Skip to main content

Tentang Rasa dan Etika

Kadang manusia merasa sedih namun berucap tidak padahal alasan dibalik sedihnya tak pernah ada yang bisa menjelaskan. Sedih memang kalau ditimbang. Sedih karena tak tahu kenapa sedih.

Sebelum memulai tulisan, penggunaan kata ganti orang sedikit banyak mengganggu penulis dalam mengekstraksi pikiran ke dalam bentuk tulisan belakangan ini. Pertimbangannya adalah kata ganti saya yang terlalu formal dan satu alternatif lainnnya yaitu aku yang sepintas kurang “serius” untuk diindahkan. Dan sering pada portal ini penulis menggunakan keduanya meski dalam konteks yang berbeda. Untuk baik yang lebih baik (Bah, rusak sekali ya Bahasa kalau buat nerjemahin greater good) dan penyeragaman, sepertinya untuk saat ini dan seterusnya penulis akan menggunakan kata ganti aku. Bukan apa apa, penulis merasa kurang cair dengan penggunaan “saya” dan “aku” terdengar lebih memesona.
  
Pernah mendengar walk the talk but don’t talk the walk? Pertama kali istilah ini kudengar, ada satu baris kalimat yang terngiang di kepala. Lã taqũlũna mã lã taf’alũn (Diakritiknya berasa bukan bahasa Arab ya wkwk). Spoilernya adalah: saking indah dan kompleksnya bahasa akhirat ini, dari satu kalimat dapat lahir banyak makna. Arti yang tertangkap kurang lebih dapat dimaknai menjadi janganlah kamu berkata apa yang tidak kamu lakukan. Ada dua hal yang menarik disini:
 
(1) Secara literal, makna dibalik kalimat tersebut cukup jelas. Jangan pernah membicarakan suatu hal yang tidak pernah diucapkan. Means don’t talk the walk you didn’t do. Kenapa menarik? Karena walk the talk but don’t talk the walk dapat disingkat maknanya menjadi kalimat yang lebih pendek karena susunan redaksional dan kaidah shorof yang memungkinkan. Jika di transliterasikan ke dalam bahasa Inggris, kalimat tersebut berubah menjadi don’t say what you didn’t do. Atau don’t talk the walk you didn’t do. (Anw keindahan diksi yang ada sebelumnya jadi hilang ya).
 
(2) Konteks pembelajaran. Nah ini lebih menarik lagi. Yaitu arti tersurat pada frase tersebut. Satu yang yang sering ditemui pada manusia adalah ketika manusia mencoba memberi nasihat kepada sesamanya. Pada praktiknya, manusia adalah makhluk paling jago dalam bersilat lidah. Tak terkecuali dalam berfalsafah. Pernah merasa betapa fasihnya kita dalam memberi petuah namun ketika petuah tersebut dikembalikan pada diri sendiri banyak sekali kurangnya? :D Nah. Guru yang baik memang yang kaya akan pengalaman, namun ada golongan guru yang lebih baik dari itu: yaitu golongan orang yang tersemat padanya apa yang ia ucapkan.
 
Satu lagi. 
 
Penasaran dengan hal ini, aku lakukan pencarian singkat dengan frase yang kita bahas sebelumnya. Yang kutemukan adalah konteks eksplisit pada QS61:2-3.
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ

 Orang yang percaya disapa. Disini aku termasuk orang yang percaya. Kemudian,
 
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ

Dang. Kalimat ancaman. Orang yang mengucapkan apa yang tidak ia perbuat diberi maklumat atas kemurkaan yang amat besar. Dan maklumat ini berlaku untuk orang yang percaya.
  
Silver lining? Sebaik-baik sebagai manusia, Tuhanlah yang Maha pembolak balik hati. Bisa jadi suatu saat manusia senang tak karuan namun sejenak kemudian dibalikkanlah hatinya hingga tak karuan. Sedih, kecewa, bimbang, meragu, dan kau bias saja memasukkan segala perasaan negatif yang terlintas di benakmu. Dan itu dijamin akan terjadi pada makhluk berhati. Jadi berhati-hati lah dengan hati. Jangan sampai berhenti untuk berhati baik. Pun bila hati sudah kadung tersakiti, jangan sekali-kali apa yang dilakukan sampai membuat yang Dipercayai murka. Ada etika yang harus dijaga. Ada cemburu yang harus tidak digugu. Ada hati yang harus dipersenjatai lebih kuat lagi.



 
Magelang, 2016. Ditulis dengan niat sedikit mencurahkan pikiran dan mencari sedikit ketenangan.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.

Wanita dan Peranannya

Pagi itu kelas keakhwatan di pesantrenku kosong karena ustadzah yang mengampu berhalangan hadir. Jadilah pemandu kami menugaskan kami untuk menulis tentang peran perempuan secara umum. Here's my answer.