Skip to main content

Fiction on January

“do your best, Lin” senyumku ramah. Aku tak terlalu mengerti kadar cream, kadar busa, dan kehangatan di antara sesapan sesaat capuccino ku.
Hari yang berat. Bukankah hari ku selalu berat? Hahaha, aku menertawakan diriku sendiri. Sudah berapa lama aku tak pulang? Ayah ibuku mungkin sedang tidur di bawah siraman matahari di Nusa Dua, entahlah.

“maafkan aku jika salah, tapi terlalu sering menuntut kesempurnaan itu menggelikan”
suara serak dari bangku tempat tasku berada, tasku sudah berpindah di atas meja. Siapa orang ini? Kacamata kotaknya terlihat terlalu besar untuk matanya yang kecil.
“maaf?”
“setiap hari rabu jam 16.10, membuka pintu kiri, tersenyum menghirup aroma kopi dan memilih tempat duduk ini, memesan capuccino dan mengatakan do your best kepada coffe maker”. Senyumnya menantang, memintaku mengoreksinya. Aku hanya geleng-geleng kepala. Jenis manusia aneh apa lagi yang harus kuhadapi hari ini?

Lin yang baru saja mengelap meja belakang langsung menoleh ke arahku. Aku menampakkan wajah jangan-pedulikan-dia. Dia hanya mengangkat bahu dan masuk ke ruang managernya. Coffe Shop ini buka dari  jam 1 siang sampai maghrib, bukan waktu yang efektif memang, tapi aku percaya ada maksud dari jam tersebut. Kae, manager on duty tak lama keluar dan menghampiriku.
“everything’s fine?” tanyanya lembut, selembut cream tipis di atas capuccino yang sering tertinggal di atas bibirku. Lin memanjangkan wajahnya dan aku mendelik kepadanya.
“sure” jawab suara di sebelahku. Lalu kae duduk di sebelahku yang lain. Oh God, bukannya aku menolak percakapan dengan siapapun hari ini, tapi tidak bisakah dua pria ini pergi saja mengganggu hidup wanita lain?

Kae tak banyak bicara hanya meneruskan membuat financial report di sebelahku. Bukankah seharusnya hal tersebut dikerjakan jauh dari customer? Tidak, tidak, aku tak mau peduli orang lain untuk sisa hari ini. Cukup aku mendengarkan keluhan dan permintaan manusia hari ini. Kae tiba-tiba angkat suara.
“if u don’t mind, Sir, please stop making our customer uncomfortable with your statement” katanya singkat dan membungkuk sedikit kepadaku lalu kembali ke ruangannya. Tidak bisakah pria menahan emosinya sedikit lebih lama setidaknya sampai aku pergi dari sini dulu? Haaahhhhh
“cih, dasar manager sensi” mau tak mau aku menoleh dengan kasar pada suara itu.
“apa?! Kau tak punya pita suara?! Kau tidak membenarkan statement ku tadi menyebabkan pelayan tadi mengadu ke bosnya karena aku sudah membuatmu tak nyaman. Seharusnya kita bisa bercakap-cakap normal, kau tahu” Katanya dengan nada agak sedikit meninggi. Aku duduk menjauh darinya.
“Hey kau, kenapa kau mengatakan hal seperti itu pada managermu?! Hey?! Apakah kau tak punya mulut?!” kata-katanya yang terakhir membuat Lin membuang serbet dan pergi ke luar toko. Semua pengunjung melihatnya.

Aku beranjak dari tempat dudukku dan memeluk Lin di luar. Lin yang malang. Bukan maksudnya bukan untuk dilahirkan bisu? Dan kenapa ada orang yang terlampau tega berteriak padanya seperti itu? Lin baru saja beranjak 17. Tuhan, dia terisak di dadaku. Mungkin sisa hari ini aku diitakdirkan untuk masih membagi hatiku. Lalu kulihat di dalam ada customer yang ingin membayar. Setelah berjanji akan kembali secepatnya aku pergi ke meja kasir.

“jadi kau juga pelayan?” tanyanya padaku seakan dia bukan orang yang baru saja menyakiti perasaan seseorang.
“maafkan saya, Pak. Tapi yang pertama, kami tidak diperbolehkan adu mulut dengan pelanggan, yang kedua, teman saya yang di luar itu bisu, jadi saya mohon bapak mengingat kembali apa yang baru saja bapak ucapkan, ketiga, bukan urusan bapak saya pelayan atau bukan, terima kasih” Aku mengambil cangkirnya yang kosong dengan kasar, dan beranjak ke ruangan Kae. Dia sedang bersungut-sungut karena mungkin ada selisih.
“you better ask Lin to go home, she got some kinda shock” secepatnya, aku keluar lagi untuk melayani customer yang baru datang. Terlihat dari sudut mataku pria kasar tadi sudah pergi dan sedang berbicara dengan Lin di luar. Bodoh, batinku.

“maafkan aku, Ge”
“tak apalah, aku yang harus berterima kasih karena kau masih mau memperkerjakan Lin”

“ahh sudah jangan bahas itu” katanya membantuku mengambil cangkir-cangkir yang kosong. Lin sudah pulang daritadi, wajahnya masih merah padam. Wajah Kae sepertinya ingin menanyakan kerjaanku.
“NO, Stop don’t ask about how is my day” kataku pura-pura jengkel dan berhasil. Kae tertawa. Aku tau harinya juga buruk, menyadari bahwa penjualan coffe shop menurun. Di luar hujan semakin membuatku enggan beranjak cepat-cepat setelah membereskan toko.



Kae, kapan aku mengenal pria ini? 

Ah yaa...aku ingat, waktu itu akhir bulan November, para mahasiswa yang kantongnya kering menggerombol di depan warung makan. Hujan membuat mereka berdesakan mencari tempat berteduh dan beberapa diantaranya memesan makanan, tahu bahwa hujan dengan awan putih tak akan berakhir dengan cepat. Dan tiba-tiba seseorang menawariku duduk di sampingnya. Ibu-ibu yang menyisakan tempat untukku duduk tidak lebih tua dari ibuku mulai mengoceh tentang mahalnya harga bahan pokok. Sementara aku harus mengingat bagaimana ibuku di rumah juga mengeluh hal yang sama agar aku dapat memberi respon yang baik, seseorang yang baru saja masuk gerombolan meninjak rokku.

Mukanya pucat, bibirnya putih dan nafasnya terengah. Reflek aku tarik tangannya dan mendudukkannya di tempatku. Aku berdiri lagi. Sambil menatap hujan membelakangi ibu tadi, aku dengar sekarang dia tidak mengoceh lagi. Sebentar. Ada apa dengan lelaki ini? Saat aku balik badan, dia masih menunduk, berusaha mengontrol nafasnya yang masih satu dua tersengal.

Hujan berhenti. Tiba-tiba semua orang mulai kembali sibuk. Menyalakan sepeda motor dan pergi. Beberapa yang lain menaikkan celana kerjanya. Beberapa yang lain lagi menikmati petrichor yang bercampur aroma mi instan kuah panas. Ibu tadi ternyata menunggu suaminya yang juga terjebak di kantor. Setelah suaminya datang, ia pamit duluan, aku mengangguk. Sudah jam 8, terlalu malam untuk tetap datang, batinku. Saat aku ingin mengirim pesan singkat ke Ata untuk meminta maaf karena malam ini tidak bisa mengajar, lelaki di belakangku ber “ehm” menginginkan waktuku.


“terima kasih” katanya dengan nafas yang lebih teratur.
“oh iya, sama-sama” aku melanjutkan mengirim pesan singkat.
“tadi aku harus mengejar managerku” dia membuka percakapan.
“karena?” aku, lagi-lagi menjaga diri agar bisa memberikan respon yang baik.
“oh...kau tidak perlu mendengar ceritaku jika kau tidak tertarik, aku ada asma”
Wait, WHAT? What kind of respon is that? Am I that pathetic to hide my -your-topic-is-not-interesting? Aku ingin bertanya kenapa jika dia tahu jika dia memiliki penyakit asma dia masih memaksakan diri, tapi kuurungkan karena mungkin dia akan berpikir aku hanya pura-pura tertarik.

“aku ingin memberinya sales report, hari ini tenggatnya, aku baru saja gagal mendapat tawaran promosi” that’s it!
“sorry to hear that” kataku jujur
“Kae” katanya sambil mengangguk
“Gea” aku pamit untuk pulang.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.