“Ini Jihad”
Awalnya aku dibuat ngeri oleh tulisan-tulisan mereka yang
mencaci pemerintah. Begitu dalam kebencian yang mereka punya kepada sosok yang
sudah diberi legitimasi untuk mengemban amanah sebagai kepala negara sekaligus
kepala pemerintahan itu. Begitu luas mereka ingin menyebarkan pemahaman bahwa
sang nomor satu harus turun tahta, padahal kami melihat sendiri ia disumpah
dengan Al Quranul Karim.
Aku, yang kurang paham biduk permasalahan, masih dibuat
gentar untuk ikut membenci. Alasannya sederhana, tak pernah ada di sejarah
Islam, ulama menggerakkan ummat untuk menentang pemerintah. Ganjil. Sedangkan
hari ini, ulama yang disini dan disana terlihat berbeda pendapat.
Pagi itu, pagi dimana umat Islam berkumpul untuk meminta
keadilan atas kasus penistaan agama, selalu cerah.
Dan aku, di bagian bumi lain, sebenarnya selalu kethar-kethir. Massa sebanyak itu,
semuanya bisa terjadi.
“Ini Jihad”
Merinding, aku merinding menjadi saksi bagaimana rencana
beberapa dari mereka, merinding juga atas pengorbanan dan keberanian mereka,
merinding melihat fakta bahwa aku bisa melihat bibit kerusuhan yang mungkin
pada awal hidupku yang terlewatkan (tahun 1998).
Beruntung kami punya beberapa ulama yang pengertian. Mereka
yang berilmu, menyetir energi kami untuk mendoakan banyak-banyak agar masalah
ini cepat selesai. Untuk membakar ghirah kami.
Tanpa menampakkan rasa jijik atau “peluru” untuk dilesatkan ke kepala sang
nomor satu.
Masalah selesai disitu? Tidak.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah banyaknya ajakan untuk
membenci, padahal objeknya keliru.
Membenci suatu etnis misalnya. Mungkin
mereka lupa soal hal yang sama lah yang juga menyebabkan saudara-saudara kita
diusir dari kampung halaman mereka.
Mendiskreditkan suatu ras menurutku sungguh tidak masuk
akal, apalagi kita terbiasa hidup secara heterogen, lebih penting lagi adalah
karena etnis tersebut secara spesifik tidak dihinakan oleh Al Quran itu sendiri.
Panggil aku lembek, tapi lahir dalam suku mayoritas juga
tidak membuatku merasa unggul dan tidak mau bekerjasama dengan suku lainnya.
Teman laki-lakiku cina, dan dia senang hati meminjamkan kaus kakinya sebagai
ganti kaus kakiku yang kotor terkena kencing anjingnya. Padahal ia punya
pilihan untuk membiarkanku pulang dengan mata kaki terlihat.
Panggil aku lembek, tapi aku juga merasa tak benar jika
harus menyebut mereka dengan sebutan “cino”, “singkek”, atau semacamnya hanya
karena perbedaan lebar mata dan warna kulit. Beberapa lebaran lalu aku shalat
di masjid orang cina, Masjid Cheng Ho di Surabaya, dan itu kali pertama aku
lihat kaligrafi dipadankan dengan arsitektur oriental. Bukan mainstream.
Pendapat pribadiku, aku temukan dalam kajian di YouTube yang
sebenarnya temanya membahas soal dosa-dosa wanita. Aku setuju bahwa itu bukan
jihad, tapi itu adalah bentuk reaksi rakyat terhadap mekanisme hukum pemerintah
yang lamban dan terkesan tebang pilih. Rakyat berhak melakukan demonstrasi, hal
yang dilindungi undang-undang. Tapi untuk jihad? Agaknya kita butuh referensi
lebih banyak ulama untuk mendefinisikannya.
Comments
Post a Comment