Skip to main content

Trip Report: Bondowoso - Banyuwangi - Jember - Probolinggo

Akhir tahun memang hal yang paling ditunggu bagi sebagian besar penduduk dunia. Selebrasi, liburan, keluarga, hingga rehat dari rutinitas, adalah hal yang banyak ada di benak. Wajar memang. Terlebih ketika akhir tahun 2k15 kemarin jatuh pada hari terakhir kerja efektif menurut banyak kalender yaitu hari Jumat. Well, awal tahun baru 2k16 kuhabiskan dengan mengamini ajakan jalan-jalan sekaligus menghadiri pesta kebahagiaan seorang teman semasa Aliyah karena telah menyempurnakan separuh agamanya. Perjalanan yang akan ditulis kali ini adalah perjalanan pada tanggal satu hingga tiga.
 
JOGJA
 
Perjalanan kumulai dari Yogyakarta menuju Malang, dimana akad dan walimatul ‘ursy berlangsung. Dengan bermodalkan kenekatan untuk memesan tiket kereta dari 2 bulan sebelumnya, berangkatlahku bersamaan dengan rekan berperjalanan di penghujung hari terakhir 2k15. Sadar bahwa hari itu merupakan hari pergantian tahun, sempat nyaris terlupa bagaimana moda transportasi yang kita akan gunakan dari meeting point hingga ke stasiun. Dan mengingat jam keberangkatan 20.45 yang beriringan dengan persiapan tahun baru dan mempertimbangankan posisi stasiun yang berada di tengah kota, opsi akomodasi ternyaman yang akan kita pilih mengerucut pada trans jogja dan taksi. (Iya. Kita menghabiskan tahun baru di kereta. Kalau dibanding dengan teman-teman lain memang kita yang paling merana. Tapi biar saja. Toh sudah bisa berangkat saja merupakan keajaiban bagiku dan rekanku HAHAHA, mengingat suka duka yang harus kita alami pra keberangkatan). 
 
Setelah melakukan hal agak tidak penting (baca: pingsut), akhirnya kita memutuskan untuk memesan taksi. Waktu itu waktu masih menunjukkan pukul setengah empat. Dan setelah menghabiskan setengah jam menghubungi seluruh nomor telepon taksi yang ada di internet, 12 maskapai yang terhubung tidak ada yang dapat memberikan armadanya untuk kita tumpangi. HAHA DISITU UDAH MULAI PANIK. Waktu tempuh dari meeting point ke stasiun sebenarnya hanya setengah jam, namun persiapan tahun baru merubah segalanya. TAPI PANIKNYA MASIH KALEM. Oke, usaha untuk dapat kendaraan publik yang lebih enak gagal. Berjalanlah kita ke halte trans terdekat. Sampai disana dan bertanya soal jalur yang akan ditempuh, penjaga halte memberi tahu kalau rute ke stasiun sangat macet. Dan karena bus kota yang jalannya banyak berputarnya, dua jam adalah waktu tempuh yang dia perkirakan. HAHAHA PADAHAL UDAH MAU JAM 5. NTAR GIMANA SALAT NYA KALAU DI BIS DOANG DUA JAM. Oke, setelah perundingan singkat akhirnya kita memutuskan untuk mencari peruntungan di jalan. Mulai dari melambaikan tangan hingga agak kerenan dikit nyari info taksi yang bisa dipesan lewat Hp kita lakukan. 
 
CLING. Dengan seksama dalam waktu yang singkat sekali dari kejauhan terlihat taksi dengan lampu yang menyala. KEAJAIBAN LEWAT. Pak supir lupa matiin lampu kalau udah ada penumpang yang masuk. Maklum, taksi Jogja belum secanggih itu. Untungnya, kita termasuk golongan yang sabar. Kita masih dikasih rezeki dengan datangnya seorang bapak taksi tak lama setelah itu. Ndak perlu nunggu lama yang jelas. Ohya, karena padatnya volume kendaraan ke arah kota dan setelah berbincang sejenak dengan supir, beliau akhirnya hanya mengantar hingga ke spot paling dekat yang mampu dicapai taksi tanpa kemacetan yang berarti. Demi kebaikan semua pihak. Jadilah kita harus menempuh jarak sisa ke stasiun dengan berjalan kaki. Lumayan. Sekitar satu kilo sekalian dengan cari makan. Mana ada yang pake sweater dobelan berasa mau ke Jayawijaya lagi. Entah gimana perasaan si pemakai sweater menghadapi kenyataan dan keringat yang bercucuran. Dari sini perjalanan terasa tentram. Entah emang Jogja yang bikin nyaman, atau fakta bahwa jam setengah tujuh sudah ada di stasiun dan tinggal ishoma yang perlu kita lakukan. Kereta datang tepat waktu, dan pada 20.45 berangkatlah kita menuju Malang.
 
MALANG
 
Hari pertama di tahun 2k16. Kereta berada diantara Tulungagung dan Kediri seingatku saat suara terompet bergema dimana-mana. Posisiku adalah antara sadar ingin terjaga dan mabok ingin tidur. Hingga saat ini, aku tidak ingat berapa lama aku terjaga pada malam itu. Yang tersisa hanyalah ingatan bahwa kami berkenalan dengan sepasang pemuda/i dari UMY jurusan HI dan akuntansi yang akan berkelana juga ke Malang, kereta pada malam itu yang dingin, susu bawaan kami yang tumpah ke baju warna cerahku, dan perkelanaan kami ke gerbong-gerbong lain untuk sekedar meluruskan kaki dan mencari sensasi (baca: kalor. Karena kereta juga cukup dingin).
 
Dan sesampainya di Malang sembari menunggu jemputan tiba, adzan berkumandang. Pas enaknya. Salat dululah kita. Keluar dari stasiun, disambut dengan senyum ramah dari jemputan (INI SEBENERNYA GATAU DIRI SOALNYA MINTA TOLONG DIJEMPUT TEMEN TAPI MALAH TEMEN BAWA AYAHNYA HAHAHA). Berpisahlah rombongan (karena yang satu mau datang nikahan dan satu lainnya ada misi silaturahim dengan orang). Satu ke daerah Gajayana. Satu ke daerah lainnya. Ohya, satu kejadian menarik terjadi saat pisah rombongan. Sebut saja temanku ini Ija. Ayah Ija mengira jemputan yang satu lagi sudah datang, maka beranjaklah kita (rombongan nikahan) langsung dari stasiun daripada membuang waktu. TAPI. Kita harus merelakan satu teman menunggu sendirian di depan stasiun. Maksud hati nemenin nunggu, apa daya yang punya kuasa mobil terburu waktu. Hiks. Begitulah. Komunikasi memang penting dalam setiap laku dan pikir agar segalanya berjalan selaras.
 
Yosh. Setelah istirahat super singkat dan beberes, datanglah aku ke akad temanku ini. Bersama rombongan Ija yang menjemputku tentunya. Kita datang bertiga berstatus jomblo dengan gagahnya ke Masjid Cahyaning Ati namanya di perumahan Permata Jingga. Satu lagi adalah teman seperguruan Ija yang kebetulan adik tingkatku juga saat Aliyah. Sebut saja namanya Rafis. Yang menarik adalah, si Rafis merupakan adik teman seangkatanku, (sebut saja) Dzafhi. Kebetulan Dzafhi tidak hadir karena masih menempuh studi lanjut di negara Nordik. Poin utamanya, Dzafhi ini dulu sempat menaruh hati pada mempelai wanita saat Aliyah. BAH. Pun si Rafis ini tidak tahu menahu soal itu, jadilah aku sebagai pembawa berita (agen penghancur reputasi Dzafhi di keluarganya) dengan memberi tahu adiknya yaitu Rafis. Yang aku tahu, awalnya Rafis menggoda kakaknya lewat pesan pribadi karena kakaknya keduluan orang dalam bersegera. Entah jadi atau tidak rencana Rafis menggoda kakaknya di forum pesan virtual keluarga mereka HAHAHA. 
 
Akad berlangsung khidmat dengan beberapa insiden kecil. Yang paling terkenang di hati saya saat akad adalah ketika mempelai pria mengucap qabul. Ohya, sebut saja nama mempelai pria Danar. Berbekal informasi dari intel terpercaya, aku tahu kalau si Danar ini adalah hafidz (30 juz) yang sudah fasih berbahasa Arab. Namun. Saat. Mengucapkan. Qabul. Dengan. Bahasa. Arab. Beliau. Terlunta. RUKUN PERKAWINAN TERNYATA BISA BIKIN SEORANG HAFIDZ GEROGI COY HAHAHA. Perlu empat kali mengucap barulah Danar secara sah sudah tidak jomblo lagi. Selesai janji suci diucap, pengantin wanita maju dengan anggun (sambil menyempatkan melambaikan tangan ke arahku. Kayanya sengaja deh. Sambil menyiratkan kalau dia mau bilang, AKU DULUAN YAAAA). Tanda tangan buku nikah, pegang tangan mesra, tatap tatapan, diteruskan dengan standar operasional oleh petugas KUA. Selesailah acara pagi itu. Aku, Rafis, dan Ija kemudian pamit pulang setelah foto depan masjid yang cukup kece itu. 
 
Sampai di rumah pukul sepuluh lebih sedikit. Hampir sejam kugunakan untuk menggenapi tidur yang kurang di kereta semalam. Sementara Rafis dan Ija kembali mengerjakan suatu slide yang mereka harus presentasikan hari esoknya. Biasa, dokter memang kerjaannya ga pandang hari. Rafis dan Ija ini merupakan adik tingkat mempelai wanita di kampus. Sebangunku, jam menunjukkan pukul sebelas lebih sedikit. Aku linglung. Bingung membedakan antara dunia nyata dan alam mimpi. Aku memimpikan bermain dota melawan orang Thailand dan saat bangun aku merasa janggal dengan adanya backsound dari game yang sama kudengar. Ternyata adik Ija pelakunya. Dia sedang main dota serasa tanpa dosa. Padahal sebentar lagi Jumatan. Untung kelar sebelum ayahnya meriksa ke atas haha.
 
Selesainya Jumatan kita bertiga diajak makan ayah Ija sebelum ke kondangan. Ternyata ayah Ija juga akan menghadiri pesta ketidakjombloan Danar dan pasangannya juga. Usut punya usut, temanku ini bekerja pada rumah sakit yang sama dengan ayahnya Ija. Waktu itu pikirku agak percuma juga mau kondangan tapi kok makan dulu, tapi ternyata selalu ada pelajaran yang bisa diambil kalau kita bersyukur. Sewaktu acara berlangsung, waktu yang dipergunakan untuk makan terasa sayang jika dibandingkan percakapan yang terjadi dengan teman teman lama. Tahu kenapa? Karena pernikahan teman adalah ajang reuni kecil kecilan :D Dari jam satu kita datang hingga sekembalinya kita selepas ashar, hanya hidangan penutup yang aku santap demi sedikit lebih lama berbincang. 
 
Ohya, banyak hal menarik tentang teknis pesta pernikahan yang terjadi. Kebetulan pesta diadakan di samping kolam renang dengan tema outdoor. Dekorasi didominasi warna merah muda. Kolam dihiasi dengan nama dua mempelai yang dibuat seperti kapal. Backdrop sebagai foto latar yang berisi shoutout menarik. Panggung musik dengan MC super kece dan syar’i. Bingkisan pernikahan yang disisipi nasihat pernikahan dari Ibu mempelai wanita yang super sekali isinya (dijamin bikin pengen nikah cepet). DAN. Danar yang membacakan surat kesukaan mempelai wanita yaitu surat Maryam (karena hafidz jadi biasa lah ya. 98 ayat juga dijabanin). Nah disini menurut saya terjadi momen klimaks. Pesta yang sebelumnya riah diiringi alunan musik dan instrumen, seketika berubah syahdu oleh bacaan si Danar yang mengambil alih spotlight di panggung. Senang bukan kepalang rasanya menyaksikan momen-momen yang tak mampu diilustrasikan dengan kata seperti saat itu.
 
Acara berangsur sepi setelah makanan habis. Tapi kayanya bukan gara-gara itu. Acara memang diset untuk selesai kurang lebih bertepatan dengan adzan ashar berkumandang. Singkat. Padat. Bermakna. Salah sekian filosofi yang aku percaya. Cukup wah untuk menjamu tamu namun tidak berlebihan. Cukup panjang waktu yang digunakan namun tidak memotong waktu salat. Dan cukup berisi akan momen-momen penting namun tidak mengurangi kekhidmatan. Setelah berpamitan dengan semua yang kukenal, pulanglah aku ke rumah Ija untuk melanjutkan perjalanan karena barang yang masih kutinggal. Kebetulan Ija dan Rafis sekalian pulang ke Jakarta via Surabaya jadi aku masih bersama mereka hingga meeting point jalan-jalan yang beneran haha.
 
Disepakati, waktu kumpul adalah maghrib sekalian salat di rumah mempelai wanita. Aji dan Rafis yang memiliki tiket pesawat  dari Juanda pukul Sembilan berangkat dari Malang pukul lima untuk menghindari kemacetan. Ikutlah aku dengan mereka karena kebetulan arah ke rumah mempelai sejalan. Yak, transportasi aman pikirku. Toh kalaupun macet masih banyak spare waktu sampai maghrib jadi bisa lah tepat waktu. Ternyata. MACET PARAH. Bukan macet biasa. Jalan arteri utama Malang-Surabaya penuh mulai dari dalam kota. Agaknya aku lupa mempertimbangkan faktor tahun baru. DAN ADA DRAMA YANG TERJADI. 
 
Untuk ke rumah Itha si mempelai, mobil harus putar arah sedikit untuk kemudian masuk gang dimana rumah Itha berada. Aku sudah melewati gang itu pukul 17.20. Hanya tinggal menanti putar balik. TAPI. SETENGAH JAM BERLALU DAN SEMUA PUTER BALIK DITUTUP KARENA MACET HAHAHA. Padahal sudah maju sekitar tiga kilo. Daripada mobil berputar arah dan Ija Rafis ketinggalan pesawat, akhirnya waktu itu kuputuskan untuk turun dan mencari angkot balik karena sambil menunggu aku lihat banyak angkot lewat tadi saat macet. Kulihat jam menunjukkan 17.50. Sudah maghrib. Lumayan paniknya saat udah jalan seratusan meter tapi angkot yang diidam idam dari tadi tak kunjung tiba. Sambil berharap, aku memutuskan untuk melanjutkan langkah cepat karena takut tertinggal rombongan yang sudah menanti. Jalan lah. Sabar. Terus. Sambil mengecek telepon akan banyak pesan kekhawatiran teman dan rombongan. Akhirnya. Tanpa sadar, tiga kilo terlewat sampai gang depan rumah si Itha. Untung saat itu ada senyum teman yang sudah sabar nunggu. Kalau ndak, keringat yang mengucur dengan mudah berbuah kerut sinis di muka. DAN. BERANGKATLAH KITA KE IJEN. WOOHOO. Dengan mobil HiAce berkapasitas 16 orang, dan supir yang bertampang soleh, serta si Itha yang melepas kami, aman dan tentram sudah perasaan campur aduk karena jalan kaki barusan.
 
BONDOWOSO
 
Sebagai intermezzo, berikut adalah perkenalan singkat gerombolan yang akan menghabiskan weekend pertama di tahun 2k16 ini bersama-sama (urut dari kursi duduk): Cepec si ustadz agung Kempek yang gabisa bilang P, Kipri si engineer daerah yang nyasar jadi pegawai bank, dan mas supir soleh yang menjelma dalam bentuk mirip Pandji Pragiwaksono. Espa si wanita tangguh ketua perjalanan, Haidy teman sekantor Espa yang mungil, dan Nnardi wanita yang katanya paling muda (katanya N nya dua emang karena dulu ngetik di akte gitu, mungkin petugasnya latah dan lelah). Lanjut dengan Nunha yang membuat mobil sedikit miring ke kiri, Rupit yang rumah Jembernya kita singgahi nanti, dan Alit wanita karir metropolitan Jakarta. Lalu ada Amay wanita penuh kasih bendum (bendahara umum) perjalanan, Mita sang penakluk rimba, dan Noma wanita kecil yang memiliki jiwa petualangan yang besar. Baris kedua terakhir diisi Aghin satu satunya tenaga medis yang dapat diandalkan, Nafri yang dulunya imam masjid masyhur, dan slot kosong untuk barang. Yang cukup beruntung berada pada kursi panas adalah aku sebagai tim hore dan haru, Naafan juragan internet Jawa Tengah, dan Rafi yang hingga kini belom bisa move on dari kekasihnya. Ohya, Nnardi, Haidy, Rupit, dan Alit merupakan anggota gerombolan yang tidak kami kenal sebelumnya (karena ini semacam mini reuni) sekaligus pemanis perjalanan kali ini.
 
Enam Pejantan. Sepuluh Perawan. Tiga Mahasiswa. Tiga belas pekerja.
 
Untuk menuju Ijen, sebenarnya ada dua jalur yang dapat ditempuh. Yaitu melewati Bondowoso dan Banyuwangi. Karena kebetulan kita dari arah barat, maka jalur dari Bondowoso lah yang kita tempuh. Mulai mobil keluar Malang pukul setengah delapan, sebenarnya hampir semua isi mobil dalam keadaan terlelap. Sekitar pukul sebelas, mobil berhenti sejenak untuk isi dan lepas muatan. Isi untuk bensin, lepas untuk buang air kecil. Hal ini dilakukan karena jalanan menuju Ijen yang tidak mungkin dilakukannya isi dan lepas muatan dengan nyaman. Tidak sampai setengah jam berhenti, perjalanan dilanjutkan. Dan tidak lama pula setelah itu keterlelapan melanda hampir seisi mobil.
 
Mulai memasuki setengah satu hingga sejam berikutnya mobil dilanda guncangan hebat. Bukan badai atau taufan penyebabnya. Namun jalanan menanjak menuju pos pendakian Ijen adalah biang keladinya. Lima hingga enam orang pun tidak mampu melanjutkan nikmatnya tidur, termasuk aku. Ternyata jalanan naik masih diakrabi oleh lubang-lubang durjana yang ukurannya besar. Tak cuma satu dua. Hampir tiap belokan ada. Untuk orang yang mendapat jatah duduk di mobil paling belakang lah yang paling kena imbasnya. Waktu itu orang yang beruntung adalah aku, Naafan, dan Rafi. Hanya kami bertiga baris yang semua personilnya membuka mata dan cukup tangguh menghadapi guncangan yang nyata.
 
Setengah dua pun tiba. Mobil pun akhirnya menemukan tempat peristirahatannya. Akhirnya dia bisa beristirahat sejenak setelah ratusan kilo berjalan. Kami ber 16 pun bersiap dengan pakaian tebal, konsumsi, dan penerangan secukupnya. Agak cukup disayangkan seluruh toilet yang ada pada waktu itu harus antri banyak atau dalam keadaan sudah tidak proposional untuk digunakan. Akhirnya setengah jam lebih kami gunakan untuk mencari semak dan tempat persembunyian lainnya untuk bongkar muatan yang sudah tidak berguna. 02.15 kami mulai berdoa dan setelah itu segera memulai perjalanan. 
 
Dengan kondisi gelap gulita, malam itu bintang bersinar dengan cerahnya. Untung bulan sedang tidak dalam fase diatas langit waktu itu yang mengganggu bintang. Bekas awan musim hujan pun enggan untuk muncul. Malu sepertinya dengan indahnya para bintang. Dimotivasi oleh cantiknya angkasa pada malam itu, semua anggota rombongan berjalan riang dengan mantap kecuali Nunha dan Nnardi yang sedikit kurang termotivasi walaupun sudah dijejali perbekalan. Apalagi nama terakhir. Dorongan, tarikan, serta gandengan dari Noma dan anggota rombongan lain ternyata belum mampu membuat langkah Nnardi lebih ringan. Belaian angin dan gantengnya para punggawa rombongan sepertinya membuat Nnardi terbuai. Hingga cerita mendaki ini selesai dua jam kemudian, Nnardi merupakan highlight perjalanan naik. 
 
Yep. Dua jam sudah lelah berjalan akhirnya peluh yang kami keluarkan mulai menampakkan hasilnya. Diwarnai dengan banyak pit stop untuk menanti Nnardi, iklan sponsor, dan episode filler kartun masa kecil selama naik, estimasi waktu tempuh dua jam ternyata berhasil dicapai. Ternyata segala kekhawatiran akan kemampuan fisik beberapa anggota rombongan tidak bermasalah. Justru perjalanan menjadi menarik dan tidak tergesa dengan adanya mereka. Kalau tidak ada mereka, mungkin senandung-senandung lagu masa kecil tidak akan keluar dan tidak ada cerita yang bisa dibawa setelah turun. 
 
Dan. Akhirnya. Kita sampai di ujung perjalanan saat waktu menunjukkan pukul 04.15. Yeay! Ujung disini adalah titik dimana para pendaki dapat memeilih leyeh-leyeh atau meneruskan melihat api biru yang tersaji lebih dekat. Mencium aroma sulfur lebih dekat. Dan merasakan hangatnya kawah yang terbakar. Karena kondisi api biru yang menyala kecil waktu itu, hanya Espa, Rupit, Haidy, dan Alit yang memutuskan untuk terjun lebih dalam melihat. Sisanya? Bercengkerama dan menanti kepulangan empat wanita yang turun sembari mempersiapkan alat rekam untuk mengabadikan mentari yang akan naik.
 
Pukul 05.05 rombongan kembali bersatu. Sebelum matahari naik, kita salat jamaah dalam keadaan super. Super sekali bahkan. Ketiadaan air bersih membuat kita bertayammum, lalu kondisi tempat wisata yang tidak menyediakan tempat salat membuat kita menggelar jaket yang kita gunakan sebagai alas untuk bersujud. Daaaaan. Karena namanya juga gunung, tempat salat yang kita pilih punya kemiringan yang cukup lumayan untuk dapat menimbulkan encok kalau duduk diantara dua sujud HAHAHAHA. Aku sangat yakin 30 derajat ada. DAN SAAT SALAT ADA KEJADIAN LUCU TERJADI. Bayangkan. Duduk diantara dua sujud saja sudah rawan cidera karena menahan sakit, apalagi duduk tahiyat. SALAH SEORANG ANGGOTA ROMBONGAN MEMUTUSKAN UNTUK DUDUK TAHIYAT SECARA SEMPURNA SEMENTARA YANG LAIN TERPAKSA MEMPOSISIKAN UNTUK DUDUK SEPERTI DUDUK DIANTARA DUA SUJUD. 
 
Sambil menahan lara, duka, dan kejangnya otot yang menumpu karena kemiringan, si pelaku melanjutkan menyelesaikan bacaan salat. HAHAHAHA. SUNGGUH MERANA. Kemudian setelah salam, anggota rombongan yang duduk sempurna tersebut merintih kesakitan sambil berguling di tanah disusul dengan gelak tawa penuh keceriaan anggota yang lain (nama anggota dirahasiakan untuk tetap menjaga nama baik ybs). Dan kejadian tersebut menjadi topik hangat pembicaraan selanjutnya. Hingga langit menampakkan pantulan cahaya mentari yang akan tiba. Untung saja mentari tahu kalau seorang manusia di ujung Ijen sana butuh pengalih perhatian. Agenda peristirahatan kami usai ketika jam menunjukkan pukul 06.00. Segenap pasukan Tour The East siap turun mengguncang kendaraan lagi.
 
Mengikuti rumus waktu mendaki-turun pada umumnya, waktu yang kita gunakan untuk turun adalah setengah dari waktu yang digunakan untuk naik. Jam tujuh semua rombongan sudah berkumpul di dekat tempat peristirahatan mobil yang digunakan. Tidak ada lagi kejadian banyaknya pitstop. Tidak ada lagi kisah tunggu tungguan. Bahkan Nnardi yang tadinya paling susah naik, urusan turun dia juaranya. Juara dua tapi. OHYA, KEMUDIAN ADA KEJADIAN SERU TERJADI LAGI. Saat sang sopir akan atret mobil memutar arah, ban belakang tersangkut di selokan. Niat sang sopir bagus sebenarnya, sekalian ngencengin atret biar tenaganya cukup buat naik di jeglongan. Namun apa dikata, kondisi tanah yang basah karena habis hujan membuat kegemparan sempat muncul di parkiran mobil waktu itu. Supir kol, angkot, mobil, penjual makanan, minuman, sampai cindera mata berkumpul karena mobil kami terperosok di got.
 
Sempat sekitar lima belas menit sang sopir budiman nan rupawan yang kami sewa berusaha keras mengeluarkan mobil dari got namun tak ada hasil berarti. Tukang parkir pun tak mampu berpikir dan berbuat banyak. Hingga seorang malaikat datang dengan menyarankan untuk meminta supir truk menarik mobil disertai dengan pembangunan jembatan dari batang kayu besar sebagai landasan agar ban mobil tidak bergesekan dengan tanah encer. Bagi tugaslah kita. Sang sopir menuju sopir truk. Para pejantan yang ada di mobil difungsikan untuk angkat-angkat kayu balok dan besar dari ujung lapangan tempat parkir. Setelah semua balok dipasang sedemikian rupa dan truk sudah siap menarik HiAce kami, eksekusi penyelamatan pun dilakukan. Syukur kami ucapkan karena prosesi berjalan lancar dan mobil pun dapat memutar.
 
TAPI MASALAH TIDAK BERHENTI SAMPAI DISITU. Setelah meminggirkan mobil, ternyata sang sopir masih melakukan cek ulang dengan tukang parkir tentang rute yang akan kita tempuh menuju Banyuwangi. Beranjaklah supir dari tempat duduknya keluar. Tak lama setelah itu dengan wajah sedikit nyengir, dia berkata kepada kita “mbak, ternyata tadi ndak usah diputer balik mobilnya. Kata tukang parkirnya jauh lebih deket kalau lewat sana (sambil nunjuk belakang mobil).” HAHAHA. TERUS TADI CAPEK MUTER BALIK SAMPAI KEPEROSOK SEGALA NGAPAIN. Ternyata semua ada hikmahnya. Konstruksi batang sebagai jembatan yang kita tadi bisa dianggap sebagai amal jariyah yang pahalanya terus ngalir selama ada orang yang lewat selokan tempat kita terperosok tadi. Dan itu kali kedua konstruksi yang kita bangun terpakai. Oleh kita lagi. Semoga manfaat aja lah ya hahaha. Off we go to Banyuwangi!
 
BANYUWANGI
 
Ohya, lupa menambahi. Kondisi kamar mandi saat kita turun adalah kehabisan air. Saat masuk mobil, kondisi kita adalah penuh keringat yang sudah kering menempel kulit. Jika ada personil yang tadinya kebelet pipis, semak adalah tempat bersemayamnya air yang keluar dan tissue basah adalah sebaik-baik pengganti air yang mampu kita pergunakan. Jadilah kita memutuskan untuk mencari masjid seketemunya saat sudah melewati jalan turun gunung berkelok yang (ternyata) juga penuh lubang. Jalan yang kita tempuh adalah jalan kendaraan yang berasal dari Banyuwangi menuju ke Ijen.
 
Selama perjalanan ke Pantai Banyuwangi, yang aku ingat hanya dua hal. Satu adalah betapa bahagia nya kita saat menemukan masjid karena kita dapat membasuh muka, gosok gigi, dan mengganti pakaian yang berkeringat. Dan dua adalah saat waktu menunjukkan pukul sepuluh untuk sarapan pagi. Sarapan jam sepuluh. Sepuluh. Sarapan apa makan siang haha. Untung kemarin sekeluarnya kita dari rumah Ija aku dibekali keripik tempe Malang yang terkenal itu satu kardus. Tercukupilah kebutuhan manusia-manusia yang jam makannya teratur (terutama pejantan di kursi panas belakang) untuk mengganjal perut. Hanya dua yang teringat karena hanya dua kali itu aku benar-benar bangun karena lelah mendaki haha.
 
Setelah matahari berada pada posisi klimaksnya, panasnya Banyuwangi membangunkan kami di mobil. Dari daerah kabupaten yang menunjukkan arah pantai, dapat kami temui buah naga bersemai dan dijajakan oleh masyarakat lokal. Karena penjualan buah naga yang semena-mena ini, sempat beberapa kali perjalanan terhambat karena jalan menuju dan ke pantai hanya muat untuk dua mobil pas. Dan untuk membeli buah naga mobil tidak ada lahan parkir. Jadilah banyak kendaraan harus bergantian untuk dapat melewati spot-spot penjualan buah naga. Untungnya tidak sampai sejam dari jalan kecil tersebut sampailah kita ke pusat pantai Banyuwangi.
 
Sesampainya di tempat persemayaman mobil, kami memutuskan untuk menggabungkan salat di awal agar nyaman bermain hingga sore. Waktu itu sekitar setengah pukul satu siang. Dengan bermodalkan sunblock hasil ancaman ibu ketua perjalanan, stok tabir surya yang kami punya melimpah ruah karena banyak yang membeli botol baru. Ohya saat kami salat, personil yang sedang tidak bertugas lapor beralih mengurus kapal yang akan kami gunakan untuk menyeberang. Menggunakan kapal karena pantai Wedi Ireng yang kita tuju terletak agak jauh dan kalau harus renang manual bisa sejam sendiri sepertinya. Satu kapal bisa diisi delapan orang. Kami pesan dua kapal. Yang menarik dari perjalanan kali ini adalah si Cepec tidak membawa sandal. Dan dia mengeluh kepanasan berjalan menyusur bibir pantai mendekat ke kapal. Setelah aku coba, ternyata pasir pantai panas juga ya. HAHA. Akhirnya belilah dia sepasang sandal di toko kelonton sebelah spbu pinggir pantai.
 
Kapal yang dinanti pun datang. Rombongan pun dibagi dua. Aku memilih kapal yang dengan kamera paling bagus dan yang kira-kira hasil fotonya lebih banyak. Yang menarik perhatianku selama perjalanan adalah pulau kecil yang agak menjorok ke laut dan kami lewati di tengah perjalanan menuju Wedi Ireng. Tempat ini dijadikan penduduk lokal sebagai hotspot untuk memancing karena di sekitarnya merupakan laut yang agak dalam. Ohya, tidak seperti banyak pebisnis kapal di pantai lainnya entah kenapa mas-mas yang menjajakan jasa kapal penyeberangan yang kami gunakan tidak terlalu hitam. Hitam dalam artian legam. Ini berdasarkan pengamatan saya di Lombok, Kuta, Jepara, dan Semarang sih. Mungkin kurang valid. Tapi serius. Mas-mas yang kami pakai jasanya masih tergolong “putih” untuk ukuran orang pantai.
 
Tidak sampai setengah jam, sampai lah kami ke pantai Wedi Ireng. Pantai nya jernih. Pasirnya bersih. Kalau mau sedikit masuk ke rerimbaan, bisa kita temui tanaman yang masih belum terjamah manusia. Jadi aku urungkan niat untuk bermain lebih masuk ke daratan. Bagusnya pantai ini lagi adalah formasi laut yang menjorok ke dalam dan ada semacam karang yang sedikit menutupi aliran air dari laut Jawa. Laut yang menjorok memungkinkan area renang yang luas dan karang memungkinkan ombak dibelokkan ke arah pantai sehingga sering kita jumpai ombak yang tidak terkontrol kuatnya. Tapi malah jadi seru! Ohya, di pinggir pantai ada bisnis lokal penyewaan alat diving dan boardsurfing. Naafan dan Kipri yang sangat excited dengan jernihnya pantai menyewa alat diving sederhana dan board untuk dapat menikmati koral yang terletak agak jauh dari bibir pantai. 
 
Tidak seperti yang lainnya yang menghabiskan senja di Wedi Ireng dengan berenang dan bermain air, aku termasuk golongan yang lebih memilih untuk bermain kartu HAHAHA. Jauh jauh ke Banyuwangi cuman buat mainan kartu. Kebetulan permainan yang dimainkan adalah permainan hati. Dan para pecinta hati diseluruh dunia tentu ingin unjuk kebolehan. Ternyata rombongan kami waktu itu kelebihan kuota main pemain hati sampai harus ada yang mengantri satu game hanya untuk bermain. Keasikan bermain, aku dan teman temanpun ditegur oleh sang ketua rombongan. Tiga puluh menit waktu spare untuk kami memuaskan diri bermain katanya. Langsunglah aku berlari ke laut. Menikmati pantai yang jernih itu sembari membentangkan badan ke atas. Menikmati surga dunia berupa kesantaian selagi bisa.
 
Yang perlu dicatat dari pantai ini adalah: Pantai ini banyak memakan korban luka. Saking masih jarangnya dijangkau manusia, bebatuan yang ada di bawah masih sangat tajam. Sedikit saja tidak hati-hati dalam memilih pijakan, sayatan sayatan di telapak kaki sudah mesti jadi jaminan. Apalagi yang tidak berhati-hati sama sekali seperti aku HAHAHA. Selain luka sayat di telapak, jari kelingkingku robek sekitar satu senti kedalam karena dengan ceroboh menyelam. Naafan, Kipri, dan Cepec adalah tiga korban gesek lainnya.
 
Jam empat kembali dari Wedi Ireng, kami beberes menuju kediaman Rupit. Kondisinya adalah, hanya ada dua spot pemandian umum disitu dan antrinya cukup banyak. Segeralah sebagian besar kami berhamburan untuk mengantri mandi. Dengan kaki yang sedikit tersayat, aku tak mampu bergerak blangsatan seperti mereka bergerilya mencari tempat untuk mandi. Untungnya, Nnardi memeiliki ide untuk mencari masjid yang ada kamar mandinya. Ikutlah saya berharap bisa mandi sedikit lebih lama daripada digedor orang di spot pemandian umum. Ternyata setelah menemukan masjid, kamar mandinya digembok. Akhirnya kami memutuskan untuk memutus urat malu meminta warga sekita untuk numpang kamar mandi. DAN DAPAT DI PERCOBAAN PERTAMA. Senang! Ternyata asal meminta tolong dengan tulus banyak yang mau membantu :D Dan usut punya usut Bapak dan Ibu yang kami tumpangi ternyata merupakan penduduk asli daerah sekitar. Anaknya tiga. Satu merantau ke Jawa Tengah. Satu punya rumah di seberang jalan, satunya lagi masih jomblo dan punya warung di dekat pantai.
 
Setelah selesai bebersih, kembalilah kami ke rombongan. Sama sekali aku tidak menyesal telah memutuskan untuk tidak mandi di spot pemandian umum. Dengan bantuan Aghin, lukaku ditutup dan diikat dengan selotip yang menempel pada rambut kaki. Iya yang kalau dicabut sakit itu. Kadang kita harus mau repot sendiri biar hasilnya sesuai dengan yang kita mau wkwk. Tak lama setelah itu, lanjutlah perjalanan kami ke Jember. Start dari Banyuwangi jam lima.
 
JEMBER
 
Seperti biasanya, aku tidur ketika kelelahan. Dan momen aku bangun mobil sudah sampai di tempat makan. Semacam pondokan dengan banyak tempat lesehan. Waktu itu sedikit hujan. Kamar mandi rumah makan ini ukurannya cukup besar. Tapi cuman satu. Seingatku aku makan nasi goreng. Ternyata ada udangnya. Untung stok anti histamine lengkap. Sikat. Pukul setengah sepuluh kita selesai makan. Pak supir yang kedinginan pesan sop iga. Rokok yang kubeli waktu menunggu mandi di Banyuwangi tadi kuberikan padanya. Dan tidak sampai setengah jam kemudian sampailah kita di rumah Rupit.
 
Sampai tempat peristirahatan, Rupit menawarkan pilihan pada kita. Ada dua kamar di lantai atas dalam rumah dan dua kamar di lantai bawah luar rumah utama. Saat itu juga Noma secara intuitif berseru para punggawa wanita di lantai atas. Padahal belum survey tempat. Banyak dari kita tak heran dengan kelakuannya. Tapi sudahlah, mungkin dia lelah. Tau kenikmatan yang sebagian dari kita suarakan malam itu? BISA TIDUR HORIZONTAL. Setelah hampir 48 jam tak mampu merebahkan badan diatas empuknya Kasur, HERE WE ARE. SELONJOR. BISA PELUK GULING. NGULET NGULET SEKENANYA. Hehe
 
Taroh barang, bruk bruk bruk. Kamar mandi dalam dalam langsung terisi. Tak lama kemudian kudengar suara Noma berbincang dan masuk melihat kamar kami. Dia melongo seraya berkata, KOK KAMAR KALIAN ENAK SIIH. BISA DITARIK KASUR BAWAHNYA. Lah, emang diatas ngga? timpalku. Dia menggeleng sambil meronta. Sepertinya butuh air. Yaudah tuker aja Nom kalau gitu. Senyum merekah dari bibirnya. YOOOOOOOOK, jawabnya tanpa pikir panjang. Setelah prosesi transfer panjang (karena udah bruk bruk in barang dan banyak yang pewe karena teler), kumarahin lah dia. Ndak lagi dibiasain memutuskan sesuatu tanpa liat kondisi lapangan nya dan cuman nurutin ego. 
 
Beres transfer, aku langsung menuju dapur. Spot favorit sepanjang masa. Ohya, kondisi rumah Rupit saat itu adalah kosong. Orang tuanya yang dulu bekerja sebagai pahlawan di Jember kini bermukim di ibukota karena dipindah tugaskan di Dikti. Hanya kakak Rupit dan seorang penunggu rumah yang waktu itu ada. Terus karena Rupit bilang anggap saja rumah sendiri, tentulah sebagai tamu dan raja kutunaikan titahnya HAHAHA. Waktu itu ada semangka dan beberapa cemilan yang tersisa di kulkas, (SEBAGAI TAMU YANG BAIK DAN DEMI MENURUTI MAKLUMAT EMPUNYA RUMAH) langsunglah cemilan kutaruh di meja depan tipi tempat anak-anak mengisi ulang baterai telepon dan kongkow kongkow singkat sebelum tidur. Waktu itu malam minggu aku ingat. Ada Liverpool lawan Chelsea. Kakaknya Rupit juga memberi kami pia dan klitikan yang ia punya dari kamarnya waktu itu.
 
Sebelum tidur, kami berusaha mengeksploitasi semua fasilitas yang ada di rumah Rupit sebelum kembali berhadapan dengan gersangnya fasilitas selama perjalanan. Mesin cuci kita kuasai untuk sekedar membilas pakaian kami yang berpasir. Kulkas kita kosongi. Jemuran dan bahkan pegangan tangga kita penuhi baju kita. Air panas kita pakai maksimal. Semua sofa pewe kita singgahi bagi yang tidurnya ndak mau dusel duselan di kamar. Mantap lah pokoknya. Ohya, sempat ada kegaduhan kecil saat kita menggunakan mesin cuci. Karena mesin cuci otomatis, sekali cycle pemakaian butuh waktu sekitar 45-60 menit. Kondisinya udah pada ngantuk. Biar efisien digabungin semuanya. Yang mau bilas cucian berpasir ada jantan ada perawan. Para perawan sempat khawatir (dan insecure) dengan beberapa jenis pakaian yang mereka masukkan kalau nanti dilihat para lelaki garang katanya. LAH GITU DOANG. Akhirnya aku bilang kalau sudah selesai proses, para wanita bisa ambil pakaiannya duluan. Gitu aja kok dipermasalahkan HAHAHA.
 
Sambil menunggu beberapa dari kami yang membilas pakaian kami berkumpul di depan tipi. Ada juga sebagian yang sudah terlelap macam Nnardi, Haidy, Nunha, Aghin dan Kipri. Waktu itu ada titah dari sang ketua perjalanan Espa untuk menyiapkan diri pukul lima esok hari. Siap kata kami. Belum sampai setengah jalan menunggu cucian, habis sudah makanan. Akhirnya kami hanya bisa menatap tipi dan berbincang sekenanya. Sekenanya otak mampu mencerna. 
 
Setelah beberapa saat, berbunyilah si mecin cuci. Bagai menunggu orang hamil lahiran, para wanita berhamburan ke ruang cuci. Segera mempersenjatai pakaian mereka untuk digantung. Kasian ya ndak salah apa apa tapi kok dihukum :( gantung pula :( Setelah itu para wanita langsung ngacir ke kamar. Menyisakan aku, Alit, dan Cepec di ruang tengah. Alit sibuk menelepon dari awal dia menaruh pantatnya di sofa dan belum selesai hingga sekarang. Cepec sibuk mengganti channel tipi. Aku sibuk mencari informasi tentang tempat yang akan kita datangi esok hari di portal daring. 
 
Setelah berbagai kata kunci yang aku gunakan sebagai senjata, ternyata destinasi esok hari adalah spot air terjun. Dan kita akan melakukan semacam susur kali dulu. Hal menarik yang aku temukan di internet adalah, PREMAN. Tiap laman dan kata kunci Madakaripura kulayangkan, ada satu kata di setiap laman yang muncul: PREMAN. Langsunglah Cepec kupanggil. Kita temukan bahwa mulai dari parkir, portal masuk desa wisata, masuk tempat wisata, sepanjang pinggir susur, hingga lokasi foto air terjun sungai banyak preman yang berjaga. Semacam jurit alam, sudah diatur posnya. Lalu asiklah kita berdua mendiskusikan strategi esok hari agar terhindar dari godaan preman yang terkutuk. Hingga Cepec tidur duluan. Ternyata dari tadi dia depan tipi pengen tidur situ. Akupun pergi ke lantai atas. Zzz
 
Tiga januari. Di pagi pukul setengah lima aku bangun. Ada Rafi dan Cepec yang juga sudah terjaga kala itu. Kuajak mereka segera menunaikan tugas bersama. Namun karena panggilan alam darurat, Cepec kita tinggal. Kulihat Nafri dan Kipri masih nyenyak dengan tidurnya, aku jadi ingat jaman dulu. Jaman saat mereka berdua sempat menjadi buah bibir karena hal ini. Dan sempat membuat kredibilitas Nafri sebagai imam masjid masyhur sempat dipertanyakan. Kemudian hape Nafri bergetar disampingku. Ada tulisan ayah Kipri kulihat. Aku baru ingat, sudah sejak Aliyah orang tua mereka bersahabat erat. Hingga sekarang, sering bahkan orang tua Kipri menghubungi Nafri terlebih dahulu untuk menanyakan kabar (Itupun kabar Nafri HAHA) daripada langsung ke anaknya. Pun sebaliknya. Mesra sekali memang mereka berdua. 
 
PROBOLINGGO
 
Jam menunjukkan pukul lima. Sebagian besaar dari kami sudah siap dengan logistik masing-masing di ruang tengah. Hanya Kipri dan Nafri yang masih memeluk guling mereka di kamar. Seketika itu pula aku mendengar sedikit teriakan dariruang belakang. Ternyata itu Rupit. Dia kaget ada pakaian dalam lelaki yang masih bersisa di mesin cucinya. Masih berpasir pula. Lima belas menit kemudian baru terungkap misteri kepemilikan kolor misterius tersebut. Nafri dengan santainya turun setelah salat dan mengambil barangnya dengan muka tanpa dosa. Setelah diskusi singkat, akhirnya diputuskan bahwa sarapan akan dilaksanakan nanti di dekat tujuan. Dan sambil menunggu beberapa yang masih beberes, banyak yang menginvasi halaman rumah Rupit yang juga ditumbumbuhi berbagai tanaman. Lima lebih setengah jam, berangkatlah kita.
 
Udara pagi itu sejuk. Kondisi langit cerah. Keadaan terjaga yang aku alami karena nyenyak tidur semalam membuatku yang disiplin sarapan sudah mencak-mencak dari jam tujuh pagi. Dari mencoba usaha mencari tempat makan melalui aplikasi daring hingga mengamati jalan dengan teliti kulakukan. Mana tidak ada camilan untuk pengganjal pula haha. Rewel sekali aku rupanya. Setelah dua jam, mobil berhenti di sebuah warung makan pinggir jalan yang menjajakan rawon sebagai menu utama yang diiklankan besar di banner depan. Soto, Rawon, prasmanan, telur ceplok, dan sayur merupakan menu yang menghiasi meja kami pagi itu. Lega sekali rasanya. Akhirnya setelah sempat menanti. Menyamakan jam biologis apalagi dengan orang sebanyak itu merupakan pelajarannya.
 
Tak lama setelah sarapan, kami sampai di Madakaripura. Seturunnya dari bis, mulailah aku dan Cepec mengecek dan berdiskusi dengan para lelaki lain. Menerangkan kepada khalayak apa yang kita temukan di internet tadi malam. Ternyata benar. Yang kami lihat dan alami waktu itu adalah banyak oknum yang dengan seenaknya mengguyur begitu saja kendaraan pribadi orang agar kelihatan basah. Ketika orang yang punya kembali, biaya parkir PLUS biaya cuci lah dikenakan. Kemudian tak jauh kami berjalan, ada lagi segerombolan oknum mencegat kami. Kata mereka menelurusi sungai berbahaya karena licin. Oleh karena itu harus ada guide yang mendampingi kalau terjadi apa-apa. Sudah begitu memaksa pula. Akhirnya kutanggapi dengan kita baik baik saja tanpa mereka. Dan begitu saja kami meninggalkan para oknum illegal tersebut. Tak lupa kutitipkan pesan pada supir untuk mengawasi mobil.
 
Setelah berpose bersama di landmark Madakariura, kami pun menyusuri sungai. Jalan untuk menuju air terjun ternyata hanya ada satu. Setapak kecil yang dapat dilalui hanya cukup untuk dua orang, arah menuju dan arah kembali. Disepanjang jalan yang agak lebar terdapat pit stop untuk sekedar ngopi dan makan gorengan. Namun dengan isi tangki kami yang masih penuh, kami teguh untuk tidak berhenti hingga tujuan kami sambangi. Mulai memasuki 300 meter menuju air terjun, kondisi jalan yang harus kami lalui banyak berubah. Dari setapak dan jembatan artifisial yang nyaman untuk dipijak berubah menjadi tengah sungai berbatudan pinggiran yang tidak memiliki koefisien gesek tinggi. 
 
Kami pun kebasahan karena daerah itu merupakan daerah rembesan dan transit air dari atas yang mengalir deras. Beberapa dari kami ada yang menggunakan jas hujan sekali pakai. Ada pula yang sengaja basah-basahan dengan kaos. Ada pula yang nekat hanya menggunakan jaket untuk menahan dinginnya air dan sensasi kesegaran yang dibawanya. Hampir sejam kami menikmati tempat persinggahan terakhir dalam perjalanan kali ini. Muka muka muram dan slentingan tentang pekerjaan esok hari mulai keluar lagi saat itu. Begitulah waktu. Tak membiarkan manusia untuk seenaknya berlalu. Namun bagi mereka yang tahu, waktu adalah senjata utama untuk terus melaju.
 
Setelah menghabiskan memori banyak kamera yang kami bawa, tepat pukul dua belas menandai akhir perjalanan kami dengan arahan dari Espa sang ketua perjalanan. Tinggal Kipri dan Rafi yang masih nyemplung di muara yang dibentuk oleh tetesan air waktu itu. Menunggu lima menit, meluncurlah kita kembali. Dalam perjalanan kembali, rombongan kita banyak yang terpisah. Ada yang tergoda ngopi. Ada yang terburu-buru ingin ganti baju karena basah. Ada juga yang tergoda dengan aroma pisang goreng yang baru matang. 
 
Aku, Nafri, Rafi, dam Amay kebetulan menjadi satu kelompok waktu itu. Kami masuk dalam golonngan rentan aroma pisang. Setelah berhenti sejenak dan meneruskan perjalanan pulang, ada percakapan lucu (meski agak kurang sopan) terjadi waktu itu. Rafi yang masih menyisakan pisang dan makan berdiri ditegur oleh Nafri yang kebetulan sedang kuat iman. Sebagai bentuk penyesalan, Rafi pun meminta maaf. Namun entah kenapa dia secara tersirat Rafi menyinggung kalau dia berurusan dengan batang masih sopan. Tidak seperti Nafri yang dibiarkan terbuka dan bisa saja terbang kemana mana. Kami para pejantan pun sontak tertawa bersamaan. Tak heran memang predikat paling tidak senonoh diberikan kepada Rafi oleh teman-temannya semasa Aliyah dulu. Ternyata Amay mendengar celoteh kita. Sebagai wanita yang santun perangainya, Nafripun mengatai Rafi yang telah memulai ketidaksopanan yang terjadi seraya meminta maaf kepada Amay. Masalah ini memang Rafi juaranya hahaha.
 
Kembalinya kita ke kendaraan menandai berakhirnya pula rencana yang sudah kita jalani meski dengan perencanaan yang terhimpit waktu. Selesai sudah agenda liburan tiga hari yang singkat namun sarat akan benih persahabatan dan makna kehidupan. Senang rasanya rencana padat nan ringkas yang kita susun dengan banyak batasan ini dapat terjalani tanpa kendala yang berarti. Sampai jumpa lain waktu lagi kawan! Kalaulah ada kesempatan datang, boleh kita berkumpul lagi.
 
Sekian dan terimakasih telah menyimak. Ohya, foto menyusul! :)


Disclaimer:
Nama makhluk yang digunakan dalam cerita ini disamarkan demi kebaikan ummat manusia. Kalau ada cerita dan impresi yang kurang berkenan, itu hanyalah eksagerasi penulis semata dalam mengekspresikan apa yang dirasa. Jadi mohon dimaklumi ya. Hehe

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Ayah yang Khawatir

Menurutku, semakin kita bertambah dewasa, beberapa istilah yang kita kenal dari kecil akan berubah perwujudan konkretnya di kepala, antara melebar dan mendalam. Kita tidak lagi terpaku hanya pada makna harfiah saja. Istilah hanya digunakan untuk mengerecutkan maksud komunikator kepada komunikan. Pemahaman komunikan, lagi-lagi dipengaruhi  oleh perubahan tersebut.