Skip to main content

Scene 3

Lelaki itu kini datang sendiri.


Kemana teman perempuannya yang dandanannya seperti gula-gula itu? Kemana pula kameranya? Pandangan pertama lelaki bernama Yudha itu ke posisi sofa yang dulu ia duduki, ah sofa nya sedang kujemur di belakang. Aku tersenyum.
“Kamu yang bikin kartu pos ini?”

“Iya”

“Gimana?”

“Maksudnya?”

“Gimana cara bikinnya? Aku mau belajar”

“Untuk?”

“Untuk kemudian aku ajari lagi ke orang lain”

“Siapa?”

“Anak-anak mereka yang tak menerima suratku”

Dan aku teringat nasehat teman perempuannya di hari yang mendung itu.

Sudah hampir satu tahun belum ada kiriman surat atau kartu pos dari kak Arum. Aku masih merapal namanya keras keras dalam kebisuan sepertiga malamku. Surat terakhir mengabari bahwa ia pindah kota, dan ibu inangnya tak kuasa menahan tangis membantu pindahannya. Surat itu kemudian dibalasku dengan kabar kelulusanku tahun ini dan segera menyusulnya. Tak ada jawaban. Sampai sekarang. Apa kakak tak menginginkan kehadiranku di sana?
Ibu biologisku sendiri sudah beberapa kali ke rumah, kecewa mendapati rumah kosong. Aku selalu tak ada di rumah. Lihat? Betapa takdir juga sudah enggan mempertemukan kita. Aku bisa dibilang beruntung karena itu. Lebih mudah bagiku untuk tidak menemuinya, lebih mudah untuk tidak merasa kecewa atas pilihan keduanya yang jatuh kepada teman SMAnya, dan bukan anak kandungnya.

Kau disana, yang membaca tulisan ini, pahamkah kau sakitnya?

Terus menggenapi tanpa tau kapan akan digenapi.

Ah iya, kau perlu tau reputasiku. Aku dikenal “belut” di kampus, karena alasan yang sama aku disebali oleh teman-temanku sendiri karena selalu menanyai pertanyaan yang susah saat mereka presentasi. Tak cukup disitu, setelah mendapat jawaban dari mereka, aku juga kelihatan tak pernah merasa cukup, dan akhirnya bertanya lagi. Jika kau ada kenalan yang menyebalkan, iya anggaplah aku seperti dia.
Mungkin, aku suka bertanya hal yang berbeda kepada orang lain karena banyak pertanyaan yang sama dalam hidupku sendiri yang belum terjawab.

Lelaki itu akan datang lagi janjinya. Ia akan membawa kerta karton, kertas krep, kulit jagung, pewarna dan cat air. Dan hari ini ia benar-benar datang, tapi bukan dengan perlengkapan yang dijanjikannya, melainkan dengan seorang anak.
Anak itu sungguh pemalu, tak cukup dengan menyembunyikan wajahnya di kaki Yudha, dia juga menutup matanya seakan aku adalah petinggi pabrik gula jaman Belanda yang suka membeli anak gadis pingitan.

“Namanya Yuli. Dia satu-satunya yang membalas suratku.” Kata Yudha bangga. Ah aku iri dengannya, cintanya mulai terbalas satu per satu.

Aku tersenyum lemah.

“Ini namanya kak Jenak. Dia suka bikin kartu pos. Ini kaya gini ni....Bagus ya? Yuli nanti bisa kirim buat mas Yudha juga kalau sudah bisa bikin sendiri”
Anak itu mengangguk riang. Kemudian bertanya “Mbak Jenak itu bu pos?”. Dan aku sukses dibuatnya tertawa. Dan sisa sore itu, entah mengapa ku tak mau menceritakannya pada kalian. Aku menambah daftar dalam “yang harus kucintai”.

Kuberanikan mengirim surat lagi kepada kak Arum, dan disanalah aku bertemu dengannya.
“Jenak” pekiknya senang. Aku menoleh, dan ya, perkenalkan, ia ibu biologisku. Ia sedang mengurus surat penerimaan beberapa kiriman barang, dari luar negeri. Waktu kutanya itu apa, ia mengalihkan topik pembicaraan. Itu apa?

Ia mengajakku mampir, tentunya. Aku menolak, pastinya. Jika ingin bertemu denganku lama, aku memintanya datang ke rumah. Seharusnya kenangan bersama ayah, dan dua anak kandungnya ini akan membuatnya risih, kan? Itu teoriku. Ia pamit pulang.

“Tunggu” teriak seorang pemuda, aku tak tahu siapa. Pada dasarnya aku tak tahu siapa-siapa di kampus. Aku menoleh enggan, sekali.

“Kata Rima kau di rumah ada taman bacaan? Boleh aku mampir?”

“Memang untuk umum. Silahkan.” Lalu dia pergi setelah mengangguk paham.

Siapa ya namanya? Usahaku mencari memori yang ada sangkut pautnya dengan namanya gagal. Yang teringat hanya aku sering tanpa sengaja membuatnya malu di depan kelas. Ya, dengan pertanyaan-pertanyaanku dan saran bacaanku untuknya. Sungguh, ia pintar berteori, sayang ia kurang baca dan tak tahu bahwa teori luar biasanya itu sudah tertuang dalam buku.

Yuli datang. Sendiri. Aku yang bingung bertanya ia kesini dengan siapa, katanya dengan abang becak. Lalu pertanyaan yang lain kupendam sendiri.

Yuli menitipkan banyak kertas karton yang basah dengan cat air dan lem untuk dikeringkan di halaman belakang. Katanya, besok waktu ulang tahun, ia akan membagikan ke semua anak panti. 

Yuli yatim piatu, neneknya meninggal terkena serangan jantung saat penggusuran oleh buldozer dari 
perusahaan minyak sawit papanya Yudha.

Kubuatkan ia nasi goreng. Betapa lahap ia makan, aku lalu malu karena tak bisa menambahkan pun suwiran ayam atau sayur di dalamnya. Ia bilang, aku pemasak ulung.

Katanya, ia satu-satunya anak yang masuk panti asuhan karena anak-anak lain masih bisa pergi dengan orang tua mereka. Surat-surat dari Yudha terus berdatangan. Untuk satu per satu kepala keluarga dan anak mereka yang sebaya dengan Yudha. Baru akhir ini Yuli tahu, ternyata surat dari 

Yudha tak pernah mereka balas dan bahkan teman Yuli, April, tangannya dikenai puntung rokok oleh ayahnya sendiri karena mau ikut dengan Yudha sekedar untuk dibelikan es teh.

Sore itu, kuantar Yuli balik ke panti asuhannya. Lalu di jalan aku lupa ada kenalan kampusku yang mau ke rumah. 

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.