Skip to main content

Legiman dan Martinem

Bertepatan dengan sehari menyambut fenomena spring equinox, aku mengikuti pertemuan caregivers  untuk pertama kalinya.

Caregivers adalah sebutan bagi mereka yang merawat penderita alzheimer. Ia bisa pasangan, anak, atau bahkan teman pasien. Dan mereka, luar biasa.
Tema pertemuan kali ini adalah “Dinamika Keseharian Caregivers”. Ada 2 narasumber, yang pertama psikolog dan yang kedua, neurologist. Intinya, pada kesempatan kali ini kita akan membahas ketakutan, kejengkelan, kemarahan, dan pengalaman seru selama mendampingi pasien dengan alzheimer.

Setelah berkenalan, ternyata rerata audiens adalah mahasiswa, dokter, pegawai perusahaan penyalur tenaga home care, dan caregivers sendiri. Sesi awal, dipandu oleh mas-mas psikolog yang suaranya tenang, para caregivers diminta bercerita tentang pengalaman mereka.

“Eyang lupa nama saya, padahal saya cucu kesayangannya. Terus, eyang lupa cara jalan, dan makan. Dan pada awalnya ya jengkel, ‘masa kaya gitu aja gabisa to, Yang’ “

“Ayah pernah sekali waktu minta cukur rambut dini hari. Karena ayah saya orangnya keras, maka malam itu tidak ada dari kami yang berhasil untuk membujuk beliau untuk tetap di rumah, akhirnya kami menemani beliau keliling kompleks hanya untuk membuktikan bahwa ‘tukang cukur’ nya sudah tutup”

Pada pertengahan sesi ini, datanglah sepasang suami istri di umur mereka yang tidak lagi muda. Sang istri memegang tangan suami, terlihat bingung tentang dimana ia berada sekarang, namun sang suami dengan senyumnya yang ramah menyapa kami semua dan meminta ijin bergabung. Mereka berdua duduk hanya selisih satu bangku di sebelah kiriku, dan aku menangkap sang istri sering menggumam, dan dibalas sang suami dengan senyuman tulus.

Sesi kedua, bu dokter cantik yang murah senyum dengan sabar menjelaskan apa itu alzheimer, apa bedanya dengan demensia, apa yang terjadi pada otak pasien, gejala awal dan lanjutan, dan penanganan di setiap kegiatan sehari—hari (akan dibahas di postingan yang lain). Dan selanjutnya adalah saat dimana aku harus menahan the urge to cry.

Diceritakan oleh sang suami bahwa pasangan hidupnya ini mempunyai selaput otak yang tipis, dan pada tahun 2002, menggelembung, pecah dan selanjutnya harus dioperasi. Beliau menjelaskan bagaimana dokter menangani istrinya tersebut, mulai dari menyedot cairan yang ada di kepala lewat lubang yang dibuat di tengkorak dan bawah rahang kanan, dalam penjelasan ini sang istri bagai asisten sigap memberi tahu audiens dimana ia ‘diperiksa’ dokter. Selanjutnya adalah penantian selama 1 bulan agar bekas cairan di otak mengering, dan operasi.

“Nama saya Legiman”

“Kalau ibu asmanipun sinten?” Tanya mas psikolog ramah

“Martinem”. Dan cerita berlanjut.

3 kali koma, 3 kali operasi, dan Allah Swt masih memberi kesempatan kepada mereka untuk masih bersama. Setelah selesai operasi, sang istri lupa total tentang ia dan orang-orang di sekelilingnya.

“lucu dan menyakitkan, mas” kata pak Legiman masih dengan senyum yang terkembang.

“kalau dari gejala yang saya sebutkan tadi, ibu menunjukkan gejala yang mana ya pak?” (bu dokter bikin 30 slide soal penanganan alzheimer ini. 30 slide dengan macam-macam gejala)

“semua”. Walau semua di ruangan itu paham bahwa bu Martinem tidak mengidap alzheimer, namun toh tetap kita excited untuk mendengarkan kisah mereka yang berdampingan 14 tahun setelah penyakit sang istri pertama kali didiagnosa.

Bu Martinem lupa tentang anak-anak mereka, lupa ia siapa, pernah sekolah dimana, kesukaannya apa, dan hanya ingat orang yang merawatnya selama 3 bulan di rumah sakit, suaminya. Pak legiman menceritakan tentang perubahan kepribadian istrinya, menurut hasil tes dokter, bahwa istrinya sekarang hanya memiliki karakter kekanak-kanakan.

“Ya kalau ibu gamau mandi, alasannya males gitu, ya saya sudah ga bisa bujuk-bujuk lagi apalgi bentak, soalnya nanti pusing. Kalau pusing berarti di otaknya sudah ngerembes cairan lagi, padahal setelah operasi kan otak ibu dipasangi klep dan pembungkus. Saya takut. Takut kehilangan”

Disini lah tembok pertahananku pecah. Berasa kaya ada something euy di tenggorokan. Untung tuan rumah menyediakan tisu dan tisu itu dalam jangkauan. Thanks!

“ibu tadi berangkat dari mana?” tanya mas psikolog lagi

“itu...itu hlo pak, yang keramaian”

“hayo keramaian mana, tak kasih huruf ya, depannya K, ada F nya juga. Hayo apa?” kata sang suami menjelaskan dengan sabar (aku nangis mulai ga keruan tapi setel kalem).

“Kidsfun”. Dan ya, kami seruangan merasa ikut berhasil, bertepuk tangan bersama.

“hlawong saya dengan ibu ini uda kaya perangko kan ya? Kemana-mana berdua” canda pak Legiman

“ndakpapa pak, kan mesra to ya” kata bu dokter yang optimis

“ibu sayang ga sama bapak?” tanya mas psikolog yang bikin aku kesel gegara mancing pertanyaan begini.

“sayang” jawabnya malu dengan nada tegas.

“pertama kali ketemu bapak dimana bu?”

“yaitu...ya waktu main” Kami tersenyum, sepertinya virus “maklum” yang tadi dijelaskan di awal sudah terinternalisasi. Setelah proses tanya jawab (disini aku tau bahwa aku ga nangis sendirian, ada seorang ibu yang menangis sampai suaranya getar dan merupakan caregivers bagi ibunya, yang sekarang sudah meninggal), kami disuguhi makanan oleh tuan rumah. Pak Legiman dan bu dokter terlibat pembicaraan serius tentang tes dan operasi yang pernah dijalani istrinya.

Di umurnya ke-61 ini, bu Martinem telah berhasil menghafal banyak nama barang, warna, cara berkegiatan seperti mandi, makan, berpakaian, dan disorientasi tempat dan waktu yang normal.

“Pokoknya kalau kita mengurus pasien, kita itu ga boleh mengalami 3 hal. Ga boleh capek, ga boleh stres, ga boleh marah” papar pak Legiman yang sepertinya lebih menarik karena beliau bukan hanya membagi informasi berdasar teori namun juga pengalaman. Kalau kalian pernah nonton film adaptasi novel bikinan Nicholas Spark, The Notebook, yah itu...berasa liat langsung, tanpa skrip dan tentunya lebih bikin amburadul (nangisnya).

Sesaat sebelum pulang sang suami memberi tantangan kepada sang sitri untuk mengingat nama tiga benda yang ia sebutkan. Buku, piring, payung. Setelah 5 menit dialihkan dengan pertanyaan lain, sang istri ditanyai lagi dan ia hanya menjawab lupa. Dan, sang istri terlihat berkutat dengan dirinya sendiri, seperti tak ingin mengecewakan suaminya, ia mengetuk-ngetuk pelipisnya berusaha mengingat nama 3 benda tadi.

“Buku”

“Piring”

“Payung”


“ini 5 menit lebih dok, biasanya istri saya bisa ingat lagi 5 menit” kata pak Legiman sambil menepuk paha istrinya bangga.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Ayah yang Khawatir

Menurutku, semakin kita bertambah dewasa, beberapa istilah yang kita kenal dari kecil akan berubah perwujudan konkretnya di kepala, antara melebar dan mendalam. Kita tidak lagi terpaku hanya pada makna harfiah saja. Istilah hanya digunakan untuk mengerecutkan maksud komunikator kepada komunikan. Pemahaman komunikan, lagi-lagi dipengaruhi  oleh perubahan tersebut.