“do your best, Lin” senyumku ramah. Aku tak terlalu mengerti
kadar cream, kadar busa, dan kehangatan di antara sesapan sesaat capuccino ku.
Hari yang berat. Bukankah hari ku selalu berat? Hahaha, aku menertawakan diriku
sendiri. Sudah berapa lama aku tak pulang? Ayah ibuku mungkin sedang tidur di
bawah siraman matahari di Nusa Dua, entahlah.
“maafkan aku jika salah, tapi terlalu sering menuntut
kesempurnaan itu menggelikan”
suara serak dari bangku tempat tasku berada, tasku sudah berpindah di atas meja. Siapa orang ini? Kacamata kotaknya terlihat terlalu besar untuk matanya yang kecil.
suara serak dari bangku tempat tasku berada, tasku sudah berpindah di atas meja. Siapa orang ini? Kacamata kotaknya terlihat terlalu besar untuk matanya yang kecil.
“maaf?”
“setiap hari rabu jam 16.10, membuka pintu kiri, tersenyum menghirup aroma kopi
dan memilih tempat duduk ini, memesan capuccino dan mengatakan do your best
kepada coffe maker”. Senyumnya menantang, memintaku mengoreksinya. Aku hanya
geleng-geleng kepala. Jenis manusia aneh apa lagi yang harus kuhadapi hari ini?
Lin yang baru saja mengelap meja belakang langsung menoleh
ke arahku. Aku menampakkan wajah jangan-pedulikan-dia. Dia hanya mengangkat bahu
dan masuk ke ruang managernya. Coffe Shop ini buka dari jam 1 siang sampai maghrib, bukan waktu yang
efektif memang, tapi aku percaya ada maksud dari jam tersebut. Kae, manager on
duty tak lama keluar dan menghampiriku.
“everything’s fine?” tanyanya lembut, selembut cream tipis di atas capuccino
yang sering tertinggal di atas bibirku. Lin memanjangkan wajahnya dan aku
mendelik kepadanya.
“sure” jawab suara di sebelahku. Lalu kae duduk di sebelahku yang lain. Oh
God, bukannya aku menolak percakapan dengan siapapun hari ini, tapi tidak
bisakah dua pria ini pergi saja mengganggu hidup wanita lain?
Kae tak banyak bicara hanya meneruskan membuat financial report
di sebelahku. Bukankah seharusnya hal tersebut dikerjakan jauh dari customer?
Tidak, tidak, aku tak mau peduli orang lain untuk sisa hari ini. Cukup aku
mendengarkan keluhan dan permintaan manusia hari ini. Kae tiba-tiba angkat
suara.
“if u don’t mind, Sir, please stop making our customer uncomfortable with your
statement” katanya singkat dan membungkuk sedikit kepadaku lalu kembali ke
ruangannya. Tidak bisakah pria menahan emosinya sedikit lebih lama setidaknya
sampai aku pergi dari sini dulu? Haaahhhhh
“cih, dasar manager sensi” mau tak mau aku menoleh dengan kasar pada suara itu.
“apa?! Kau tak punya pita suara?! Kau tidak membenarkan statement ku tadi
menyebabkan pelayan tadi mengadu ke bosnya karena aku sudah membuatmu tak
nyaman. Seharusnya kita bisa bercakap-cakap normal, kau tahu” Katanya dengan
nada agak sedikit meninggi. Aku duduk menjauh darinya.
“Hey kau, kenapa kau mengatakan hal seperti itu pada managermu?! Hey?! Apakah
kau tak punya mulut?!” kata-katanya yang terakhir membuat Lin membuang serbet
dan pergi ke luar toko. Semua pengunjung melihatnya.
Aku beranjak dari tempat dudukku dan memeluk Lin di luar.
Lin yang malang. Bukan maksudnya bukan untuk dilahirkan bisu? Dan kenapa ada
orang yang terlampau tega berteriak padanya seperti itu? Lin baru saja beranjak
17. Tuhan, dia terisak di dadaku. Mungkin sisa hari ini aku diitakdirkan untuk
masih membagi hatiku. Lalu kulihat di dalam ada customer yang ingin membayar.
Setelah berjanji akan kembali secepatnya aku pergi ke meja kasir.
“jadi kau juga pelayan?” tanyanya padaku seakan dia bukan
orang yang baru saja menyakiti perasaan seseorang.
“maafkan saya, Pak. Tapi yang pertama, kami tidak diperbolehkan adu mulut
dengan pelanggan, yang kedua, teman saya yang di luar itu bisu, jadi saya mohon
bapak mengingat kembali apa yang baru saja bapak ucapkan, ketiga, bukan urusan
bapak saya pelayan atau bukan, terima kasih” Aku mengambil cangkirnya yang
kosong dengan kasar, dan beranjak ke ruangan Kae. Dia sedang bersungut-sungut
karena mungkin ada selisih.
“you better ask Lin to go home, she got some kinda shock” secepatnya, aku
keluar lagi untuk melayani customer yang baru datang. Terlihat dari sudut
mataku pria kasar tadi sudah pergi dan sedang berbicara dengan Lin di luar.
Bodoh, batinku.
“maafkan aku, Ge”
“tak apalah, aku yang harus berterima kasih karena kau masih mau memperkerjakan
Lin”
“ahh sudah jangan bahas itu” katanya membantuku mengambil cangkir-cangkir yang
kosong. Lin sudah pulang daritadi, wajahnya masih merah padam. Wajah Kae
sepertinya ingin menanyakan kerjaanku.
“NO, Stop don’t ask about how is my day” kataku pura-pura jengkel dan berhasil.
Kae tertawa. Aku tau harinya juga buruk, menyadari bahwa penjualan coffe shop
menurun. Di luar hujan semakin membuatku enggan beranjak cepat-cepat setelah
membereskan toko.
Kae, kapan aku mengenal pria ini?
Ah yaa...aku ingat, waktu
itu akhir bulan November, para mahasiswa yang kantongnya kering menggerombol di
depan warung makan. Hujan membuat mereka berdesakan mencari tempat berteduh dan
beberapa diantaranya memesan makanan, tahu bahwa hujan dengan awan putih tak
akan berakhir dengan cepat. Dan tiba-tiba seseorang menawariku duduk di
sampingnya. Ibu-ibu yang menyisakan tempat untukku duduk tidak lebih tua dari
ibuku mulai mengoceh tentang mahalnya harga bahan pokok. Sementara aku harus
mengingat bagaimana ibuku di rumah juga mengeluh hal yang sama agar aku dapat
memberi respon yang baik, seseorang yang baru saja masuk gerombolan meninjak
rokku.
Mukanya pucat, bibirnya putih dan nafasnya terengah. Reflek
aku tarik tangannya dan mendudukkannya di tempatku. Aku berdiri lagi. Sambil
menatap hujan membelakangi ibu tadi, aku dengar sekarang dia tidak mengoceh
lagi. Sebentar. Ada apa dengan lelaki ini? Saat aku balik badan, dia masih
menunduk, berusaha mengontrol nafasnya yang masih satu dua tersengal.
Hujan berhenti. Tiba-tiba semua orang mulai kembali sibuk.
Menyalakan sepeda motor dan pergi. Beberapa yang lain menaikkan celana
kerjanya. Beberapa yang lain lagi menikmati petrichor yang bercampur aroma mi
instan kuah panas. Ibu tadi ternyata menunggu suaminya yang juga terjebak di
kantor. Setelah suaminya datang, ia pamit duluan, aku mengangguk. Sudah jam 8,
terlalu malam untuk tetap datang, batinku. Saat aku ingin mengirim pesan
singkat ke Ata untuk meminta maaf karena malam ini tidak bisa mengajar, lelaki
di belakangku ber “ehm” menginginkan waktuku.
“terima kasih” katanya dengan nafas yang lebih teratur.
“oh iya, sama-sama” aku melanjutkan mengirim pesan singkat.
“tadi aku harus mengejar managerku” dia membuka percakapan.
“karena?” aku, lagi-lagi menjaga diri agar bisa memberikan respon yang baik.
“oh...kau tidak perlu mendengar ceritaku jika kau tidak tertarik, aku ada asma”
Wait, WHAT? What kind of respon is that? Am I that pathetic to hide my -your-topic-is-not-interesting? Aku ingin bertanya kenapa jika dia tahu jika dia memiliki penyakit asma dia masih memaksakan diri, tapi kuurungkan karena mungkin dia akan berpikir aku hanya pura-pura tertarik.
Wait, WHAT? What kind of respon is that? Am I that pathetic to hide my -your-topic-is-not-interesting? Aku ingin bertanya kenapa jika dia tahu jika dia memiliki penyakit asma dia masih memaksakan diri, tapi kuurungkan karena mungkin dia akan berpikir aku hanya pura-pura tertarik.
“aku ingin memberinya sales report, hari ini tenggatnya, aku baru saja gagal
mendapat tawaran promosi” that’s it!
“sorry to hear that” kataku jujur
“Kae” katanya sambil mengangguk
“Gea” aku pamit untuk pulang.
Comments
Post a Comment