Skip to main content

Topik Nikah, Lagi

Berawal dari release  jadwal kajian di Book Fair akhir tahun di grup santri. Dan salah satu argumen anggota grup bahwa topik pernikahan lebih banyak digandrungi daripada topik jihad.


Masih berhubungan dengan “seruan jihad” terkait aksi di Jakarta. Menurut pengamatan temanku ini, orang (spesifik ke mereka yang tidak mengikuti Lembaga Dakwah Fakultas) yang kurang paham soal aksi 411 menyambut miring serua untuk pergi ke Jakarta atau membantu mereka yang mau pergi ke Jakarta, dan malah terkesan membela kubu lawan. Dan topik pernikahan terkesan lebih banyak menggerakkan individu (terutama mahasiswa, ga peduli tingkat akhir atau bukan) untuk “hijrah” daripada topik jihad itu sendiri.

Dua malam yang lalu aku terlibat diskusi, ada salah satu aktivis kampus yang menyayangkan kakak tingkatnya yang tidak menjadi tutor PAI, padahal kakak tingkatnya tersebut sangat berprestasi dan sekarang sedang lanjut studi di Birmingham. Secara spesifik, aktivis dakwah ini menyebut pilihan si mas ini dengan “tidak baik”. Mungkin karena merasa senasib karena tidak tergabung dalam Lembaga Dakwah Kampus atau sejenisnya, aku merasa tergerak untuk menekankan bahwa “Baik itu relatif”.

Menurutku, masuk akal jika mereka yang di luar sana merasa seram dengan kata jihad itu sendiri, selain karena diksi dalam broadcast-broadcast yang tersebar menebar banyak kebencian, juga karena mereka, yang menyebut diri mereka aktivis dakwah legal bersertifikasi dari kampus atau apalah, tidak mengjinkan orang selain mereka untuk berjihad dengan cara mereka sendiri. Jadilah topik pernikahan, yang insyaAllah semua kita akan mengalaminya lebih digandrungi karena termasuk topik dalam lingkar batas aman. Ditambah pemahaman bahwa jihad itu main fisik, jadilah mereka yang di luar Lembaga Dakwah Kampus yang terstruktur ini malah mempersilahkan teman-teman mereka yang berjenggot rapi, dan berjilbab besar saja untuk turun tangan.

Asumsiku di sini adalah, bahwa dakwah menjadi eksklusif, apalagi yang terkait jihad. Bukan karena penyebutannya di Al Quran, tapi karena sikap para pendakwahnya sendiri. Bahasa yang mereka gunakan, lingkaran tak kasat mata antara “pendakwah” dan “bukan pendakwah” dengan ukuran mereka sendiri, dan provokasi-provokasi ofensif tanpa mengedepankan bukti valid. Kalau kata ustadz, jika kita beramal tanpa ilmu, ibarat kaya pegang mata pisaunya langsung dan bukan gagang pisaunya yang dipegang, ya, akhirnya akan menimbulkan luka di diri kita sendiri.

Asumsi kedua adalah tahap seleksi untuk mencari “the one” ini memang berliku dan sering membelokkan kita dari niat sebenarnya. Niat menghamba. Bahkan redaksi hadist Arba’in nomor satu aja “...Barangsiapa yang hijrah untuk dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju”. Segitu besarnya godaan orang hijrah untuk merubah niat karena “calon pasangan” ini dan ya jadilah mereka yang sadar akan godaan lebih serius dan giat memperbanyak ilmu soal pernikahan itu sendiri. Beda cara, beda rasa, beda keberkahan. Toh pernikahan yang baik adalah yang menambah ketaatan menghamba pada masing-masing pribadi yang terikat di dalamnya, kan?


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Ayah yang Khawatir

Menurutku, semakin kita bertambah dewasa, beberapa istilah yang kita kenal dari kecil akan berubah perwujudan konkretnya di kepala, antara melebar dan mendalam. Kita tidak lagi terpaku hanya pada makna harfiah saja. Istilah hanya digunakan untuk mengerecutkan maksud komunikator kepada komunikan. Pemahaman komunikan, lagi-lagi dipengaruhi  oleh perubahan tersebut.