Skip to main content

Over Thinking

Wooohooooooo....Setelah diprotes sama pembaca setia blog kami (baca : ibuku), akhirnya aku sadar diri kudu mulai nulis walau dengan suasana rumah yang bawaannya bikin pingin molor aja.
Walau jemari belum gemulai dan perasaan masih baper kemana mana, agaknya aku masih harus memanaskan otak dengan tulisan tema lain selain liburan :D. Here we go, aku mau ngebahas soal kebiasaan addictive para kaum hawa, Dari remaja baru boleh pegang hape sampe eyang yang lagi gendong cucu ngelakuin, overthinking (kea nya umur berbanding lurus dengan intensitas dan banyak point di “why” list nya).
             Kayak yang aku baca dari psychologytoday.com, ternyata over thinking bisa mengacu pada banyak kesalahan logika. Hal ini dikarenakan kebiasaan ini bukannya malah membuat kita mencapai inti masalah, namun fokus kepada pendapat-pendapat yang berlawanan dengan inner voice pertama kita. Over thinking mostly happen karena kita takut tidak benar-benar siap menanggung resiko jika pilihan kita ternyata bukan yang terbaik.
Kesalahan pertama. Kelihatannya memang berpikir terlalu luas, kelihatannya memang si over-thinker ini berpikir bahkan sampai kejadian yang probabilitas nya 0,000001%, macem semua jarum jam analog di bumi bakal berputar kebalik. Numpahin air di gelas waktu bangun tidur doesn’t mean 23 jam ke depan hidupmu bakal penuh kesialan. Dicecar sama dosen di depan teman sekelas juga bukan berarti nilai semester itu bakal suram.
Over thinking itu masalah. Ah semua-mua nya yang over emang problem, rindu yang overload misal *oke lupakan. Kenapa masalah? Kalau over thinking nya kebawa sampai obrolan, orang lain bisa ikut panik, kalaupun ga kebawa sampe obrolan yang stress kita sendiri. Selanjutnya, tubuh mulai kirim alarm kuning.
Over thinking buat orang lain ga nyaman. Kenapa? Karena ga ngerasa dipercaya. Di lain sisi, kalau dipikir juga, masa iya kita harus selalu jadi pihak yang minta ditenangin. Lama-lama yang ada, kata “everything’s gonna be alright” akan terdengar cliche. Balik lagi, karena ga percaya sama orang itu tadi.
Egois. Karena over thinking bikin kita memposisikan diri sendiri sebagai sumber masalah sekaligus (seharusnya) sumber solusi. Sejenak lupa kalau kita bisa dialog sama Tuhan dan orang terdekat. Sejenak lupa bahwa apa yang seharusnya dilakukan misal cuma tanya dengan lembut atau bilang minta tolong.
Waktu nulis ini, aku tetiba inget ayat al-quran yang sering ditulis di undangan nikah. “....Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya...” (Qs. Ar Ruum (30) : 21). Kalau mau jadi seseorang yang menentramkan, dikurangin dulu ya mbak over thinking nya *ngaca.
Over thinking itu fitrah buat wanita kali ya, kata ibuku (dalam pembelaannya, tapi seringnya juga bener), adalah bahwa over thinking itu salah satu bentuk pemikiran jangka panjang. Again, tapi tidak solutif. Berbeda dengan martian, yang di stereotype kan suka berpikir pendek, mereka lebih langsung bisa strike ke penyelesaian. Kebayang kan gimana si venus dan si mars ini bisa jadi tim yang solid?
Over thinking itu bikin kita abai sama kejutan. Banyak, kelewat banyak kejutan hidup yang esensi nya bakal berkurang kalau kita uda menutup kemungkinan buat itu terjadi. Bukan malah menyarankan untuk berjalan tanpa rencana ya. Plan A harus tetap ada, biar kalau ada plan baru, plan itu bisa dinamain plan B.
Over thinking itu menyempitkan batas diri kita. Bikin kita ga leluasa bergerak dan mendayagunakan apa aja yang bisa dioptimalkan. Bikin zona nyaman kita ga meluas.

Sejatinya, over thinking itu bikin kita jauh sama yang namanya ketenangan. Antara ga tenang gegara ga ikhlas atau ga berkembang. Over thinking makes problem that didn’t exist in first place. Kurang-kurangin yah !

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Ayah yang Khawatir

Menurutku, semakin kita bertambah dewasa, beberapa istilah yang kita kenal dari kecil akan berubah perwujudan konkretnya di kepala, antara melebar dan mendalam. Kita tidak lagi terpaku hanya pada makna harfiah saja. Istilah hanya digunakan untuk mengerecutkan maksud komunikator kepada komunikan. Pemahaman komunikan, lagi-lagi dipengaruhi  oleh perubahan tersebut.