Skip to main content

Yakin Pindahan? part 1

"Hidup penuh dengan ketidakpastian, tetapi perpindahan adalah salah satu hal yang pasti. Kalau pindah diidentikkan dengan kepergian, maka kesedihan menjadi sesuatu yang mengikutinya....Padahal, untuk melakukan pencapaian lebih, kita tak bisa hanya bertahan di tempat yang sama. Tidak ada kehidupan lebih baik yang bisa didapatkan tanpa melakukan perpindahan.

Gue jadi berpikir, ternyata untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik, gue gak perlu menjadi manusia super. Gue hanya perlu menjadi manusa setengah salmon : berani pindah"
Raditya Dika dalam Manusia Setengah Salmon (2011)


Iya, tulisan kali ini bakal ngebahas soal packing dan beberes kamar kos 3x3 yang uda dua hari digarap tapi belum kelar. Pindahan, sampai sekarang masih jadi tahapan hidup yang aku kenal melelahkan. Jadi inget jaman dulu di Surabaya pindahan ke Karanganyar, dus dus tinggi yang tingginya sepinggang lebih bejibun banget di rumah, bermacam tulisan di sisi kanan kirinya kaya "loyang", "baju Dinnar" dan lemari-lemari bongkar pasang tetiba mur murnya pula dikasih nomer biar ga bingung waktu masang lagi nanti di tempat baru.

"kita pindah ke Karanganyar ya mbak"
"bapak bercanda kan?"
"engga sayang, bapak serius"

Iya, waktu itu ga percaya. Kenapa sih pindah? Temen-temenku disini baik, aku tiap senin ditugasin jadi paskibraka, aku uda hafal jalan ke rumah wali kelasku, aku juga ga nakal di sekolah. Kenapa sih pindah?

Berbeda dengan dulu, aku yang sekarang, bukan pengikut. Dengan umur kepala dua, aku bisa mutusin kapan mau pindah dan punya hak milih pindah kemana. Dan dalam 3 hari ke depan aku bakal pindah ke pondok pesantren mahasiswi Asma Amanina.

Hal pertama yang harus disiapin kalau pindahan adalah tujuan baru. Alasan-alasan personal akan banyak dibutuhkan disini. Kenapa sih disana? Ada apa disana? Apa yang ngebuat disana lebih baik daripada disini?

Kalau waktu sharing kemaren aku tau banyak anak asramaku yang dulu masuk pondok pesantren gegara disuruh orang tua, gegara deket rumah, gegara kakak juga di pondok pesantren yang sama dan gegara gegara lainnya yang kebanyakan berasal dari faktor eksternal yang dikarenakan dulu kita dianggap belum bisa  ambil keputusan sendiri.

Berbeda dengan jenjang pendidikan akademik yang dipilihkan, pilihan untuk masuk pondok pesantren mahasiswi bagi seorang santrinya adalah kesadaran diri kami sendiri.

Kesadaran inilah yang nantinya akan menggerakkan agenda remah-remah macem packing baju dan perkakas lainnya.
"Nab, ini hapenya siapa?"
"Hapeku dulu, itu uda mati"
*coba colokin ke charger, nyala
*liat-liatan

"Ini flashdisk nya siapa ya, Tik?"
"Coba aja buka dulu di lepi"
*cek
"Astaga punyanya temenku, astaghfirullah belum aku balikin selama ini"

"Nih dompet, Nab. Eh kok ada uangnya?"
"Iya itu, 300an apa ya lupa"
"Hah? 300 ribu?"
"Iya"
"Uangmu?"
"Nope, uang project " (padahal project nya udah tahun 2013 akhir)

Packing sekarang adalah pergumulan batin yang hebat untuk memutuskan mana yang dibuang, mana yang disimpan dan mana yang dibawa ke rumah dan mana yang dibawa ke asrama. Hasil menjual kertas-kertas bekas hari ini adalah 12.500 dan barang yang masuk sudah memenuhi 3 dus botol air mineral.

Hidup di kamar yang sama selama 3 tahun aja uda banyak bikin sampah dan banyak nyimpenin barang gak guna. Sampe ada rumus "semakin dilihat semakin ga tega dibuang", intinya adalah jika memang ga bener-bener butuh udah dibuang aja. Same reaction applied if you meet toxic person.

Oke, tulisan kali ini harus diberhentikan karena penulis tetiba punya semangat lanjut packing. Dah.

 

Comments

Popular posts from this blog

Notulensi Majelis Ilmu Jogokariyan : Burung dan Semut #Part1

Untuk pertama kalinya, saya akan mengangkat topik mengenai apa yang saya percaya disini. Meski sudah seyogyanya tiap apa yang kita lakukan berlandaskan percaya, pengangkatan topik yang baru sekarang ini tidak lain tidak bukan merupakan pembuka atas semua tulisan. Penjelasan bahwasanya segala yang saya lakukan (termasuk menulis disini) sebenarnya merupakan implementasi kepercayaan yang saya yakini. Hasil paling akhir dari sebuah proses percaya dan berpikir. Percaya tidak ada apa apanya bukan apabila hanya diamini dalam dada tanpa aksi nyata.

2k16

First of all. Sorry it took some times for the post. Both contributor had to span holidays and we agreed to postpone our writing for the next deadline. So here I am. Writing (dedicated to this blog) for the first time in 2k16.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

About (effective) crying

Lot of things happened recently. And to document what happened isn't easy for me, especially to express it verbally. But recent moments is enough to (again) realize and take a look on something: the more I resist to deny that I never cry, the more I have this ability to recall each tears I've spent on something. The more I want stuff to happen, the more likely it won't happened at all. The more I did not expect something foolishly, the more calmness followed.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.