Benih adalah cikal bakal kehidupan. Namun sebagaimana layaknya makhluk yang punya pilihan, cara menua merupakan hak asasi tiap nyawa yang berakal.
Mari bicara tentang dua manusia. Dan tentang relasi yang dapat terjadi pada keduanya. Dan kejadian yang dapat relasi tersebut kreasikan. Dan keberagaman respon akan kejadian tersebut. Dan apa yang dapat kita jadikan pelajaran darinya. Untuk memulai, kalimat berikut rasanya cukup pas untuk dikutip:
Dalam konteks cerita dimana kalimat tersebut diciptakan, saya sepenuhnya setuju pada arti yang melekat pada tiap kata. Dalam konteks lebih luas kalimat tersebut juga masih besar relevansinya. Ambillah contoh bagaimana irrasional nya kebanyakan manusia dalam menjalin relasi dengan sesama dalam konteks bukan platonik. Atau dengan Tuhan, misalnya. Tiap manusia memiliki ruang batin yang harus diisi. Dikaitkan dengan kutipan diatas, orang yang masih mencari bisa diibaratkan enggan berlabuh. Atau dalam konteks kemanusiaan, manusia selalu memiliki simpati pada mereka yang kurang beruntung.
Sebelum lanjut, relasi yang saya maksudkan di paragraf(-paragraf) selanjutnya merupakan relasi yang bersifat dapat dicptakan dan lebih ke bukan sesuatu yang dapat terjadi karena memang digariskan begitu. Singkatnya, pertalian keakraban sebagai sebuah fitrah yang mampu menjadikan dua manusia yang tak kenal sebelumnya menjadi paham. Sebutlah perkawanan, perkolegaan, perketidaksengajaan, atau bahkan percintaan.
Relasi adalah salah satu elemen kehidupan yang memiliki banyak jebakan. Salah satunya adalah kedekatan. Manusia sering berpikir bahwa kedekatan yang penuh dengan perhatian akan membuat relasi antar sesama semakin dalam. Untuk beberapa kasus, itu memang benar adanya. Namun, di situasi yang lain, kita perlu memikirkan hal tersebut secara lebih reflektif. Terlebih lagi bagi manusia yang sudah lama menjalin relasi. Kedekatan yang tak berjarak justru dapat menjadi jebakan yang nyata untuk kematangan sebuah relasi.
Bahwa relasi yang lekat membutuhkan intensi yang tepat, namun bukan berarti tak berjarak sama sekali. Sebaliknya, manusia memerlukan jarak untuk mencapai kedekatan yang natural. Itulah guna jarak yang memberikan pandangan luas dan bebas. Dengan inilah manusia memberikan makna sebuah ruang untuk bergerak, menjadi jembatan bagi dua ego yang berbeda.
Ibarat gunung, sesuatu dapat terlihat indah dari kejauhan. Sesekali, perlulah untuk mengurangi kedekatan agar rasa terus mengalami kebaruan. Bukan berarti kalau kita naik gunung jadi kurang indah. Namun ada kalanya refleksi perlu dilakukan. Melihat hubungan secara keseluruhan. Dengan itu, percayalah, akan selalu ada input baru ketika mendaki dari dekat. Keindahan baru akan datang, kebaikan dan keberkahan pun demikian.
Kembali ke jarak. Beberapa hal perlu dibiarkan misterius. Ada hal yang akan indah dengan adanya jarak. Menyertai jarak, waktu juga memiliki peran hebat. Banyak pertanyaan yang apabila telah terjawab, maka relasi akan begitu hambar dan mudah pupus. Bukan berarti ketertutupan. Namun prasangka adalah fitrah besar yang patut dijaga kesuciannya.
Oleh karena itu, jangan kotori pikiran ketika ada kerenggangan dalam relasi. Sebab jarak bukan soal memberi batasan, melainkan peristiwa pembebasan agar rasa tak mudah digoyahkan.
Jarak membuat kita sadar bahwa tiap manusia memiliki dinding. Jarak jugalah nantinya yang mampu membuat manusia merobohkan satu (Atau beberapa. Maksimal empat ya. Tapi adil loh) dengan alasan kebaikan.
Untuk menutup, ada pepatah lain yang terlintas di kepala. Bahwasanya seorang manusia, pasangannya, dan Tuhan ada pada ujung segitiga. Kau tentu tahu dari tiga titik yang ada posisi Tuhan bukan? Yang jelas, kedua manusia ada pada derajat yang sama. Dan semakin dekat kedua orang tersebut dengan Tuhan, maka semakin dekat pulalah mereka satu sama lain. Dan aku sepenuhnya mengamini.
Mari bicara tentang dua manusia. Dan tentang relasi yang dapat terjadi pada keduanya. Dan kejadian yang dapat relasi tersebut kreasikan. Dan keberagaman respon akan kejadian tersebut. Dan apa yang dapat kita jadikan pelajaran darinya. Untuk memulai, kalimat berikut rasanya cukup pas untuk dikutip:
Karena hati tak perlu memilih, ia selalu tahu kemana harus berlabuh.1
Dalam konteks cerita dimana kalimat tersebut diciptakan, saya sepenuhnya setuju pada arti yang melekat pada tiap kata. Dalam konteks lebih luas kalimat tersebut juga masih besar relevansinya. Ambillah contoh bagaimana irrasional nya kebanyakan manusia dalam menjalin relasi dengan sesama dalam konteks bukan platonik. Atau dengan Tuhan, misalnya. Tiap manusia memiliki ruang batin yang harus diisi. Dikaitkan dengan kutipan diatas, orang yang masih mencari bisa diibaratkan enggan berlabuh. Atau dalam konteks kemanusiaan, manusia selalu memiliki simpati pada mereka yang kurang beruntung.
Sebelum lanjut, relasi yang saya maksudkan di paragraf(-paragraf) selanjutnya merupakan relasi yang bersifat dapat dicptakan dan lebih ke bukan sesuatu yang dapat terjadi karena memang digariskan begitu. Singkatnya, pertalian keakraban sebagai sebuah fitrah yang mampu menjadikan dua manusia yang tak kenal sebelumnya menjadi paham. Sebutlah perkawanan, perkolegaan, perketidaksengajaan, atau bahkan percintaan.
Relasi adalah salah satu elemen kehidupan yang memiliki banyak jebakan. Salah satunya adalah kedekatan. Manusia sering berpikir bahwa kedekatan yang penuh dengan perhatian akan membuat relasi antar sesama semakin dalam. Untuk beberapa kasus, itu memang benar adanya. Namun, di situasi yang lain, kita perlu memikirkan hal tersebut secara lebih reflektif. Terlebih lagi bagi manusia yang sudah lama menjalin relasi. Kedekatan yang tak berjarak justru dapat menjadi jebakan yang nyata untuk kematangan sebuah relasi.
Bahwa relasi yang lekat membutuhkan intensi yang tepat, namun bukan berarti tak berjarak sama sekali. Sebaliknya, manusia memerlukan jarak untuk mencapai kedekatan yang natural. Itulah guna jarak yang memberikan pandangan luas dan bebas. Dengan inilah manusia memberikan makna sebuah ruang untuk bergerak, menjadi jembatan bagi dua ego yang berbeda.
Ibarat gunung, sesuatu dapat terlihat indah dari kejauhan. Sesekali, perlulah untuk mengurangi kedekatan agar rasa terus mengalami kebaruan. Bukan berarti kalau kita naik gunung jadi kurang indah. Namun ada kalanya refleksi perlu dilakukan. Melihat hubungan secara keseluruhan. Dengan itu, percayalah, akan selalu ada input baru ketika mendaki dari dekat. Keindahan baru akan datang, kebaikan dan keberkahan pun demikian.
Kembali ke jarak. Beberapa hal perlu dibiarkan misterius. Ada hal yang akan indah dengan adanya jarak. Menyertai jarak, waktu juga memiliki peran hebat. Banyak pertanyaan yang apabila telah terjawab, maka relasi akan begitu hambar dan mudah pupus. Bukan berarti ketertutupan. Namun prasangka adalah fitrah besar yang patut dijaga kesuciannya.
Oleh karena itu, jangan kotori pikiran ketika ada kerenggangan dalam relasi. Sebab jarak bukan soal memberi batasan, melainkan peristiwa pembebasan agar rasa tak mudah digoyahkan.
Your task is not to seek for love, but merely to seek and find all the barriers within yourself that you have built against it.2
Jarak membuat kita sadar bahwa tiap manusia memiliki dinding. Jarak jugalah nantinya yang mampu membuat manusia merobohkan satu (Atau beberapa. Maksimal empat ya. Tapi adil loh) dengan alasan kebaikan.
Untuk menutup, ada pepatah lain yang terlintas di kepala. Bahwasanya seorang manusia, pasangannya, dan Tuhan ada pada ujung segitiga. Kau tentu tahu dari tiga titik yang ada posisi Tuhan bukan? Yang jelas, kedua manusia ada pada derajat yang sama. Dan semakin dekat kedua orang tersebut dengan Tuhan, maka semakin dekat pulalah mereka satu sama lain. Dan aku sepenuhnya mengamini.
Maafkan ilustrasi yang seadanya hehe |
Sitasi:
1. Dewi Lestari, 2004. Perahu Kertas
2. Djalaluddin Rumi, 1200.
Comments
Post a Comment