Skip to main content

Kamar B2

Ga kerasa uda tiga tahun menyandang predikat anak kos. Sekitar 36 bulan uda kenyang sama pengalaman "akhir bulan" dan dinamika fase maba-main-mak plis pingin pulang aja (okay, yang terakhir alay). 

Kosku sekarang namanya ga seterkenal nama yang jaga, jadilah anak-anak kos terbiasa nyebut "Kos Pak Mus". Sebenernya, pak Mus ini bukan pemilik kos, yang punya kos itu bu dokter gigi, yang beberapa bulan lalu baru pindah ke rumah ini (dulunya, bu dokter sekeluarga tinggal di rumah mereka yang lain). 

Dibanding kos kos modern, kosku agaknya bisa dibilang tua, dan creepy (komen kebanyakan temen yang dateng). Tua karena perabot dalam kamarnya juga uda banyak tempelan stiker-stiker UKM dan tulisan-tulisan pengingat orang tua :'). Tua karena temboknya juga punya banyak noda, dari paku lah dari stiker lah, dari isolasi bolak-balik lah. Tua karena bahkan kasurnya pun masih kasur kapuk.

Pertama kali milih kamar dipilihin orang tua, simpel gegara di lantai bawah dan di depan ada kolam ikan (selanjutnya aku tau kalau ga pernah ada ikan yang berumur panjang di kolam itu). Setelah melewati dan menyaksikan renovasi beberapa kali, aku tetap bertahan di kamar ini, kamar B2. >.< iya namanya itu.

Serius aku ga pernah tidur di kasur kapuk, bulan pertama di kos punggung rada rewel, but ya selanjutnya uda gampang teler aja di kasur apapun. Terima kasih Ya Rabbb atas kemampuan adaptasinya. Serius juga aku ga pernah ngerti kenapa sampai sekarang ikan-ikan pada mati kalau ditaruh di kolam depan. Rajin dibersihin kok kolamnya, tiap pagi pasti juga dikasih makan, sinar matahari lancar, njuk ngopo coba? Minat ngasih nama tiap ekor uda sirna.

Beda dengan rerata anak kos yang suka gonta-ganti kos atau kamar atau gebetan *apasi, aku lebih suka stay. Walau ada pengalaman buruk dengan sistem keamanannya, aku lebih mager buat pindahan. Beberapa alasannya adalah sebagai berikut :
  1. Bel kosku nyebelin
    Iya, saking nyebelinnya ga perlu ngulang lagi kalau uda mencet satu kali. Kalau mencet lagi, resiko kena semprot penjaga kos. Nyebelin bin ngagetin, bayangin aja kalau ada yang ngebel malam-malam. Efektif, soalnya langsung ada yang bukain, walau bukan karena mau lihat tamunya siapa, tapi keinginan buat "nimpuk" yang mencet bel semacam bisa terlampiaskan kalau bukain pintu kos depan.
  2. Kamarku deket tempat setrika
    Ini sebuah pirivilege dan penyemangat tersendiri buat mahasiswi yang nyuci sendiri macem aku. Kesel adalah kalau tetiba itu setrika ga ada di tempat. Aku, pelopor manajemen perijinan setrika. Aku nulis "KALAU SETRIKA MAU DIBAWA KE KAMAR HARUS IJIN SEISI KOS" dan nempel itu di tempat setrikaan. Sampai sekarang ga ada yang berani protes dengan tulisan itu, dan sampai sekarang juga, masih banyak yang bawa setrika ke kamarnya sendiri secara ilegal :').
  3. Aslilah ga kelihatan
    Ada tangga pendek, level kali ya nyebutnya, intinya perbedaan ketinggian antara ruang tengah dan lingkungan kamar kos. Cuma tiga naikan kok, dan sering memakan korban. Entah kepleset, entah keserimpet, entah njelungup. 
  4. Sampingan sama pintu rumah induk
    Ya walau ga sering, biasanya bu kos ngasih jajan atau susu segar (IYA SUSU SEGAR), ke anak-anak kos. Yang paling gampang diketok kamarnya tentunya kamar B2 :). Tapi gegara sampingan sama rumah bu kos juga, tiap aku ketawa dikit aja langsung kena japri pak kos.
    "hayo Nabila liat apa kok sampai ketawa gitu?"
    "hehe engga kok pak, cuma chatting di grup"
    "masa chatting di grup sampai ketawa gitu, katanya garap proposal?"
    "iya pak sudah, tinggal nunggu waktu presentasi"
    "tentang apa proposalnya?"
    "pemanfaatan energi terbarukan di Turki pak"
    "wah...mau ke Hagia Sophia ya, lancar ya skripsinya"
    Jarang-jarang kan dipeduliin pake japri plus didoain sama bapak kos? Waks, makannya aku bangga jadi penghuni B2. *padahal di lain waktu cuma bisa melipir kalau ditanyain kok malem minggu di kamar aja.bzzt
  5. Pompanya plis
    Karena kosku ini tingkat 2, jadi air buat kamar mandi atas harus dipompa dari sumur yang di lantai satu. Dan, seperti halnya bel pintu depan, it is sucks!! Hahaha, tapi beberapa kali tanya ke anak kos yang lain, kayanya yang terganggu cuma aku deh. Ngg...
  6. Ruang tengah
    Gegara sering bolak-balik ruang tengah kalau kebelet pipis, sering terjadilah conversation antara aku dan istri penjaga kos. Soal asam uratnya, soal pesawat hilang, soal titipan misterius, soal bom Sarinah dan soal FTV. Kalau ada program cerdas cermat kos Pak Mus, kayanya aku bakal daftar aja deh.
  7. Deket sih tapi setelah itu jauh
    Berkenaan dengan cuci mencuci, aku agaknya bersyukur karena diberi nikmat harus bawa baju hasil cucian ke lantai tiga :'). Tempat nyucinya sih deket, cuma belakang kolam, tapi~ tapi~ okeoke, kalau bersyukur baiknya ga pake "tapi

Dari kejadian keset kena poop  kucing sampai arisan yang menyiksa bendahara, pengalaman kos ini ngebuat aku sadar bahwa persaudaraan-mi-instan-dan-energen itu salah satu bentuk relationship paling berkesan dalam hidup. 

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.