Skip to main content

Diceritakan dan Bercerita

“ya, silahkan kepada ammah Nabila untuk mengisi kultum besok subuh ya”. Hening.



Pondok pesantren. Konsep yang kalau satu tahun yang lalu kau tanyakan padaku, dahiku akan mengernyit bingung. Bingung karena ga tahu itu apa. But, yes here I am, sedang mengikuti daurah santri pondok pesantren mahasiswi Asma Amanina angkatan VI (btw akselku juga angkatan VI, okesip).

Saat pertama kali datang, setelah mengambil undian tilawah satu juz, dan solat dhuha, daurah dibuka oleh pengurus pondok, Ustadz Deden. Setelah memberi tahu kronologi perkembangan anggapan orang awam soal pesantren di Indonesia, pak ustadz mengingatkan kita, santri baru, untuk banyak-banyak bersyukur. “karena Allah lah, kami semua menjadi condong hatinya untuk menerima adik-adik menjadi bagian dari keluarga kami”.

Aku? Tiap detiknya disana, aku terus terngiang bagaimana aku memulai semuanya. “saya lupa ada santri disini siapa ya namanya..hhmm...atau mungkin nanti disini ada yang merasa ya, jadi ceritanya dia tau soal Asma itu dari poster. Poster yang ketempel di lorong kampus, yang dia jarang lewat lorong itu”. Dheg. Yes, it’s me. Aku bersyukur pak ustadz ga inget siapa santri tadi sampe agenda pembukaannya selesai.

Kalau bisa nambahin, setelah lihat poster tadi dan kasih tau ibu di rumah, aku sok sok an aja survey ke asramanya. Iya, iseng. “Mum, aku ga ngerasa rugi satu tahunku di asrama (well, asramanya 2 tahun, tapi aku bakal nambah stay di Jogja satu tahun karena uda lulus dari univ)”.

Singkat cerita, aku mendaftar. Mengisi 8 lembar formulir pendaftaran + 1 lembar who I am, tes wawancara sama ummi, pra daurah (data kebiasaan ibadah pribadi). Pengumuman tanggal 25 April 2016. Aku diterima, sebagai cadangan.

Aku ingat rasanya, kaget. Keterima cadangan aja, waktu itu menurutku prestasi. Hahaha iya serius. Bukan tesnya sulit banget (well ga gampang juga, apalagi wawancaranya), bukan juga formulirnya bikin pegel nulis (engga kok, cuma 8 juga, kan man jadda wa jadda), tapi aku kaget lebih karena aku ngerasa “sebandel” itu sampe pantes ga diterima.

Tapi keputusan sudah bulat, aku cadangan dan itu berarti aku harus menunggu jika ada spot lebih apabila yang keterima pada ga daftar ulang atau mengundurkan diri. Waktu itu, aku berpikir siapa yang mau mengundurkan diri dari kesempatan menjadi lebih baik? Aku kecil hati.

Semakin kesini, aku paham, bahwa dengan dijadikan cadangan, aku masih disuruh membenarkan tabiat “mencari ilmu” ku. Bahwa dengan dijadikan cadangan, aku diberi tahu apa artinya menjadi seorang santri.

29 Mei 2016. Dengan 2 kali penundaan pengumuman, aku resmi jadi santri. Dinnar Nabila yang tabiatnya .... (silahkan yang merasa teman SMP dan SMA saya, bisa mengisi sendiri) masuk pondok pesantren.

19 Juni 2016, pertama kalinya aku disuruh isi kultum. Ceritanya kocak (iya hidupku masih kocak). Aku disuruh isi kultum sesederhana karena aku mengankat tangan saat ditanya siapa yang sudah baca buku soal komitmen belajar. Bukan aku serajin itu, bukan, hanya saja aku melaksanakan apa yang sudah diperintahkan. Iya, kita ada tugas sebelum daurah, ada solat sunnah, ada baca buku itu, ada husnudzon.

Dan...somehow, malam itu, setelah kultum tarawih, aku mengangkat tangan seorang diri. KEMANA YANG LAIN ASTAGA PADA GA NGELAKSANAIN TUGAS APA HAH.

Ngisi kultum subuh, selain ga pernah, tantangannya adalah bikin audience nya melek.

Hasil akhir? I don’t know. Tapi yang aku tahu mereka ikut ketawa kalau aku lempar joke, dan seketika aku banyak ditanyain macem-macem.
“ammah Nabila punya banyak buku ya?” (padahal buku yang aku baca aja buku dipinjemi)
“ammah Nabila suka baca ya?” (ada di kamar, buku uda aku pinjem setahun juga aku belum selesai baca)
“ammah Nabila nanti kalau uda pindahan aku main kamarnya ya”

“ammah Nabila tadi kultumnya gini kan” *sambil menunjukkan catatan kecilnya

2 tahun dari 25 Juli 2016 nanti akan menjadi babak baru. Babak baru dimana niat menuntut ilmuku sekarang bukan berorientasi kepada rapor atau IPK, tapi pemahaman dan praktek sehari-hari. Aku harus menjadi pembelajar yang baru. Lebih sungguh-sungguh, mengejar dan melampaui ketertinggalanku.


Comments

Popular posts from this blog

Notulensi Majelis Ilmu Jogokariyan : Burung dan Semut #Part1

Untuk pertama kalinya, saya akan mengangkat topik mengenai apa yang saya percaya disini. Meski sudah seyogyanya tiap apa yang kita lakukan berlandaskan percaya, pengangkatan topik yang baru sekarang ini tidak lain tidak bukan merupakan pembuka atas semua tulisan. Penjelasan bahwasanya segala yang saya lakukan (termasuk menulis disini) sebenarnya merupakan implementasi kepercayaan yang saya yakini. Hasil paling akhir dari sebuah proses percaya dan berpikir. Percaya tidak ada apa apanya bukan apabila hanya diamini dalam dada tanpa aksi nyata.

Takut di Laut

Salah satu cita—citaku adalah u ntuk tinggal di atas laut berhari-hari. Tak perlu naik kapal pesiar yang super mahal itu, karena itu menyebabkan aku kebal ombak. Aku ingin merasakan badai yang mengguncang tanpa ampun. Membuatku tersiram air garam basah dan tak ada pilihan. Merasakan keputusasaan terombang-ambing karena sebenarnya perjalanan masih panjang atau tiba-tiba bisa berhenti saat itu juga.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

Nasionalisme itu gimana?

Aku tak yakin kapan terakhir kali mendengarkan lagu Indonesia Raya. Dan ya, aku yakin aku akan menukar-nukar liriknya tanpa sadar. Selama 11 tahun upacara bendera dan acara formal lainnya, juga bisa dihitung hanya berapa kali aku memejamkan mata, itupun karena kepanasan.

About (effective) crying

Lot of things happened recently. And to document what happened isn't easy for me, especially to express it verbally. But recent moments is enough to (again) realize and take a look on something: the more I resist to deny that I never cry, the more I have this ability to recall each tears I've spent on something. The more I want stuff to happen, the more likely it won't happened at all. The more I did not expect something foolishly, the more calmness followed.