Skip to main content

Satu Tahun Banyak yang Berubah

Kalau di search di Google pake keywords “satu tahun banyak yang berubah”, bermunculanlah artikel yang hampir semuanya soal perubahan sikap pasangan. Hahaha. Oke, kita simpulkan saja bahwa memang satu tahun itu memang rentang waktu yang cukup untuk mengubah seseorang.


“Kenapa pasangan saya berubah?”

Ini judul artikel ketiga di hasil pencarian. Iya kenapa pasangannya dia berubah? Berubah jadi apa dulu nih, ranger merah? Manusia serigala? Atau anak kecil yang punya jam tangan yang ada pelempar obat biusnya? Tentu pertanyaan ini muncul karena menurut si penanya perubahan yang ia lihat signifikan, bukan?
               
Desember 2015, menurut timeline di blog ini, aku lagi-lagi bikin cerpen yang gantung, cuma satu scene, sedikit reminder mengingat akhir tahun lalu adalah semester ganjil terakhir untukku, dibuat gemas oleh salah satu film kartun, debat seru soal kontribusi di masyarakat, dan kepinginan segera punya anak, sampe bikin surat segala.

Kalau ukurannya jadi ranger pink atau elf, nope, I'm still human. Dengan segala keingintahuan dan teori-teori cocoklogi yang berisik di dalam kepala dan harapan-harapannya. Dan jika yang dimaksud dengan "kenapa pasangan saya berubah?" adalah berubahnya pasangan si penanya di ketiga hal yang aku maksud, maka ya, aku juga berubah secara signifikan selama satu tahun terakhir.

Yang pertama, alamat tinggalku di Jogja berubah. Konsekuensi ini pun mengubah kegiatan 24 jamku. Aku sekarang tinggal di Pondok Pesantren Mahasiswi, tempat yang sebenarnya tak pernah ada dalam must-visit list ku. Ruhiyahku pun (atau setidaknya aku merasa begitu), untuk pertama kalinya menemukan roadtrip nya sendiri. Pengharapanku ditampung, sambil belajar menggenapi syarat-syaratnya.

Yang kedua, punya banyak saudara perempuan. Bukan rencanaku, lagi-lagi, untuk tinggal dengan 39 kepala ini. Aku mengharuskan diri sendiri jadi kakak, bukan saja karena memang angkatanku terbilang tua, tapi aku sadar tanggungjawab akademisku tidak seberat mereka dan sudah semestinya akulah yang mengemban tugas "mengingatkan". Senang? Sekali. Walaupun sering dibikin gemas dan ingat kenapa selama ini aku lebih memilih berteman dengan kaum mars, tapi aku paham kebutuhanku sekarang berubah. Kebutuhanku sekarang adalah membangunkan teman sekamarku, walau bunyi alarm sebenarnya lebih dekat ke telinganya dia sendiri. Kebutuhanku sekarang adalah mendisiplinkan diri mencuci baju sendiri dan memikirkan cucian saudara lain yang memang sudah kering dan mengangkatkannya atau kalau hujan juga ikut memindahkannya. Kebutuhanku sekarang adalah ikhlas piket masak sampai larut agar bisa disantap waktu sahur.  Kebutuhanku sekarang adalah merasa cukup, karena banyak yang memperhatikan, banyak yang menanyai, banyak yang mengingatkan.

Yang ketiga, untuk berhenti merasa nyaman dengan komunikasi melalui perantara. Dalam kasus ini adalah dengan ayah, melalui ibuku. Kenapa? Karena aku sadar, ada banyak hal yang harus aku sendiri bicarakan langsung dengan ayah. Tidak bisa diwakilkan dan harus dengan redaksiku sendiri. Tentang ia yang esok kupilih. Pembicaraan yang canggung memang, tapi tetap harus dilakukan. Ayah mempunyai hak dalam perijinan syar'i nya. Toh ayah juga yang paling mengerti kebiasaan dan kecenderungan kaumnya. Serasa jadi gadis kecil ayah lagi, kemana-mana ingin nya digandeng, bahkan untuk menunggui beliau pulang dari kantor saja aku rindu melakukannya.

Yang keempat,  aku sekarang bisa merangkai pertandaku sendiri. Yang sering keliru adalah mempercayai pertanda yang ia berasal dari weton kelahiran atau astrologi. Aku ingat dulu lomba cerdas cermat aku ditanyai cita-citanya kuliah dimana, aku jawab mantap hubungan internasional, tapi kalau sekarang aku benar-benar kuliah di HI, aku tetap saja masih tak percaya. Aku pernah berkata ingin jadi  ketua angkatan di asrama, dan yes, aku sekarang ketua angkatan, dan tetap aku masih tak percaya. Bahkan hanya sekedar pertanyaan pun bisa jadi kenyataan. Karena aku paham bahwa pertandaku tercermin dari akhlakku hari ini, sudah sepantasnya hari ini juga akhlakku harus sebaik-baiknya.

Yang kelima, aku belajar untuk mengubah keputusan. Jika aku tak merasa nyaman, jika aku ragu, jika aku sudah berpikir lebih matang, aku harus tahu bahwa mengubah keputusan masih bisa dilakukan. Seringnya adalah aku mempertahankan keputusanku yang absurd. Dan sekarang aku tahu, ada pilihan untuk mengubah keputusan dan membiarkan orang lain yang memahami keadaanku.

Yang keenam, sekarang aku juga paham, kenapa aku tak pernah bangga dengan punya banyak kenalan, karena aku sadar aku tak bisa membangun keintiman dengan ke semuanya. Sedangkan, setiap hubungan manusia punya corak keintiman yang berbeda yang disebabkan oleh kepribadian masing-masing. Seringnya kita sadar tidak sadar memanfaatkan satu sama lain, dan aku juga tidak menyalahkannya. Semakin hari, aku semakin tak mengapa jika ada kenalan yang tak akrab lagi denganku karena menganggap aku sudah tidak relevan, karena aku pun akan melakukan yang sama. 



Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Ayah yang Khawatir

Menurutku, semakin kita bertambah dewasa, beberapa istilah yang kita kenal dari kecil akan berubah perwujudan konkretnya di kepala, antara melebar dan mendalam. Kita tidak lagi terpaku hanya pada makna harfiah saja. Istilah hanya digunakan untuk mengerecutkan maksud komunikator kepada komunikan. Pemahaman komunikan, lagi-lagi dipengaruhi  oleh perubahan tersebut.