Skip to main content

Andaikan Saja

Semakin hari semakin paham curhatan kakak tingkat soal skripsi dan soal karakter dosen. Juga, makin bisa feeling related to ke macem-macem meme soal bimbingan. Welcome to semester tua, Din!
Diwarnai dengan cuaca ga tentu uda 2 minggu ini, semakin menggambarkan mood ku buat bimbingan proposal. Niat kalau di kos, dan tiba-tiba ada aja excuses kalau uda di kampus. Dan semua berawal saat aku ingin ganti judul.

Macem bakal nikah sama siapa, judul skripsi itu kata dosenku kudu seksi (apasi analoginya, yauda biarin). Judul itu ga boleh memunculkan pertanyaan, so what? Karena hal ini akan memunculkan kesan ‘tidak penting’ ke hasil penelitian kita.

Sebagai mahasiswi yang memegang rekor telat baru 2 kali selama 3 tahun ajaran, aku berdedikasi buat bikin masterpiece. Sempet ngajakin beberapa temen buat bikin grup diskusi soal negara yang mau aku bahas, tapi hasilnya sampe sekarang masih nihil. Padahal punya grup diskusi gini bikin konsistensi meningkat, teorinya.

Ganti judul adalah hal lumrah. Hlawong kadang bilangnya aja ganti judul tapi materi yang dimaksud sama aja ada. Juga, kadang kita uda paham mau ambil fenomena apa, tapi ga paham gimana bikin kalimat judulnya. Tiba-tiba semua diksi yang kita pelajari belasan tahun sekolah jadi ga ada yang bisa ngewakilin maksud kita.

Walau uda mulai doktrin diri sendiri buat ga grogi waktu ujian pendadaran besok (iya, nenangin diri sendirinya dari sekarang), tapi ga mengurangi excuses yang aku buat kalau lagi garap proposal. Kayaknya kurang ini deh, seharusnya ditambahi data statistik dari ini ya, eh ada kebijakan baru yang berkaitan, dampaknya apa ya and so on. Padahal kalimat mujarab para pembimbing adalah “kalau ada masalah jangan dipendem sendiri”.

See? Manusia itu emang bebal. Bebal otaknya ya bebal hatinya *teteup. Uda paham gitu apa yang harus dilakuin, tetep aja memanfaatkan waktu akhir buat dapet hasil maksimal. Padahal ya, banyak sebenernya keadaan diluar kendali kita, yang bisa bikin kerjaan tambah amburadul. Lah ini dari diri sendiri aja kaga di-manage gimana meminimalisir faktor x tadi?

Faktor x ini cemacem, kaya kacamata yang tiba-tiba ketlisut misalnya. Jadi, ada anak SMP yang biasa belajar bareng sama aku, sebut saja namanya Aldan (kok nama tempaat makan). Si Aldan ini punya silinder (aku baru paham juga kalau silinder itu ada faktor keturunan) dari kelas 6 SD. Dia yang dateng paling gasik buat belajar bareng malem itu.

Dia bawa buku IPA, karena aku bilang resiko salahku kalau ngajarin fisika lebih banyak jadilah aku tanya materi biologi atau kimia mana yang dia kurang paham. Nah sayangnya, (aku juga ga paham kenapa pembagiannya ekstrem gini) semua materi biologi dan kimia uda abis di semester satu dan setengah semester dua. Ujian tengah semester dia dapet 68 dan dari wajahnya aku tau dia kecewa.

Ternyata semua berawal saat kacamatanya ketlisut. Jadilah ia mau jawab B, tapi yang disilang C. Terus kalau mau baca soal uraian juga ga jelas, hasilnya dia kurang paham soalnya nyuruh ngapain.

Si Aldan ini mau jadi dokter, tanpa kasih ceramah soal cita-cita idealis dan realis macem mahasiswi yang sakit hati karena ga keterima di PTN, aku ikut seneng juga kok nemenin bibit pak dokter belajar heheh. Terus aku ikutan kecewa, bayangin aja uda cas cis cus paham soal biologi sama kimia, eh gegara kacamata ketlisut, kesempatan buat dapet 100 bulet melayang. Dilandasi kegemesannya, jadilah dia ngitung kalau dia dapet kacamata, kira-kira dapet nilai berapa, dan 92.

Oke dari pembahasan mikir judul di semester tua sampe kacamata ketlisut, kita bisa menyimpulkan bahwa kita berdua kecewa terhadap variabel yang sama. Diri sendiri. Andaikan aja aku lebih rajin ngejar dosen dan si Aldan ini lebih teliti naruh kacamatanya. Andaikan saja.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Ayah yang Khawatir

Menurutku, semakin kita bertambah dewasa, beberapa istilah yang kita kenal dari kecil akan berubah perwujudan konkretnya di kepala, antara melebar dan mendalam. Kita tidak lagi terpaku hanya pada makna harfiah saja. Istilah hanya digunakan untuk mengerecutkan maksud komunikator kepada komunikan. Pemahaman komunikan, lagi-lagi dipengaruhi  oleh perubahan tersebut.