Skip to main content

Takut di Laut

Salah satu cita—citaku adalah untuk tinggal di atas laut berhari-hari. Tak perlu naik kapal pesiar yang super mahal itu, karena itu menyebabkan aku kebal ombak. Aku ingin merasakan badai yang mengguncang tanpa ampun. Membuatku tersiram air garam basah dan tak ada pilihan. Merasakan keputusasaan terombang-ambing karena sebenarnya perjalanan masih panjang atau tiba-tiba bisa berhenti saat itu juga.

Balik ke pengalaman pertamaku mengagumi laut. Saat itu pertengahan tahun 2014, aku berkesempatan untuk menyeberang dari Jawa ke Bali untuk pertemuan nasional mahasiswa jurusanku.  Aku tak bisa berbohong, bahwa angin subuh yang kurasakan begitu asyik. Seakan menyapa “selamat pagi” padaku, aku berjanji akan mengulangi perjalanan yang sama tidak lama kemudian. Perjalanan itu terwujud di awal tahun 2016.
Ada apa dengan laut? Mungkin ini semua bermula dari cerita ayahku. Perjalanannya berhari-hari dari Surabaya ke Sumatera utnuk menemui orang tua dan saudaranya. Ia bercerita tentang dek yang selalu penuh, tentang mahalnya mi instan di kapal, dan bel yang terlampau nyaring pertanda saat makan telah tiba atau saat kehabisan ide dan harus berteman dengan bosan.
Mungkin juga bermula dari pemandangan yang tak bisa aku berhenti kagumi dari matahari yang mencium horizon. Sinarnya menggantung memberi tahuku bahwa ia pernah ada, sebelum ia harus berganti tugas dengan bulan. Aku beruntung, pernah mengabadikan keduanya, saat ia pertama muncul hari itu dan satu setengah tahun kemudian saat ia berpamitan di hari lainnya.
Laut membuatku merasa kecil. Walau sebenarnya selat Bali selalu ramai, tapi aku sering membayangkan aku berada di laut terbuka. Berhari-hari yang kulihat hanya laut dan langit, dan pertemuan mereka. Bahwa aku bisa saja tenggelam tiba-tiba dan tidak diketemukan. Sama rasanya seperti saat kau sadar telah melakukan kesalahan yang kau tahu, bahkan setelah meminta maafpun masalah itu belum akan selesai.
Aku ingin dibuat bosan oleh hidup tapi tak ingin berada di tengah kehidupan itu sendiri.Jika ada orang yang menanyakan padaku tentang ide melarikan diri, aku akan sarankan padanya untuk membeli sebuah kapal. Aku ingin mencoba apakah akan ada suatu titik aku menolak untuk melihat sunrise atau sunset. Aku ingin muak dengan narsisme, karena di atas laut, setelah hari ke sekian misalnya, aku akan memikirkan diriku sendiri. Terus. Sampai bosan. Sampai semua nilai yang aku percayai harus aku perbarui dan pertanyakan lagi.
Seperti yang aku baca di buku Tere Liye soal perjalanan haji jaman dulu yang sampai 9 bulan, kalau ada pilihan skenario seperti itu, aku membayangkan menjadi anak bungsu dari Daeng Andi . Keluar kamar melihat lumba-lumba, paginya sekolah, sorenya mengaji, menjaga ibuku yang hamil, bermain bersama kakakku, dan menghafal nama kelasi. Juga, mempertanyakan semua hal. Yang pertama mungkin adalah, kenapa Tuhan menciptakan lautan lebih besar daripada daratan?
Aku ingin dibuat ingin lari secepatnya ke rumah. Di perenunganku, aku ingin menyadari betapa banyak nikmat yang telah aku kufuri. Di keberadaanku yang hanya ditemani desing mesin, aku ingin menemukan diriku dan masih mempunyai waktu untuk kembali ke daratan. Aku ingin menemukan daratan, layaknya pembunuh yang dibatalkan hukuman matinya. Kesempatan kedua.
Aku bisa berperjalanan jauh. Dengan diriku sendiri dan dengan mereka yang satu kapal denganku. Di hari kesekian, semua rahasia yang awalnya sama sekali mereka lupa, akan terbuka bagai tanaman kapuk yang telah menua. Terbuka dengan sendiri. Aku ingin berteman dengan mereka di masa lalu, juga nanti setelah turun dari kapal.
Aku kagum kepada para anggota angkatan laut yang menghabiskan waktu di laut lebih banyak daripada dengan keluarga mereka sendiri. Pernah satu kali waktu aku melihat tayangan saat mereka pulang dan aku mengobservasi penyambutannya. Bukan upacaranya, tapi pelukan hangat dari keluarga mereka. Wajah asing dari anak mereka yang telah tumbuh lebih cepat yang dari mereka kira, dan betapa mereka tidak tahu bahwa ayah mereka juga semakin menyayangi mereka setiap harinya.

Laut. Satu belantara yang aku ingin rasakan terik siangnya membakar kulitku, dan amuk badainya membuat nyaliku ciut. Untuk lapangan biru yang beberapa kali menjadi latar mimpiku. Agar secepatnya, jika Tuhan menghendaki, aku akan menemuimu. 

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Ayah yang Khawatir

Menurutku, semakin kita bertambah dewasa, beberapa istilah yang kita kenal dari kecil akan berubah perwujudan konkretnya di kepala, antara melebar dan mendalam. Kita tidak lagi terpaku hanya pada makna harfiah saja. Istilah hanya digunakan untuk mengerecutkan maksud komunikator kepada komunikan. Pemahaman komunikan, lagi-lagi dipengaruhi  oleh perubahan tersebut.