Skip to main content

Tentang Perseptif

Akan tiba masanya manusia mengkritisi eksistensi hidupnya secara utuh. Saat itu semua keyakinan lama yang telah terpatri bisa menguap. Semua pemikiran bawah sadar yang telah tersusun rapi di benak juga bisa habis tak bersisa. Lalu pertanyaannya, apakah kita bisa mengulang kembali menyusun ketunggalan kita dari serbuk-serbuk kebenaran dengan keyakinan yang hakiki? 
Meragu adalah fitrah manusia. Hal lumrah yang teramat normal dialami makhluk berakal. Bahkan keberakalan suatu entitas dapat dicek dengan pernah tidaknya entitas tersebut dalam meragu. Lalu apa guna diciptakannya hal ini bagi manusia? Bagi saya cukup sederhana: agar kita terbebas dari beban akal.
 
Akal menjaga manusia dari kebodohan dengan segala keajaiban dan fungsionalitasnya. Tiap kejadian yang berasal dari akal menuntut manusia berbuat dengan perbaikan berkelanjutan. Dan meragu menjadi tandingan sepadan bagi akal dalam bertindak. Tanpa ragu, kita tidak akan benar-benar yakin. Tanpa ragu kalau jatuh itu sakit, manusia tidak akan sadar pentingnya selalu mawas diri. Tanpa ragu bahwasanya ketidakmengertian hanya akan berujung susah, manusia tidak akan pernah belajar. Tanpa ragu saat mengkritisi Tuhan, manusia tidak akan pernah benar benar berjuang untuk bermanfaat bagi sekitar. Tanpa pernah ragu, mustahil akan ada ketenangan akal.
 
Terkait meragu pada konteks transenden, saya memiliki pemikiran bahwa keengganan manusia mengkritisi suatu ajaran keagamaan sama halnya dengan mengerdilkan keberadaan Tuhan.
 
Bagi saya, ketika manusia berani mengkritisi suatu hal fundamental dan sakral seperti dogma agama dapat menunjukkan keberanian manusia tersebut terhadap hal sekitar. Kalau hal-hal yang mutlak saja mampu untuk dikritisi, mengapa alam semesta yang masih menjadi misteri saja tidak? Kalau hal-hal urgent telah habis kita ragukan, mengapa hal-hal trivial tidak mampu kita lakukan. Akhir dari alur proses kritis ini adalah manusia akan merasa puas pada suatu titik dimana keraguan tersebut dapat terjawab. Proses kritis inilah yang berulang hingga akhir periode manusia di dunia.
 
Lalu bagaimana realitanya? Kesalahan dan malpraktek tidak luput dari proses kritis ini. Keengganan untuk mengevaluasi kekritisan dan menerima masukan malah menjadikan proses kritis melampaui batas. Banyak manusia menyatakan kekritisan dengan bentuk celaan, makian, hujatan, dan yang paling membuat saya tidak habis pikir adalah tuduhan tak berdasar serta tanpa bukti nyata. Kumpulan manusia yang menyatakan diri kritis tersebut berpikir bahwa kritis itu legal disertai dengan emosi dan bias. Padahal berbicara kritis adalah berbicara tentang kurang dan lebih. Berbicara kritis adalah berbicara tentang penerimaan secara terbuka segala jenis informasi kredibel dibarengi dengan keinginan kontinu untuk menelusuri informasi tersebut. Malpraktek terjadi saat secara egois kritis dijadikan kambing hitam atas informasi yang dibalut dengan prasangka-prasangka menjijikkan. Padahal dalam asas kemanusiaan ajaran manapun, hal tersebut sangatlah hina untuk dilakukan.
 
Kritis adalah tentang mengasah akal untuk terus menguji keterbukaan informasi dengan benar. Kritis adalah tentang kesiapan menerima kemungkinan terburuk suatu keadaan. Kritis adalah praktik membela diri kita untuk berjuang di jalan keadilan.
 
Pernah mendengar ungkapan para atheis akan keTuhanan? Saya salut akan perjuangan mereka di medan perang. Perang pemikiran. Mereka belum selesai mengkritisi eksistensi diri mereka sendiri.
 
Pernah mendengar ungkapan muslim pernah berjaya namun sekarang terpuruk? Saya pikir kecenderungan mayoritas muslim untuk perlahan berhenti mengkritisi Tuhan dari 5 abad lalu menjadikan mereka terlalu peduli atas kepercayaan orang lain yang sebenarnya kurang penting.
 
Pernah mendengar ungkapan Indonesia akan maju dengan pemikiran? Saya miris akan orang yang merutuk ketidakadilan namun masih tercemar kemunafikan ketika diajak berbenah. Kritis menular dari pikiran. Ketika dalam pikir kita sudah adil, apakah masih kita rela tak adil dalam perlakuan? Ketika kritis sudah menjadi kebiasaan, apakah masih ada ragu menyisa untuk menebar kebaikan?
 


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.

Wanita dan Peranannya

Pagi itu kelas keakhwatan di pesantrenku kosong karena ustadzah yang mengampu berhalangan hadir. Jadilah pemandu kami menugaskan kami untuk menulis tentang peran perempuan secara umum. Here's my answer.