waktu.
Sebenarnya semua hal yang saya sebutkan tadi penting. Tapi untuk tulisan ini saya ingin fokus membahas satu hal yang saya sadari lebih dari pembelajaran-pembelajaran tersebut. Bahwa segabut-gabutnya kegiatan yang saya lakukan, sekosong-kosongnya pikiran saya waktu mengerjakan tulisan tersebut, akan selalu ada hal untuk dikreasikan. Sesedikit apapun itu. Sesingkat apapun itu.
Akan sangat penting dalam fase penyelesaian pekerjaan untuk selalu mengkreasikan hal. Namun mengintegrasikannya dengan berbagai ide bagus merupakan proses yang penting dalam proses kreatif manusia dalam mencipta.
Dan tentang katalis dalam kreasi. Banyak hal dapat digunakan untuk membantu dalam berkreasi. Emosi misalnya. Saya seringkali memiliki memori-memori masa kecil yang masih dengan sangat jelas saya ingat. Termanifestasi dalam jatuh ketika bersepeda di tempat spesifik atau momen ketika dipanggil ke depan ketika mengikuti lomba adzan ketika masih taman kanak-kanak. Dan yang menarik dari hal-hal kecil seperti ini adalah emosi yang menyertainya. Ada perasaan tertantang penuh gairah, gembira berlebih, atau bahkan gugup super masif yang menyertai memori memori tersebut.
Ketika emosi mengikat memori, hormon yang terlepas membanjiri lokasi kimiawi tertentu dalam otak dimana syaraf mengirim sinyal untuk membentuk sirkuit memori baru.
image credit: Bundlr |
Dan ternyata inilah mengapa memori masa lalu sering muncul ketika saya tertekan untuk segera mengkreasikan sesuatu. Ada syaraf-syaraf masa lalu terlewati karena hakikat dari proses berpikir kreatif adalah mengevalusi segala aspek kehidupan yang bahkan tidak ada hubungannya sama sekali untuk dijadikan ide dalam penciptaan-penciptaan manusia. Dan syaraf yang terbanjiri emosi akan lebih mudah dilewati oleh impuls daripada selainnya.
Ketika saya dapat membuat diri saya fokus lebih dalam pada apa yang telah saya konsumsi pada masa lampau, kemungkinan untuk terkoneksi pada tahap emosional akan lebih tinggi, memungkinkan banyak pengalaman saya untuk turut andil, dan menggunakan keindahan abstraksi pengalaman-pengalaman absurd tersebut untuk kepentingan kreasi pada akhirnya.
Pada masa-masa tidak fokus. Saya banyak membaca tweet, artikel, dan video, mengira banyak dari hal ini akan berguna nantinya. Tak jarang saya mempertahankan banyak tab untuk dibaca ulang nanti. Kenyataannya adalah, sebagian besar dari apa yang saya pikir akan berguna hanya lewat sebagai angin lalu saja. Pergi semena-mena seiring dengan waktu yang tersisa.
Berikut adalah Learning Pyramid
yang menjelaskan langkah paling efektif untuk proses mencerna. Belajar bagaimana mempertahankan suatu informasi.
The Learning Pyramid states that people retain:
90% of what they learn when they teach someone else/use immediately.
75% of what they learn when they practice what they learned.
50% of what they learn when engaged in a group discussion.
30% of what they learn when they see a demonstration.
20% of what they learn from audio-visual.
10% of what they learn when they’ve learned from reading.
5% of what they learn when they’ve learned from lecture.
Sangat menarik bukan. Great writers also happen to be great readers. Penulis yang hebat merupakan kumpulan dari pemikiran-pemikiran hebat dimana dibutuhan asupan pemicu untuk memunculkan pemikiran-pemikiran hebat ini.
Ketika memutuskan mencerna untuk mengkreasikan sesuatu, mindset bagaimana mengajarkannya kembali kepada orang lain merupakan kunci. Ketika ada kerangka ini dalam pikiran, mau tidak mau saya akan memahami sesuatu hingga ke akarnya.
Dan pada akhirnya, bagaimana cara kita mencerna yang menjadikannya pembeda.
Untuk menjadikan kreasi lebih banyak dari konsumsi, banyak latihan diperlukan. Perlu kebijaksanaan. Sarat proses kreatif akan setiap keadaan. Dan beruntunglah mereka yang mampu berbagi lebih dari apa yang mereka miliki.
Comments
Post a Comment