Skip to main content

Diantara Pincang Dan Jatuh

Kapan terakhir kali kamu merasakan lapar saat asik mengerjakan sesuatu? Atau sadar akan lelah saat kebaikan yang kau gandrungi ternyata telah merenggut banyak waktumu? Atau gemetar karena badanmu tak mampu lagi mengimbangi workload yang harus kamu lakukan?

Mungkin saya kurang bersyukur. Tapi baru beberapa hari terakhir ini saya mengingat diri saya merasakan kekurangan energi untuk melakukan sesuatu setelah hal ini lumrah saya alami beberapa selang waktu sebelumnya.

Saya ingat betul. Lelah merupakan sahabat kecil terbaik serang pejuang dalam diri saya. Lapar merupakan alasan banyak dari hal yang saya lakukan. Lapar ibarat ibu dari segala pikiran. Lapar menjadikan saya banyak bertarung. Dan dari lapar lah saya tahu arti berkembang. Tanpanya, mungkin saya tidak setangguh sekarang.

Yang terlintas di benak saya adalah memori semasa kecil waktu pertama kali keluarga kami baru pindah ke sebuah rumah yang ada di perumahan. Pagi itu, sebelum terbit matahari dari tempatnya, saya ingat sekali bagaimana ibu saya menyiapkan makanan untuk keluarga. Saya ingat gestur yang beliau buat ketika menaruh piring itu di hadapan saya. Saya ingat persis bagaimana beliau kembali ke dapur untuk mengambilkan piring lain kepada ayah. Saya ingat betul apa yang saya rasakan hingga petang dimana pagi itu saya diajari akan lapar. Dan tentang lapar itu sendiri, ia membentuk manusia tangguh dari dalam.

Ketika dihadapkan dengan rintangan, seorang mungkin membayangkan sebuah tembok tinggi yang menjulang. Atau  pagar yang melintang. Atau hadangan segerombolan tak-tersebutkan di depan. Bagi saya, rintangan yang terbayang adalah kerikil. Ia yang tak terlihat besar namun dapat menggelincirkan. Suatu entitas yang mungkin sekilas mudah sekali untuk tersepelekan namun dapat memberi pelajaran yang jauh lebih berarti ketimbang yang terbayangkan. Musuh tak terlihat selalu lebih berbahaya bukan dari yang terlihat.

Itulah saya. Lebih mudah jatuh akan sesuatu yang saya anggap remeh hingga kadang terseok. 

Mungkin benar kata orang, bahwa sebenarnya tak ada orang pincang. Hanyalah ia yang tak mampu mengatasi hadangan dan memang terlahir berkekurangan lah yang layak untuk disebut tuna. Dan seiring dengan berakhirnya tulisan ini, semoga kita tidak pincang akan sesuatu yang kita sadari itu nyata namun kita hirau.

Comments

Popular posts from this blog

Notulensi Majelis Ilmu Jogokariyan : Burung dan Semut #Part1

Untuk pertama kalinya, saya akan mengangkat topik mengenai apa yang saya percaya disini. Meski sudah seyogyanya tiap apa yang kita lakukan berlandaskan percaya, pengangkatan topik yang baru sekarang ini tidak lain tidak bukan merupakan pembuka atas semua tulisan. Penjelasan bahwasanya segala yang saya lakukan (termasuk menulis disini) sebenarnya merupakan implementasi kepercayaan yang saya yakini. Hasil paling akhir dari sebuah proses percaya dan berpikir. Percaya tidak ada apa apanya bukan apabila hanya diamini dalam dada tanpa aksi nyata.

2k16

First of all. Sorry it took some times for the post. Both contributor had to span holidays and we agreed to postpone our writing for the next deadline. So here I am. Writing (dedicated to this blog) for the first time in 2k16.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

About (effective) crying

Lot of things happened recently. And to document what happened isn't easy for me, especially to express it verbally. But recent moments is enough to (again) realize and take a look on something: the more I resist to deny that I never cry, the more I have this ability to recall each tears I've spent on something. The more I want stuff to happen, the more likely it won't happened at all. The more I did not expect something foolishly, the more calmness followed.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.