Skip to main content

Gegara Perasa yang Kesekian

Masih karena kemurahan hati temanku, aku dibuat jalan-jalan keliling Asia Selatan. Tentu saja lewat buku, bersama Agustinus Wibowo. Saat penulis terjebak dalam jasadnya yang terkena penyakit kuning dan isolasi alam di bawah gunung Rakaposhi setinggi 7.790m. Ia menuliskan
“Ada riset mengatakan, otak orang yang berbahagia lebih merespons secara positif terhadap hal-hal kecil dan sepele, yang sering terlewat oleh orang lain.”

Lihat? Aku masih saja cari pembenaran dari sifat perasa ku ini. Tapi coba kau tanyakan padaku ada berapa kuncup mawar di asramaku yang siap mekar, atau sudah berapa kali bulan terlihat dari asramaku di malam hari di awal musim hujan ini. Aku tahu jawabannya. Dan ya, apa pentingnya.

Temuan lain adalah beberapa catatan kecil yang ditempelkan oleh saudara-saudaraku ini di pintu kamar mereka. Catatan itu bertuliskan dengan cara apa mereka sebaiknya dibangunkan. Entah ini preferensi pribadi karena lebih nyaman atau lebih efisien, seperti yang kita tahu, hal itu adalah dua hal yang berbeda. Ada yang minta diketuk pintunya saja kalau qiyamul lail, dan dipanggil namanya kalau subuh, tapi ada juga yang mempersilahkan jikalau ingin menggoncang-goncangkan tubuhnya. “Gelitikin aja kakiku”, juga ada. Memang, tidur kami kalau dihitung tak pernah benar-benar lebih dari 5 jam, tapi entah mengapa, tidur pendek ini, yang seringnya membuat kami menggerutu karena sudah harus bangun, malah membuat kami (aku) paham makna istirahat sebenarnya. Tidak ada berjam-jam di kasur hanya untuk membuka sosmed, tidak ada pula gonta-ganti posisi tidur karena keasyikan chatting, apalagi menghabiskan lebih dari 10 halaman buku setiap sebelum tidur.

Penampakan lingkungan yang kusadari berubah di musim penghujan plus angin ini adalah tumbuhnya permadani hijau di selokan depan kamar. Ia benar-benar seperti karpet hijau, yang biasanya digelar di masjid, hanya saja sekarang tercelup di air comberan. Kadang menggulung, kadang juga robek di bagian tengahnya. Pertanda bahwa semalam atau 2 hari yang lalu sedang hujan hebat.


"Jangan kau nilai seseorang dari apa yang dia baca". Merasa aneh dnegan pernyataan ini? Aku pun. Sayang, penulisnya sekarang tidak aktif lagi menggugah rasa penasaranku dengan tulisannya yang kontradiksi dengan anggapan umum. Bagian mencolok lainnya yang aku perhatikan adalah soal koleksi buku, Perbandingan bacaanku dengan saudara-saudaraku yang lain membuatku malu. Bacaanku yang seringnya berkutat dengan hati (it's obvious, isn't?)., berbeda genre dengan mereka yang kebanyakan soal pengetahuan dakwah. But then, aku keliru. Ada beberapa dari mereka yang ternyata membenarkan pernyataan di atas. 

"Jangan kau nilai seseorang dari apa yang dia baca".

Karena, ia bisa membaca tapi tidak hadir di sana. Karena, ia juga bisa hanya memiliki buku itu, belum pernah ia baca, Lagi-lagi aku keliru. Dan hal ini yang semakin membuatku semangat mengejar ketertinggalan. Buku yang dsusun rapi itu membuatku bertanya-tanya, sudah berapa orang yang membacanya dan siapa yang yang paling banyak mengambil pelajaran darinya.



Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Ayah yang Khawatir

Menurutku, semakin kita bertambah dewasa, beberapa istilah yang kita kenal dari kecil akan berubah perwujudan konkretnya di kepala, antara melebar dan mendalam. Kita tidak lagi terpaku hanya pada makna harfiah saja. Istilah hanya digunakan untuk mengerecutkan maksud komunikator kepada komunikan. Pemahaman komunikan, lagi-lagi dipengaruhi  oleh perubahan tersebut.