Kenapa kita dengan sukarela menyimpulkan suatu hal “pasti
berbeda” dengan kehendak kita disaat lawan bicara kita bahkan belum sampai di
titik kalimatnya?
Kenapa kita dengan geramnya membentak mereka yang tidak
mengerti kekhawatiran kita sebelum mendengar alasan dasar mereka melakukan
sesuatu?
Kenapa kita yang jengkel saat diingatkan tentang “memotong
pembicaraan” dan berbalik menyalahkan si pencerita yang sedang berusaha mencari
kata yang tepat?
Kenapa oh kenapa, perlu sekian banyak kalimat penjelasan
diulang hanya agar kita dapat memahami maksud si lawan bicara?
It’s all starts with how well you listen to others.
10 responden yang penulis tanyai, menjawab mantap akan
memberi kesempatan pertama bercerita kepada lawan bicara, bahkan saat mereka
mempunyai dua bahasan yang sama-sama penting. Baik sekali bukan mereka? Mereka
ini adalah macam-macam manusia dari sekian status (jelas, seharusnya jelas dan
masih mencari jati diri), rentang umur 20-25 tahun dan bermacam-macam makanan
favorit.
Kesempatan untuk bercerita yang ditawarkan oleh
kenalan-kenalan saya ini patut diapresiasi, karena mereka mendahulukan
kepentingan orang lain (di pertanyaan survey, lawan bicara mereka adalah saya)
di atas kepentingan mereka pribadi. Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah,
apakah mereka pendengar yang baik?
Kebetulan 10 responden tersebut adalah 5 kaum mars dan 5
kaum venus. Hanya 1 dari mereka, yang “tidak perhatian apakah orang-orang di
sekitar menganggap mereka pendengar yang baik atau bukan”. Dan hanya 1 yang
menjawab mereka bukan pendengar yang baik. Yang lain, memilih pilihan nomor 1,
melegitimasi diri mereka sebagai pendengar yang baik. Tentu, perlu penulis
ingatkan bahwa “pendengar yang baik” mungkin mempunyai definisi yang berbeda
bagi setiap orang.
Sebelum membahas lebih jauh agaknya penulis perlu memberi
tahu pembaca soal variabelnya. Tolak ukur yang penulis gunakan murni diekstrak
dari pengamatan pribadi. Penulis, sebagai pendengar dan pencerita di kehidupan
kesehariannya juga berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya dan diajarkan
untuk sabar oleh 4 hal, sebagai berikut :
- Kecenderungan untuk loncat ke kesimpulan
- Mencampuradukkan kepentingan pribadi atau tidak netral
- Memotong pembicaraan
- Harus dijelaskan berulang-ulang agar paham inti masalah
Mari kita bahas, satu persatu variabel di atas. Variabel
“kecenderungan untuk loncat ke kesimpulan” dimasukkan karena si pendengar
merasa tidak perlu mendengarkan keseluruhan cerita. Entah muka bosan, pandangan
sinis, atau nyambi uthek-uthek , para
pendengar ini seakan sudah paham bagaimana cerita akan berakhir. Singkatnya,
mereka menganggap diri mereka paham situasinya dan mengenal pencerita dengan
baik.“kecenderungan untuk loncat ke kesimpulan” ini menurut
penulis adalah variabel yang sok tahu.
Keadaan yang disimpulkan oleh pendengar
boleh jadi berbeda dengan apa yang diketahui pencerita, dan hal itu akan
menjadi semakin berbeda jika pendengar abai terhadap proses ceritanya. Saat
kita bercerita, penulis yakin bukan hanya kata yaang perlu ditransfer, tapi
juga emosi, asumsi awal dan harapan. Lupakan emosi dari 3 hal di atas, asumsi
awal dan harapan/ ekspektasi merupakan unsur penting dalam mendengarkan. Sebagai
pendengar, kita perlu mengetahui motif dari si pencerita melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Apa niatnya dan apa ekspektasinya. Karena belum tentu,
tindakan yang berbeda berasal dari niat yang berbeda, atau tindakan yang sama
berasal dari niat yang sama.
Soal anggapan bahwa pendengar mengenal baik si pencerita,
agaknya sedikit menggelitik penulis. Penulis percaya, kita tidak pernah bisa
mengenal seseorang secara utuh, waktu merupakan variabel yang tak mempengaruhi
hal ini. Bagaimana bisa kita menganggap bahwa kita mengenalnya jika ia sendiri
masih terus-menerus mengenal dirinya sendiri. I tell you, mengenal diri sendiri
merupakan proses seumur hidup, karena kebutuhan dan pemahaman manusia
berkembang. Ada satu quote yang menarik terkait hal ini, disini tertulis
- Your first mistake might be assuming that people are rational
- Your second mistake could be assuming that people are eager for change
- Your third mistake is assuming that once someone knows thing the way you know them, they will choose what you choose.
Lanjut ke variabel kedua. Netralitas. Pernahkah saat kau
bercerita pendengar di depanmu tidak sengaja menampakkan wajah marah atau
kecewanya? Kalau pernah, mungkin kau selanjutnya akan berpikir ulang untuk bercerita
padanya bukan? Variabel ini dipilih oleh 6 responden. Dari alasan jadi ga asik
sampe mempengaruhi pengambilan saran/ kritik dan alur yang diceritain jadi
blur.
Buat penulis sendiri, seperti sudah dijelaskan di atas,
pendengar yang baik seharusnya juga membuat si pencerita merasa nyaman. Memang
belum tentu saat pencerita datang ia butuh saran/ kritik, namun bukankah sebuah
senyuman “ayo lanjutkan ceritamu, aku masih mendengarkan” akan lebih enak
dilihat daripada muka masam “SUMPAH LU GITU ASTAGA”.
Kalau dibahas lagi, perasaan nyaman yang timbul selanjutnya
akan berbuah menjadi rasa percaya. Pendengar yang baik harus bisa dipercaya,
bukan hanya untuk menyimpan rahasia, namun juga bisa dipercaya bahwa ia akan
selalu ada sebusuk-busuk apapun kita bertingkah. Bukan maksud penulis
melegalkan tingkah laku tersebut, hanya saja untuk tetap berada di tempat dan
mendengarkan drama hidup orang lain harus diakui itu menyedot energi lebih
daripada mendengarkan cerita bahagianya.
Soal alur yang jadi blur, agaknya penulis memahami dengan
analogi si pendengar lupa mengganti kacamata. Misal ia teman dekat si pencerita
ya seringnya iya terseret dengan mindset dan emosi si pencerita, padahal
netralitas ini penting, untuk jaga-jaga barangkali bahkan teman dekat kita yang
salah.
Variabel ketiga mempunyai ikatan batin yang kuat dengan
penulis, dikarenakan penulis sendiri juga masih belajar menyembuhkan diri
darinya. Dipilih oleh 6 responden, 3 diantaranya langsung memilih sebagai
pilihan mutlak. Dan agaknya variabel ini akan mendapat penjelasan paling
sedikit dikarenakan pandangan penulis
dan responden sama yaitu, memotong cerita (selain alasan klarifikasi) akan
sangat mengganggu proses transfer cerita.
Variabel terakhir. Penjelasan berulang, hanya dipilih oleh 2
responden. Masih sama dengan asumsi awal penulis, hal tersebut menjadikan
seseorang sebagai pendengar yang buruk karena bikin pusing si pencerita karena
harus menyediakan tenaga dan waktu lebih panjang dari seharusnya.
Karena kita sedang membicarakan pendengar yang baik, maka
penulis mengabaikan “kesulitan si pencerita untuk menjalin rangkaian cerita
yang efektif”. Mungkin di tulisan berikutnya bisa dielaborasi lebih lanjut soal
poin tersebut.
Jadi kalau dirangkum, ternyata benar, definisi pendengar
yang baik bagi masing-masing individu berbeda. Dan, dari survey yang penulis
jalankan, ada 2 variabel favorit yaitu JANGAN MEMOTONG PEMBICARAAN DAN
BERUSAHALAH NETRAL. Dan by the way, ada satu entitas agung yang memenuhi 4 persyaratan di atas, tanpa kata tapi, kau tahu kan?
Comments
Post a Comment