Skip to main content

Nasionalisme itu gimana?

Aku tak yakin kapan terakhir kali mendengarkan lagu Indonesia Raya. Dan ya, aku yakin aku akan menukar-nukar liriknya tanpa sadar. Selama 11 tahun upacara bendera dan acara formal lainnya, juga bisa dihitung hanya berapa kali aku memejamkan mata, itupun karena kepanasan.
Ide tulisan ini berawal dari saat aku membaca tulisan Quraish Shihab soal Islam yang mengakui nasionalisme. Nasionalisme, cinta tanah air, dan teman-temannya mengimplikasikan suatu perasaan bangga memiliki dan menjadi suatu bagian dari negara asal. Sempit memang, tapi itu setidaknya yang aku rangkum dari bacaan satu bab itu.

Aku cepat bosan, makannya aku rutin mengganti tema bacaan setelah 2-4 buku yang aku baca dengan tema yang sama selesai. Macem bikin silabus sendiri buat hiburan dan pengetahuan. Minggu ini aku ambil bukunya Pandji yang nasional.is.me dan Ibu Pertiwi Memanggilmu Pulang oleh Pepih Nugraha (Terima kasih kepada para pustakawan Grhatama Pustaka yang organise, semoga koleksi tambah banyak ya!).

Dua buku ini sama, isinya perjalanan dua orang manusia yang punya definisi subyektif tentang nasionalisme. Gimana mereka lihat masalah-masalah populer macem etika, pendidikan, kesehatan, dan penyakit moral bangsa ini, tapi tetap sadar betul soal kewajiban mengabdi pada negeri. Yang menarik adalah, mereka mengajari para pembacanya untuk tidak cinta buta, tidak terjerumus pada chauvinisme.

Agaknya banyak dari kita yang menganggap bahwa konsep “mempersembahkan sesuatu untuk Indonesia” adalah selalu berarti medali, hak paten, disertasi atau selempang bertuliskan suatu titel. Lalu, orang-orang yang aku kenal menyediakan rumah baca darurat, beasiswa gratis, fotografer lepas untuk suatu komunitas pendidikan, yang menyediakan acara kunjung museum, relawan pendamping anak-anak yang pernah dibully, dan pembuat kartu pos bergambar daerah-daerah di Indonesia di tempatkan dimana?

Kalau dalam studi hubungan Internasional, kami mengenal apa yang disebut sebagai aknon (aktor non negara). Aknon terdiri dari epistemic community (sering disamakan dengan kaum akademik), media, NGO, MNC, individu berpengaruh (macem paus, pemenang nobel perdamaian, dll), dan organisasi religius. Dalam tingkatan apapun, dalam cakupan universalis sekalipun, hanya negara yang punya legitimasi tanpa batas, termasuk pilihan untuk menggunakan kekuatan militer dan kekerasan dalam implementasi keputusannya, tapi aknon ini mempunyai posisi penting dalam membawa suatu isu.

Nah, yang mau aku tunjukin disini adalah banyak cara alternatif untuk ambil peran. Ambil peran disini berarti berhenti menyalahkan pemerintah, berhenti abstain, berhenti tak acuh. Kita semua sepakat bahwa Indonesia sakit. Tidakkah kalian, generasi kedua dan ketiga setelah kemerdekaan ingin menyembuhkannya?

Gimana?

Lakukan bagianmu. Sama seperti Pandji, aku pertama-tama memberanikan diri untuk mengikuti suatu komunitas yang align dengan keyakinanku. Kalau dalam blueprint ga pentingku sih, disini aku belajar gimana ngehandle suatu gerakan sosial, gimana memprediksi kebutuhan relawan, gimana gerakan ini bisa disinergikan dengan komunitas lain, apa para relawan mendapat pelajaran dari kegiatan kita, dan apa tujuan kita tercapai walau hanya sedikit-demi sedikit. Selanjutnya, satu komunitas akan mengenalkanmu pada komunitas dan inisiator hebat lainnya. Menjadi relawan, bukan lagi berbicara siapa yang di atas siapa yang di bawah, tapi perbedaan tanggungjawab. Termasuk tanggungjawab untuk mengerjakan kewajiban masing-masing.

Sore ini, aku berencana ingin rekaman suara. Bukan di studio, jelas, aku duduk rapi di depan notebook-ku, siap merekam suaraku saat membaca roman terbaik pada tahun 1958 berjudul “Pulang”, yang ditulis oleh Toha Mohtar. Di salah satu grup lineku, sedang heboh soal kebiasaanku jaman SMP, yaitu suka baca kamus bahasa Indonesia. Orang-orang di grup itu merasa ganjil dengan kebiasaanku, karena mereka biasa membaca kamus bahasa lain.

“dibaca jaman sekarang ga aneh, Nab?”

“aku jarang baca novel, terakhir baca light novel ouran high school yang udah diterjemahin.”

Engga, engga aneh, karena aku belum pernah merasakan jadi tentara dengan kulit yang terpanggang matahari dan sudah 7 tahun tidak pulang ke rumah di kaki gunung Wilis. Novel sekarang, rata-rata ingin menjadikanku gadis yang kiblat hidupnya mencari pacar dan itupun ber-setting di negeri orang.


Tulisan ini untukku, agar tetap konsisten ingin mengarungi laut-laut nusantara dan bertemu matahari saat mencium horizon yang terjadi di laut Jawa. Tulisan ini untuk kalian, penyembuh bangsa, yang bangga yang rela yang masih optimis kepada Indonesia. Suara ini dari Jogja, dan semoga suara ini meyakinkan kalian bahwa kalian sudah membawa perubahan, dan Indonesia berterima kasih untuk itu. 

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Ayah yang Khawatir

Menurutku, semakin kita bertambah dewasa, beberapa istilah yang kita kenal dari kecil akan berubah perwujudan konkretnya di kepala, antara melebar dan mendalam. Kita tidak lagi terpaku hanya pada makna harfiah saja. Istilah hanya digunakan untuk mengerecutkan maksud komunikator kepada komunikan. Pemahaman komunikan, lagi-lagi dipengaruhi  oleh perubahan tersebut.