Skip to main content

Belajar Dari Sakit

Merujuk ke berbagai permainan yang beredar, naik level kurang lebih dapat dimengerti sebagai penambahan rintangan yang dihadapi serta penambahan kecakapan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan misi selanjutnya. Lalu ketika suatu saat kita ingin menghentikan permainan sejenak, banyak dari konsol permainan yang menyediakan pilihan untuk menyimpan progresi capaian dalam suatu masa. Untuk selanjutkan dapat langsung dilanjutkan ke masa tepat dimana progresi tersimpan. Meski hidup hakikatnya mirip dengan permainan, ternyata ia tidak menyediakan opsi tersebut. Beruntunglah bagi mereka yang paham.
 
Sebelumnya tulisan ini merupakan tulisan bertema yang seharusnya dipublikasikan bulan lalu bersama satu tulisan lainnya. Namun karena keterbatasan penulis sebagai manusia, akhirnya baru dapat terrealisasikan sekarang. Semoga tidak terulang dan selamat membaca!
 
Berangkat dari permainan, saya sering berfikir bahwa kadang manusia lupa kalau mereka butuh istirahat. Mereka ini melakukan forsir terhadap hal yang dikerjakan dengan pertimbangan akibat kurang. Hingga pada suatu titik energi yang dimiliki tidak mampu lagi digunakan untuk bekerja. Atau lebih parah, hingga suatu titik dimana onderdil yg terpakai udah ndak mampu lagi bekerja.

Tapi kalau hanya masuk ranah berpikir, manusia memang benar benar bandel ya. Mereka paham risiko. Tapi mereka tetap menempuh risiko yang mereka pahami. Kenapa? Mungkin illusion of control bisa jadi alternatif jawaban. Sisanya? Entahlah. Mungkin dogma take something for granted masih diimani banyak insan.

Saya ingat betul beberapa hari paska graduasi saya sakit. Sakit yang tidak biasa saya alami. Karena mengalami kondisi ini, hampir semingguan saya menghabiskan hari dengan mengistirahatkan semua yang saya pikir mampu diistirahatkan. Kalau bukan karena duty saya sebagai hamba, mungkin keseharian saya hampir mirip dengan binatang. Menyedihkan memang kalau diingat dan dikaitkan dengan banyak rencana yang telah disusun seselesainya urusan administrasi setelah lulusan tersebut. Tapi atas semua hal terjadi, syukur saya tetaplah utuh.

Selama sakit saya jadi ingat banyak hal baik menghampiri saya. Ayah yang tak biasanya pulang sebelum ashar, waktu itu hampir dapat diajak ngobrol kapan saja selepas zuhur. Kelalaian saya pada pekerjaan rumah yang biasanya berujung pada untaian nasehat panjang tidak nampak lagi. Produksi asap di dapur rumah yang belakangan bertambah drastis. Pun hingga dosen yang saya hubungi memberikan kabar gembira di saat yang tak disangka sangka

Mungkin kalau saya tidak sakit, saya akan terus berlaku tidak adil terhadap badan saya. Melalaikan hak mereka yang harus saya tunaikan.

Mungkin kalau saya tidak sakit, saya tidak akan ingat akan resolusi-resolusi yang telah lama terpendam di catatan. Yang mungkin selamanya hanya akan jadi coretan.

Mungkin kalau saya tidak sakit, saya akan terus tergesa dalam mengambil keputusan. Tidak mengindahkan berbagai macam bentuk kebaikan yang sudah lama tidak saya lakukan.

Dan mungkin kalau saya tidak sakit, saya tidak akan ingat akan banyak tali-tali persahabatan yang telah lama saya abaikan.

Jadi. Belajar apa kalian dari sakit?

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.