Dengar. Jika kau tak mau diam sejenak, kau tak akan bisa mengenalku.
Katamu aku gelap, begitupun penglihatanku akan dirimu. Akan dunia pun sama. Gelap.
Pandangan pertama diantara kita mungkin tak akan pernah terjadi. Tak apa untukku, lebih baik begini. Membayangkan wajahmu adalah cara terbaik untuk merekonstruksi jalinan nada yang kau nyanyikan berulang di setiap ketidakpercayaanmu akan kejujuranku.
Mereka kata, jatuh cinta pandangan pertama itu sesuatu yang langka. Lalu, bagaimana ini? Aku jatuh cinta pada pendengaran pertama.
Oh bukan, bukan pendengaran pertama juga maksudku. Tapi saat pertama aku memfokuskan inderaku untuk mengenalmu. Getar di kalimatmu membuatku mengira kau grogi saat memulai pembicaraan. Lalu aku mendengar suara gesekan di kursi, mungkin kau duduk mendekatiku?
Aku saat itu memberi tahumu tentang kesempatan.
Kita beruntung tidak mengetahui lini waktu hidup kita. Beruntung karena jika kita berakal, kita akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin, tanpa terbersit rasa remeh terhadap apa yang dinamakan kesempatan. Bertemu denganmu salah satunya.
Di bangku rumah sakit yang dingin ini, biarkan aku sekali lagi mendengarkanmu baik-baik, karena aku bisa membedakan mana tarikan nafas manusia yang bahagia dan yang tidak. Aku bertaruh jika aku bisa melihat nanti, saat ini kau sedang bahagia.
Ada suara 2 suster yang sedang bercengkrama di pojok. Mereka mungkin membicarakan kita. Ya kan? Pemandangan aneh antara dua difabel yang tak saling mengenal dan tak bertukar nama. Aku yakin mereka terlalu enggan untuk beranjak dari kursi karena pembicaraan kita terlalu seru.
Aku merasakan kekhawatiran di kalimatmu. Apakah kita akan bertemu lagi? Kau tahu, saling menemukan di dalam gelap itu juga sebuah kesempatan langka.
Dalam beberapa kesempatan, kita bisa mengatur berapa lama kita ingin bertemu dengan seseorang. Tapi seperti premis umum kehidupan lainnya, itu semua berlaku jika Tuhan menghendaki. Kita pun seringnya mengeluh jika belum mendapat kesempatan, menjadi kufur akan kesempatan yang lain.
Mungkin kita pernah mengeluh, sampai akhirnya Tuhan tak tega dan mempertemukan kita.
Katamu aku gelap, begitupun penglihatanku akan dirimu. Akan dunia pun sama. Gelap.
Pandangan pertama diantara kita mungkin tak akan pernah terjadi. Tak apa untukku, lebih baik begini. Membayangkan wajahmu adalah cara terbaik untuk merekonstruksi jalinan nada yang kau nyanyikan berulang di setiap ketidakpercayaanmu akan kejujuranku.
Mereka kata, jatuh cinta pandangan pertama itu sesuatu yang langka. Lalu, bagaimana ini? Aku jatuh cinta pada pendengaran pertama.
Oh bukan, bukan pendengaran pertama juga maksudku. Tapi saat pertama aku memfokuskan inderaku untuk mengenalmu. Getar di kalimatmu membuatku mengira kau grogi saat memulai pembicaraan. Lalu aku mendengar suara gesekan di kursi, mungkin kau duduk mendekatiku?
Aku saat itu memberi tahumu tentang kesempatan.
Kita beruntung tidak mengetahui lini waktu hidup kita. Beruntung karena jika kita berakal, kita akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin, tanpa terbersit rasa remeh terhadap apa yang dinamakan kesempatan. Bertemu denganmu salah satunya.
Di bangku rumah sakit yang dingin ini, biarkan aku sekali lagi mendengarkanmu baik-baik, karena aku bisa membedakan mana tarikan nafas manusia yang bahagia dan yang tidak. Aku bertaruh jika aku bisa melihat nanti, saat ini kau sedang bahagia.
Ada suara 2 suster yang sedang bercengkrama di pojok. Mereka mungkin membicarakan kita. Ya kan? Pemandangan aneh antara dua difabel yang tak saling mengenal dan tak bertukar nama. Aku yakin mereka terlalu enggan untuk beranjak dari kursi karena pembicaraan kita terlalu seru.
Aku merasakan kekhawatiran di kalimatmu. Apakah kita akan bertemu lagi? Kau tahu, saling menemukan di dalam gelap itu juga sebuah kesempatan langka.
Dalam beberapa kesempatan, kita bisa mengatur berapa lama kita ingin bertemu dengan seseorang. Tapi seperti premis umum kehidupan lainnya, itu semua berlaku jika Tuhan menghendaki. Kita pun seringnya mengeluh jika belum mendapat kesempatan, menjadi kufur akan kesempatan yang lain.
Mungkin kita pernah mengeluh, sampai akhirnya Tuhan tak tega dan mempertemukan kita.
Comments
Post a Comment