Skip to main content

Dinamika Kata Maaf

iya”
“ : ) “
“Iya, uda gausa dibahas ya”
...(dan daftar tentang respon maaf berlanjut)
Ada bermacam-macam kata yang diucapkan, dari yang paling sederhana “aku minta maaf” sampai yang panjang kayak “kamu pantes kok marah sama aku, aku ngecewain kamu, dan sebenernya aku juga ngecewain diri sendiri, aku janji ga akan ngulangin lagi”. Walaupun ada banyak kalimat alternatif yang bisa mengindikasikan kamu menyesal, dalam beberapa kasus tertentu, kamu tidak bisa meminta maaf secara kontan. Balik lagi, namanya juga manusia, saling mengecewakan dengan atau tidak sengaja. Bahkan yang mau memberi maafpun mengecewakan si pelaku yang sudah getol minta maaf. Tapi kenapa? Apa iya memaafkan semenyusahkan itu?

Kalau dibaca dari HuffingtonPost, memaafkan adalah proses. Jadi saat ada orang bilang “iya” atau “oke” dalam reaksinya menanggapi permintaan maaf agaknya hal tersebut bisa dipanjangkan menjadi “iya, aku mau berproses untuk memaafkanmu”. Proses.
Menarik, karena beberapa hari yang lalu aku sempat membaca tulisan tentang macam-macam maaf di majalah perempuan. Seperti biasa, aku lupa nama majalahnya apalagi edisinya. Oke, jadi seingetku maaf itu dibagi jadi 3, yaitu :

  • Memaafkan di bibir
    Sesederhananya bisa dibilang membohongi diri sendiri (walaupun juga bisa dibilang membohongi pihak lain, namun output nya lebih dirasakan oleh diri sendiri). Entah untuk apapun tujuannya, hal ini tidak membersihkan rasa dari kekecewaan dari ekspektasi yang tidak terpenuhi. Kata maafnya kosong, murni hanya untuk menyudahi proses konsiliasi yang dipaksakan berhenti mendadak. 
  • Memaafkan namun tak sudi lagi untuk berhubungan dengan si perpetratorSiapa juga yang mau dikecewakan untuk kedua kalinya? Benar, tidak seorangpun. Biasanya memaafkan dengan cara ini menyebabkan perubahan sikap. Entah perlahan menjauh atau malah mengabaikan sepenuhnya. Alasannya dapat dipahami, kemungkinan teringat dengan kesalahan yang bersangkutan atau karena sudah terlanjur disinggung sampai bagian inti atom (baca : mencampuri urusan yang tidak seharusnya). Bentuk maaf kedua ini juga belum bisa dibilang sebagai pemberian maaf yang sepenuhnya, karena kata “tak sudi” di atas mengidentifikasikan enggannya membuka lembaran baru.
  • Memaafkan dan mau bekerjasama lagi
    Karena penulis suka save the best for the last dan punya kecenderungan untuk bertindak dengan pertimbangan yang kurang matang (I’m still working hard on that), jadi setelah bereksperimen dengan perasaan sendiri, ternyata yang melegakan lahir batin itu bentuk ketiga ini. Tetep dengan ‘tembok pertahanan yang lebih tinggi’, namun jangan lupa tetep dikasih pintu.  

Di tulisan yang sama, juga disebutkan soal “pengakuan perasaan”. Kita diwajarkan untuk mengutarakan kekecewaan, mengakui bahwa kitalah yang menjadi korban, menyadari sepenuhnya bahwa kita yang rugi. Biasanya, hal ini akan juga susah terjadi karena relasi 2 individu tersebut di masa lalu, misal si A masih tidak percaya bahwa B melakukan kesalah padanya karena keduanya punya hubungan yang sangat baik, ia menyangkal, namun dalam hatinya ia pun dibingungkan dengan rasa yang “aneh”. Rasa kecewa.

Proses memaafkan adalah pengenalan. Pengenalan terhadap batas toleransi kita dan kapailitas orang lain. Bukan untuk mengkotakkan ini “orang yang bisa aku ajak ngomong” dan “orang yang ga bisa aku ajak ngomong” (karena bahkan dalam kehidupan keseharian kita diharuskan untuk menjalin hubungan yang baik dengan siapapun), namun lebih ke pembentukan strategi bagaimana untuk engage hubungan yang saling menguntungkan bagi kedua pihak.
Berikut 3 proses dalam memaafkan lahir batin :
  1. Maaf
    Al-‘afw secara harfiah berarti berlebihan, namun selanjutnya dipahami sebagai keterhapusan. Kalau kata Quraish Shihab di bukunya Wawasan Al-Quran, hal ini juga termasuk untuk langsung menghapus kesalahan yang bersangkutan bahkan sebelum yang bersangkutan meminta maaf. Karena segalanya telah dijamin dan ditanggung oleh Allah Swt.
  2. Menutup
    Kalau perumpamaan populernya adalah membuka lembaran baru. Setelah memutuskan untuk berproses dalam memaafkan satu pihak, agaknya kita tidak seharusnya berhenti di kata-kata saja, karena hal tersebut akan menyebabkan perbedaan ucapan dan perbuatan, yang bahayanya bisa disandingkan dengan orang munafik. Membuka lembaran baru memang tidak sesederhana analoginya, namun merujuk ke Al-Baqarah 216.
    “...Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”
    Seringnya dalam memberi maaf kita juga melakukan introspeksi terhadap apakah kita pernah melakukan hal yang sama terhadapa pihak lain. Bila iya, dan itu bukan perbuatan baik, kata “menutup” ini juga relevan jika diartikan sebagai penutup kesalahan yang lalu dengan mengadakan perbaikan atau melakukan amal saleh.
  3. Lapang dada
    Bentuk praktek praktisnya adalah jabat tangan. Bisa disimpulkan bahwa membalik kertas kusut dan menulis di lembaran baru lebih baik daripada memaksakan menulis di lembar kusut tersebut. Lembar yang putih bersih tersebut tak akan mengingatkan tentang kekusutan dan kesalah yang telah lalu. Bukankah lebih menyenangkan jika kita mendapat kesempatan kedua untuk melakukan sesuatu dengan lebih optimal?
    “Maafkanlah mereka dan lapangkan dada. Sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (terhadap yang melakukan kesalahan padanya)” (QS Al Maidah (5) : 13).
Relasi yang dimana pelakunya ada manusianya, sebenarnya rapuh. Jadi, sebaiknya sertakan Tuhan dan jangan berharap kepada makhluk-Nya. Bukan apa-apa, penulis hanya memahami bahwa memberi maaf dan dimaafkan merupakan proses yang sangat penting dalam hidupnya. Dari sanalah tititk tolak sebuah perubahan mindset dan attitude. Terhadap hidup, bagaimana seharusnya kita melihatnya dan mengusahakannya. Terhadap kematian, bagaimana kita dekat dengannya dan tidak mempunyai pengetahuan tentang kedatangannya.

“Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, dan susulkanlah kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik” (HR At-Tirmidzi melalui Abu Dzar)


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.