Skip to main content

Takbiran Paling Kenyang

Bulan Ramadhan 1437 kemaren bisa dibilang paling berkesan, karena for the very first time aku melewati malam takbiran tidak bersama keluarga dan seru.


Sudah semingguan ini, setiap berkendara motor seringnya aku membatin "Jogja sepi ya". Iya, selain memang karena banyak mahasiswa rantau balik rumah, banyak juga yang sedang berkerumun di suatu tempat, mall.

THR, menjadi salah satu alasan kenapa lebaran di Indonesia ga cuma punyanya umat muslim. Alasan keduanya adalah mudik.

Walaupun kami (relawan Ramadhan IZI) sama sama ngetem di mall, tapi agaknya kami mempunyai kasus berbeda. Hal ini karena kami bukan yang berkutat dengan kasir, tapi kami memanfaatkan kecenderungan aneh masyarakat muslim Indonesia dimana mereka baru akan bingung bayar zakat di malam terakhir Ramadhan. Entah, bawaan kebiasaan "sistem kebut semalam" jaman mahasiswa kali.

Hari itu hari terakhir aku dan teman-teman nyatronin mall dengan alasan selain menjadi pengunjung. Walau sudah mulai hafal siapa-siapa saja pekerja mall yang shalat tepat waktu, walau sudah mulai menjadi incaran stapam karena sengaja meninggalkan brosur di masjid dan mushola, walau sudah mulai terbiasa mendapat uang segepok dari donatur dan hafal harga makanan di warung-warung sebelah mall, keseruan berkontak kami secara resmi sudah selesai.

Sorenya, kami berkumpul di kantor untuk mengurus administrasi. Absen, pendapatan, rekap data, setoran terakhir dan gajian.

Bagi mahasiswi yang biasanya nungguin kiriman macam aku, punya uang sendiri rasanya lebih lega. Setelah shalat maghrib dan buka puasa (terakhir) bersama, kami saling mendoakan satu sama lain (banyaknya sih macem "tiati ye mudiknya"), ada segelintir relawan-yang-doyan-makan (termasuk aku) yang sepakat untuk makan dessert di luar dengan hasil patungan gaji masing-masing.

Sebelum melaksanakan misi terakhir kami di buylan Ramadhan ini, kami shalat dulu di masjid kampus UNY. Aneh batinku, masjidnya sepi. Saking sepinya, suara takbir yang dikumandangkan setelah shalat isya bikin ga keruan rasanya di hati.

Target pertama kami tutup (iya banyak tempat makan tutup, dan hal ini uda jadi masalah buat kami-yang-bukan-domisili-Jogja-dan-ga-masak-sendiri sejak seminggu sebelum lebaran). Akhirnya Allah menakdirkan kami untuk makan di tempat pilihan kedua.

Dihibur dengan beberapa takbir keliling yang lewat, dan cerita-cerita rese (dan kejahilan) relawan lain, aku menyadari satu hal. Aku bahagia. Bukan, bukan dengan martabak manis 4 rasa yang kami pesan. Tapi dengan kepedulian kami satu sama lain, atas kebahagiaan yang dibagi, atas frustasi "kenapa target jauh banget", atas kisah jaman lampau yang menjadikan kami hari ini dan atas perayaan satu bulan ujian "baru" kami.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Ayah yang Khawatir

Menurutku, semakin kita bertambah dewasa, beberapa istilah yang kita kenal dari kecil akan berubah perwujudan konkretnya di kepala, antara melebar dan mendalam. Kita tidak lagi terpaku hanya pada makna harfiah saja. Istilah hanya digunakan untuk mengerecutkan maksud komunikator kepada komunikan. Pemahaman komunikan, lagi-lagi dipengaruhi  oleh perubahan tersebut.