Skip to main content

Resensi Buku : Impertinentes oleh NH. Dini

Data Buku

1.      Judul Resensi                                         : Aku, perempuan yang berharap
2.      Lead                                                    : Perubahan jaman. Itu satu garis besar dari kumpulan cerpen disini pun fenomena yang sedang diagungkan untuk membawa perubahan yang lebih baik.
3.      Judul Buku                                            : Impertinentes (Eng : Bold)
  1. Pengarang                                    : NH. Dini
  2. Penerbit beserta edisi cetakan  : Association Pasar malam / Collection du Banian, pertama
  3. Tahun terbit                                  : 2013
  4. Tebal buku (jumlah halaman)      : 169
8.      Kalimat Pembuka                    :
Masih mengusung tema feminisme, kali ini cerpen NH. Dini disajikan dengan cetakan bilingual. Jadi bagi kalian yang tertarik untuk membaca sekaligus belajar bahas Prancis, mungkin buku ini cocok untuk jadi bacaan waktu senggang sembari menunggu kereta. Tidak terlalu tebal, namun di setiap bab nya menghadirkan pengalaman yang intense. Ada 7 cerpen yang dua diantaranya menggunakan karakter yang sama. Dinamika menjadi perempuan, kumpulan cerpen ini mengajak kita berpikir kritis terhadap hal remeh yang terjadi di sekitar kita, tentang mengapa harus seorang perempuan tegas akan posisinya dalam keluarga dan masyarakat. Tidak hanya membahas tentang konsep kebebasan, namun juga menyelipkan unsur “aturan tidak tertulis” terutama dari suku Jawa.
9.      Isi                                            :
Pembagian halaman buku ini bisa dikatakan timpang, mungkin dikarenakan terjemahan bahasa Prancis membutuhkan banyak footnotes. Terjemahan Bahasa Prancis mendominasi dengan 79 halaman, di bagian pemisah dengan Bahasa Indonesia, terdapat lagu Ibu Kita Kartini dan biografi singkat pengarang. Daftar halaman terdapat di akhir buku, seakan menyarankan kita untuk menikmati novel ini seperti menyesap wine, pelan-pelan dan pastikan tak ada yang terlewat.
Cerpen pertama dibuka dengan konflik perempuan bernama Yati yang teguh tak sudi pulang dan mempertanyakan arti kata “saudara” dan “rumah”. Menurut saya, di sesapan pertama ini, kita mau tidak mau mempertanyakan hal yang sama kepada diri sendiri. Apakah pengertian saudara itu sesempit karena kita dilahirkan dari kandungan yang sama? Juga, apakah tempat itu masih bisa disebut rumah, jika kenyataannya keberadaanmu disana hanya sebagai boneka yang tak boleh memilih cinta?
Perubahan menarik lainnya yang dibahas buku ini adalah feminisme dalam melihat berkembangnya kapitalisme. Bentuk kapitalisme yang ditawarkan disini sangat dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, yaitu pembangunan industri. Mulai dari anak-anak yang gegabah mengambil tawaran pembelian tanah dan kebun juga “keharusan” untuk bekerja di negeri orang.
Di antara 7 cerpen, agaknya cerpen ketiga yang berjudul “perjalanan” adalah satu-satunya yang mempunyai setting modern dan karakternya adalah perempuan karir. Namun tetap, kelemahan seorang hawa disini dideskripsikan apik. Bukan lewat tangisan atau umpatan balas dendam, namun pengharapan yang baik.
Kalimat favorit saya kebetulan terletak di bagian paling akhir cerpen terakhir. “Bagus, Nok! Kamu hafal! Jalan lebih minggir, ya, siapa tahu mendadak ada kendaraan...!” Terlepas dari semua problematika hidup beserta kenikmatannya yang semu, perempuan tetaplah satu-satunya mahkluk yang mempunyai kehormatan untuk menjadi ibu. Dan sungguh, seharusnya kehormatan ini bukan dijadikan alat legal untuk pengekangan dan dikekang, namun alasan mulia untuk mendidik generasi yang lebih baik.
10.  Penutup
Berharap dengan tegas. Satu kata yang menurut saya, penulis coba elaborasi dengan banyak pendekatan. Mulai dari harapan seorang Janda di kaki gunung Slamet, sampai pramugari di kota yang sering kena banjir. Pengharapan baik yang tegas akan kontras dalam pembawaan yang lembut. Pengharapan yang tegas adalah doa. Buku ini diperuntukkan bagi mereka yang masih optimis dengan posisi wanita di keluarga dan masyarakat, untuk dioptimalkan dan disyukuri.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.