Lelaki itu kini datang sendiri.
Kemana teman perempuannya yang dandanannya seperti gula-gula
itu? Kemana pula kameranya? Pandangan pertama lelaki bernama Yudha itu ke
posisi sofa yang dulu ia duduki, ah sofa nya sedang kujemur di belakang. Aku
tersenyum.
“Kamu yang bikin kartu pos ini?”
“Iya”
“Gimana?”
“Maksudnya?”
“Gimana cara bikinnya? Aku mau belajar”
“Untuk?”
“Untuk kemudian aku ajari lagi ke orang lain”
“Siapa?”
“Anak-anak mereka yang tak menerima suratku”
Dan aku teringat nasehat teman
perempuannya di hari yang mendung itu.
Sudah hampir satu tahun belum ada kiriman surat atau kartu
pos dari kak Arum. Aku masih merapal namanya keras keras dalam kebisuan sepertiga
malamku. Surat terakhir mengabari bahwa ia pindah kota, dan ibu inangnya tak
kuasa menahan tangis membantu pindahannya. Surat itu kemudian dibalasku dengan
kabar kelulusanku tahun ini dan segera menyusulnya. Tak ada jawaban. Sampai
sekarang. Apa kakak tak menginginkan kehadiranku di sana?
Ibu biologisku sendiri sudah beberapa kali ke rumah, kecewa
mendapati rumah kosong. Aku selalu tak ada di rumah. Lihat? Betapa takdir juga
sudah enggan mempertemukan kita. Aku bisa dibilang beruntung karena itu. Lebih
mudah bagiku untuk tidak menemuinya, lebih mudah untuk tidak merasa kecewa atas
pilihan keduanya yang jatuh kepada teman SMAnya, dan bukan anak kandungnya.
Kau disana, yang membaca tulisan ini, pahamkah kau sakitnya?
Terus menggenapi tanpa tau kapan
akan digenapi.
Ah iya, kau perlu tau reputasiku. Aku dikenal “belut” di
kampus, karena alasan yang sama aku disebali oleh teman-temanku sendiri karena
selalu menanyai pertanyaan yang susah saat mereka presentasi. Tak cukup disitu,
setelah mendapat jawaban dari mereka, aku juga kelihatan tak pernah merasa
cukup, dan akhirnya bertanya lagi. Jika kau ada kenalan yang menyebalkan, iya
anggaplah aku seperti dia.
Mungkin, aku suka bertanya hal
yang berbeda kepada orang lain karena banyak pertanyaan yang sama dalam hidupku
sendiri yang belum terjawab.
Lelaki itu akan datang lagi janjinya. Ia akan membawa kerta
karton, kertas krep, kulit jagung, pewarna dan cat air. Dan hari ini ia
benar-benar datang, tapi bukan dengan perlengkapan yang dijanjikannya,
melainkan dengan seorang anak.
Anak itu sungguh pemalu, tak cukup dengan menyembunyikan
wajahnya di kaki Yudha, dia juga menutup matanya seakan aku adalah petinggi pabrik
gula jaman Belanda yang suka membeli anak gadis pingitan.
“Namanya Yuli. Dia satu-satunya yang membalas suratku.” Kata
Yudha bangga. Ah aku iri dengannya, cintanya mulai terbalas satu per satu.
Aku tersenyum lemah.
“Ini namanya kak Jenak. Dia suka bikin kartu pos. Ini kaya
gini ni....Bagus ya? Yuli nanti bisa kirim buat mas Yudha juga kalau sudah bisa
bikin sendiri”
Anak itu mengangguk riang.
Kemudian bertanya “Mbak Jenak itu bu pos?”. Dan aku sukses dibuatnya tertawa.
Dan sisa sore itu, entah mengapa ku tak mau menceritakannya pada kalian. Aku
menambah daftar dalam “yang harus kucintai”.
Kuberanikan mengirim surat lagi kepada kak Arum, dan
disanalah aku bertemu dengannya.
“Jenak” pekiknya senang. Aku menoleh, dan ya, perkenalkan,
ia ibu biologisku. Ia sedang mengurus surat penerimaan beberapa kiriman barang,
dari luar negeri. Waktu kutanya itu apa, ia mengalihkan topik pembicaraan. Itu
apa?
Ia mengajakku mampir, tentunya.
Aku menolak, pastinya. Jika ingin bertemu denganku lama, aku memintanya datang
ke rumah. Seharusnya kenangan bersama ayah, dan dua anak kandungnya ini akan
membuatnya risih, kan? Itu teoriku. Ia pamit pulang.
“Tunggu” teriak seorang pemuda, aku tak tahu siapa. Pada
dasarnya aku tak tahu siapa-siapa di kampus. Aku menoleh enggan, sekali.
“Kata Rima kau di rumah ada taman bacaan? Boleh aku mampir?”
“Memang untuk umum. Silahkan.” Lalu dia pergi setelah
mengangguk paham.
Siapa ya namanya? Usahaku
mencari memori yang ada sangkut pautnya dengan namanya gagal. Yang teringat
hanya aku sering tanpa sengaja membuatnya malu di depan kelas. Ya, dengan
pertanyaan-pertanyaanku dan saran bacaanku untuknya. Sungguh, ia pintar
berteori, sayang ia kurang baca dan tak tahu bahwa teori luar biasanya itu
sudah tertuang dalam buku.
Yuli datang. Sendiri. Aku yang bingung bertanya ia kesini
dengan siapa, katanya dengan abang becak. Lalu pertanyaan yang lain kupendam
sendiri.
Yuli menitipkan banyak kertas karton yang basah dengan cat
air dan lem untuk dikeringkan di halaman belakang. Katanya, besok waktu ulang
tahun, ia akan membagikan ke semua anak panti.
Yuli yatim piatu, neneknya
meninggal terkena serangan jantung saat penggusuran oleh buldozer dari
perusahaan minyak sawit papanya Yudha.
Kubuatkan ia nasi goreng. Betapa lahap ia makan, aku lalu
malu karena tak bisa menambahkan pun suwiran ayam atau sayur di dalamnya. Ia
bilang, aku pemasak ulung.
Katanya, ia satu-satunya anak yang masuk panti asuhan karena
anak-anak lain masih bisa pergi dengan orang tua mereka. Surat-surat dari Yudha
terus berdatangan. Untuk satu per satu kepala keluarga dan anak mereka yang
sebaya dengan Yudha. Baru akhir ini Yuli tahu, ternyata surat dari
Yudha tak
pernah mereka balas dan bahkan teman Yuli, April, tangannya dikenai puntung
rokok oleh ayahnya sendiri karena mau ikut dengan Yudha sekedar untuk dibelikan
es teh.
Sore itu, kuantar Yuli balik ke panti asuhannya. Lalu di
jalan aku lupa ada kenalan kampusku yang mau ke rumah.
Comments
Post a Comment