Pagi itu kelas keakhwatan di pesantrenku kosong karena ustadzah yang mengampu berhalangan hadir. Jadilah pemandu kami menugaskan kami untuk menulis tentang peran perempuan secara umum. Here's my answer.
Sebelum saya menjawab pertanyaan di atas, saya ingin mengkritik penggunaan kata perempuan. Perempuan, dalam studi sastra, diketahui sebagai "yang dipunyai". Perempuan hanya akan terlihat perannya jika ia sudah memiliki empunya. Dan pikiran maupun sikap menafikkan kontribusi mereka sebelum mereka dimiliki (atau bagaimana jika mereka memilih untuk tidak dimiliki?), adalah hal yang saya tidak sepakati.
Sebagai gantinya, menurut saya akan lebih pas jika kata tersebut diganti dengan wanita. Mereka yang sudah baligh sampai nama mereka sudah tiada lagi, pantas disebut seorang wanita. Pantas dianggap karena kebermanfaatannya atau karena perannya telah dimainkan dengan apik.
Peran pertama dari seorang wanita adalah menjadi Penghamba yang Baik. Ingat kisah tentang Maryam binti Imran kan? Kisahnya di Al Quran diceritakan dengan penuh penghormatan (Ali Imran :37) dan pengakuan bahwa ia adalah seorang ahli ibadah yang selalu menjaga kesuciannya (Ali Imran :45-47). Maryam yang tahu kedudukannya di bawah kendali Tuhannya sama sekali tak pernah mengundang murka, menurut saya, seorang wanita juga harus terus mengupayakan ridlo dari Tuhannya, dalam perkara apapun. Istilahnya, habis Allah, Allah lagi.
Peran kedua adalah menjadi Administratur yang Ulung. Ingat tentang Khadijah binti Khuwailid dan bagaimana beliau menjadi pemimpin tunggal dalam perusahaannya dalam bidang perdagangan? Ya, seorang wanita harus mempunyai kemauan dan kemampuan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Di dalamnya termasuk pelaksaanaan kewajiban, penunaian hak, manajemen perasaan, dan intuisi dan logika yang tajam untuk problem solving. "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya" (HR Al Bukhari dan Muslim). Jika mengurus diri ssendiri saja masih ga karuan bagaimana kita meyakinkan-Nya untuk menitipi kita amanah yang lebih besar, misal contohnya rumah suami dan anak-anaak.
Sudah lihat gambaran umumnya? Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid diakui kapabilitasnya oleh Allah bahkan saat mereka belum dimiliki oleh siapapun (terlebih Maryam, yang dituliskan untuk tidak mempunyai suami sampai meninggal). Mereka berdua adalah bukti bahwa seorang wanita sudah utuh, seorang anak manusia itu sudah utuh dan tak perlu menunggu "pemiliknya" untuk dilegalisir perannya dalam masyarakat.
Yang terakhir, yaitu menjadi Ibu. Seorang wanita diberi kehormatan untuk menjadi tempat inang seorang calon manusia utuh sebelum ia dilahirkan di dunia. Bahkan saat di perut ibulah, saat bakal calon manusia tersebut mendapat hak untuk dituliskan tentang semua jatahnya di dunia, dibentuk wajahnya, dan diberi ruh.
Menjadi seorang ibu adalah suatu kehormatan tertinggi bagi seorang wanita. Karena setelah seorang wanita berganti status menjadi ibu, skala prioritasnya berubah, dan bentuk ibadahnya pun berubah. Tanpa dipaksa, seorang ibu akan mengganti waktu shalat dhuhanya untuk menemani anaknya yang tertatih membaca huruf hijaiyah (misal).
Kemana peran wanita sebagai istri? Menurutku, hal tersebut sudah tercakup dalam poin kedua. Seorang administratur ulung pandai mengkalkulasikan resiko di setiap semua pilihannya. Jika pada masanya ia memilih seorang manusia utuh lain untuk berkolaborasi sepanjang hidupnya, maka ia juga paham betul akan penyesuaian-penyesuaian yang harus terjadi.
Bagaimana dengan pernyataan bahwa wanita adalah madrasah pertama bagi anak? Ya, aku setuju, dan bukankah sudah aku sebutkan di contoh poin ketiga? Tapi hal tersebut tidak bisa meniadakan peran ayah. Ayah yang berkompeten dalam mendidik anak juga penting jika ingin membangun madrasah berkualitas yang berkelanjutan. Toh, sang administratur dan sang raja sudah sepakat untuk terus menjadi tim yang solid selama takdirNya masih menggariskan garis mereka sejajar bukan?
Sebelum saya menjawab pertanyaan di atas, saya ingin mengkritik penggunaan kata perempuan. Perempuan, dalam studi sastra, diketahui sebagai "yang dipunyai". Perempuan hanya akan terlihat perannya jika ia sudah memiliki empunya. Dan pikiran maupun sikap menafikkan kontribusi mereka sebelum mereka dimiliki (atau bagaimana jika mereka memilih untuk tidak dimiliki?), adalah hal yang saya tidak sepakati.
Sebagai gantinya, menurut saya akan lebih pas jika kata tersebut diganti dengan wanita. Mereka yang sudah baligh sampai nama mereka sudah tiada lagi, pantas disebut seorang wanita. Pantas dianggap karena kebermanfaatannya atau karena perannya telah dimainkan dengan apik.
Peran pertama dari seorang wanita adalah menjadi Penghamba yang Baik. Ingat kisah tentang Maryam binti Imran kan? Kisahnya di Al Quran diceritakan dengan penuh penghormatan (Ali Imran :37) dan pengakuan bahwa ia adalah seorang ahli ibadah yang selalu menjaga kesuciannya (Ali Imran :45-47). Maryam yang tahu kedudukannya di bawah kendali Tuhannya sama sekali tak pernah mengundang murka, menurut saya, seorang wanita juga harus terus mengupayakan ridlo dari Tuhannya, dalam perkara apapun. Istilahnya, habis Allah, Allah lagi.
Peran kedua adalah menjadi Administratur yang Ulung. Ingat tentang Khadijah binti Khuwailid dan bagaimana beliau menjadi pemimpin tunggal dalam perusahaannya dalam bidang perdagangan? Ya, seorang wanita harus mempunyai kemauan dan kemampuan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Di dalamnya termasuk pelaksaanaan kewajiban, penunaian hak, manajemen perasaan, dan intuisi dan logika yang tajam untuk problem solving. "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya" (HR Al Bukhari dan Muslim). Jika mengurus diri ssendiri saja masih ga karuan bagaimana kita meyakinkan-Nya untuk menitipi kita amanah yang lebih besar, misal contohnya rumah suami dan anak-anaak.
Sudah lihat gambaran umumnya? Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid diakui kapabilitasnya oleh Allah bahkan saat mereka belum dimiliki oleh siapapun (terlebih Maryam, yang dituliskan untuk tidak mempunyai suami sampai meninggal). Mereka berdua adalah bukti bahwa seorang wanita sudah utuh, seorang anak manusia itu sudah utuh dan tak perlu menunggu "pemiliknya" untuk dilegalisir perannya dalam masyarakat.
Yang terakhir, yaitu menjadi Ibu. Seorang wanita diberi kehormatan untuk menjadi tempat inang seorang calon manusia utuh sebelum ia dilahirkan di dunia. Bahkan saat di perut ibulah, saat bakal calon manusia tersebut mendapat hak untuk dituliskan tentang semua jatahnya di dunia, dibentuk wajahnya, dan diberi ruh.
Menjadi seorang ibu adalah suatu kehormatan tertinggi bagi seorang wanita. Karena setelah seorang wanita berganti status menjadi ibu, skala prioritasnya berubah, dan bentuk ibadahnya pun berubah. Tanpa dipaksa, seorang ibu akan mengganti waktu shalat dhuhanya untuk menemani anaknya yang tertatih membaca huruf hijaiyah (misal).
Kemana peran wanita sebagai istri? Menurutku, hal tersebut sudah tercakup dalam poin kedua. Seorang administratur ulung pandai mengkalkulasikan resiko di setiap semua pilihannya. Jika pada masanya ia memilih seorang manusia utuh lain untuk berkolaborasi sepanjang hidupnya, maka ia juga paham betul akan penyesuaian-penyesuaian yang harus terjadi.
Bagaimana dengan pernyataan bahwa wanita adalah madrasah pertama bagi anak? Ya, aku setuju, dan bukankah sudah aku sebutkan di contoh poin ketiga? Tapi hal tersebut tidak bisa meniadakan peran ayah. Ayah yang berkompeten dalam mendidik anak juga penting jika ingin membangun madrasah berkualitas yang berkelanjutan. Toh, sang administratur dan sang raja sudah sepakat untuk terus menjadi tim yang solid selama takdirNya masih menggariskan garis mereka sejajar bukan?
Comments
Post a Comment