Aku selalu kagum pada kata “awal”. Bukankah kita semua punya
awal? Kata pertama, pertemuan pertama, pengakuan pertama, dan kematian pertama.
Apa yang pada di awal sedikit banyak berpengaruh kepada apa yang ada sekarang,
dan sebenarnya, awal adalah akhir dari sesuatu yang lain.
Daftar yang terus menerus aku tahan agar aku tidak
membuatnya adalah daftar pertanyaan kepada suamiku nanti. Daftar pertanyaan
berawalan dengan kenapa dan bagaimana. Agaknya seram dan kurang sopan, apabila
nanti kebersamaan kami hanya dihabiskan untuk menjawab pertanyaanku, bukan? Dia
juga berhak bertanya.
Tapi biar kali ini kuketik sedikit rasa penasaranku itu. Aku
hanya mengenal sebatas sampai orang tua dari orang tuaku, tapi somehow aku ingin tau lebih jauh dari
itu. Bukan melebar, tapi ke atas. Aku ingin tahu aku keturunan siapa dan
bagaimana bebuyutku menikah dengan pasangannya. Apa pentingnya? Susah
kujelaskan, tapi agaknya aku dibuat kagum dengan beberapa penjelasan nasab
seorang manusia mulia yang ditulis dari berbagai sudut pandang.
Dan itu juga yang aku ingin tanyakan pada seseorang yang
sudah berani menjabat tangan ayahku di depan penghulu. Kakek dan dari kakeknya
itu siapa? Dari Indonesia bagian mana? Atau bukan dari Indoensia? Walau
pertanyaannya bisa dilebarkan menjadi apa peninggalan yang ada sampai sekarang,
entah berupa nasihat atau kisah, dan bagaimana kontribusi mereka terhadap umat,
sekali lagi aku tekankan, aku tidak mau jadi teman hidup yang egois harus
selalu mendapat jawaban saat itu juga.
Penasaranku yang lain adalah tentang keadaan default seseorang. Pasti ada awalnya,
pasti ada alasannya kenapa ia memilih respon tertentu terhadap suatu masalah
atau fenomena sosial yang terjadi. Kenapa dia terlampau pemalu? Kenapa dia suka
menyapa semua orang , yang bahkan sadar keberadaannya pun tidak? Kenapa ia
selalu memposisikan diri sebagai korban?
Awal mempunyai misterinya sendiri, walau sumbernya sendiri sudah
jelas, namun rentetan kisah yang lain sebelum menuju Ia itu patut diselidiki.
Bukankah banyak garis bersilangan dan saat ditanyakan
ceritanya, para pelaku menggunakan diksi “Awalnya sih...”? Dengan diksi yang
sama juga, pelaku bisa menjelaskan kenapa garis yang sama sudah tidak bisa
sejajar lagi.
Bukankah beberapa sunnah juga diawali dari
pertanyaan-pertanyaan tentang fenomena yang baru pertama kali terjadi?
Bukankah juga banyak dari akhir yang sangat berbeda dari
awal, tapi predikat “beda” itu sendiri tidak akan bisa disematkan jika tidak
ada kondisi awal?
Aku tertarik dengan awal seseorang. Sejak kapan ia memutuskan
untuk menonaktifkan medsosnya? Kenapa? Sejak kapan ia percaya bahwa golongan
darah benar-benar berpengaruh terhadap kepribadian? Kenapa? Bagaimana ayah dan
ibunya bertemu? Kenapa adiknya sangat bergantung padanya? Kenapa beberapa orang
merasa terancam dengan kehadirannya?
Semua memiliki awal. Dan jika mengacu pada teori prime nover, maka akan ada banyak sesuatu yang bergerak mempengaruhi sesuatu yang lain (walaupun awal pengaruh ditetukan oleh satu Dzat).
Saat kita mempelajari kepribadian seseorang, entah dari keluarganya atau dari temannya, sebenarnya kita sedang berusaha mencari "awal". Awal panggilan kesayangannya di rumah, awal kebiasaan buruknya, awal baju favoritnya, awal ejekan teman SMAnya.
Awal, punya ceritanya sendiri dan akan menemukan cara untuk diceritakan sesuai dengan siapa yang mendengar. Terdengar seperti sejarah? mungkin.
Saat kuketik ini, aku sedang diserang dengan banyak pertanyaan awal tentang diriku sendiri. Dan di luar dugaan, jawaban yang aku temukan bisa jadi alasan ampuh saat diri ini mulai menggampangkan segala sesuatu yang menyamarkan diri dengan kata yang lebih diplomatis, tanggungjawab.
Comments
Post a Comment