Skip to main content

Aku Temanmu yang Dulu

“...aku bukan orang asing karena kita semua berkelana, kita semua penuh pertanyaan yang sama, kelelahan yang sama, ketakutan yang sama, keegoisan yang sama, kemurahan hati yang sama. Aku bukan orang asing karena saat aku bertanya, aku mendapatkan jawaban. Saat aku mengetuk, pintu dibukakan. Saat aku mencari, aku menemukan.”


Untuk teman lama yang belum sempat aku temui,
Maafkan aku belum sempat mengetuk pintu rumahmu, maafkan juga karena saat aku datang kau selalu sedang pergi. Jarak tubuh kita terpaut ratusan kilometer dan bisa menjadi milyaran dalam waktu dekat, entah. Namun jika aku mengingatmu, aku teringat tentang panas terik kota dagang tempat masa kecil kita lalui. Aku ingat lilin terakhir mana yang padam dari kue ulang tahun adikmu. Aku ingat juga dulu aku sebal karena kau tak pernah menghabiskan makanan di piringmu.

Untuk temanku yang malu bercerita,
Sudah 8 tahun dan kita belum pernah duduk manis dalam satu gerbong kereta, bertukar cerita sampai kantuk dan penat mengambil alih kesadaran. Kita berkelana ke arah yang berbeda, dan kau selalu pintar membuatku bercerita hingga waktu sebentar habis meninggalkan sunyi dan pertanyaan menggantung bagi diriku sendiri. Baik kah kau disana?

Untuk temanku yang pintu rumahnya berhadapan dengan pintu masjid,
Waktu itu kita masih kecil dan aku ingat betul ayahmu bangga karena rumahnya dekat masjid. Kita sama-sama tak tahu maknanya, masih dibuat kecewa karena di rumah barumu  tidak ada pasir sebanyak rumah lamamu.

Untuk temanku yang suka warna merah,
Siang ini aku tak bisa rebahan tanpa memikirkanmu. Dulu, aku tanpa pikir panjang akan langsung datang ke rumahmu, membangunkanmu dari posisi tidur favoritmu, menghadap kipas angin. Tapi kota kita terlalu panas bukan? Buktinya kau selalu berkeringat, dan dengan sabarnya kau masih memelihara rambut panjangmu.

Untuk temanku yang suka melihatku dari kejauhan,
Malam perpisahan itu canggung, pun pertemuan-perpisahan selanjutnya. Aku ingin memelukmu lama, dan saat membuka mata akan mendapati diri kita yang dulu. Dua gadis dengan wajah bulat yang berbeda, yang satu berambut pendek dengan poni yang dipotong sendiri dan yang satunya lagi berambut panjang dikepang lalu diikat dengan gelang karet bekas es kucir. Lihat? Dengan penampilan seperti itu akankah kau sudi mengenaliku lagi?

Untuk temanku yang selalu membiarkanku jalan di depan,
Menyebalkan bukan berteman denganku yang selalu ingin menang? Yang selalu ingin jadi pengibar bendera dan pemukul saat olahraga kasti. Toh kau masih saja percaya membiarkanku memilih warna gabus untuk hiasan kamar yang kita buat di lapak depan sekolah. Kau selalu membiarkanku memilih jalan dan duduk di depan, padahal tempat duduk belakang sepedaku kecil dan kau masih dengan senang hati mengayuh untuk kita berdua.

Untuk temanku yang chat nya tidak lebih banyak dari kata yang kugumamkan pada diriku sendiri,
Jangan beri aku gambar kepala orang yang sedang menangis lagi. Rinduku sekarang jauh lebih besar daripada balasan gambar kepala orang yang mungkin kukirimkan padamu. Jangan katakan kita pasti bertemu, karena apa yang yang tidak digariskan tidak akan bertemu, kecuali kau mendoakanku. Ya, kecuali kau medoakanku, dan aku mendoakanmu.

Untuk temanku yang selalu kuharap kedatangannya di depan pintu rumah,
Aku bukan orang asing bagimu, sungguh, jangan kau ikuti aku dari lini masa akunku. Aku masih akan makan cokelat kacamata jika kau menawarkannya padaku, masih akan dengan senang hati mencarimu di masjid tempat eyangmu mengajar mengaji. Jangan kau pedulikan tag foto di kafe mewah itu, pun tweet ku yang kebanyakan soal kekecewaan dengan manusia.


Aku ingin menanyaimu, karena aku butuh menemukan gadis kecil berambut pendek itu kembali.

Comments

Popular posts from this blog

Notulensi Majelis Ilmu Jogokariyan : Burung dan Semut #Part1

Untuk pertama kalinya, saya akan mengangkat topik mengenai apa yang saya percaya disini. Meski sudah seyogyanya tiap apa yang kita lakukan berlandaskan percaya, pengangkatan topik yang baru sekarang ini tidak lain tidak bukan merupakan pembuka atas semua tulisan. Penjelasan bahwasanya segala yang saya lakukan (termasuk menulis disini) sebenarnya merupakan implementasi kepercayaan yang saya yakini. Hasil paling akhir dari sebuah proses percaya dan berpikir. Percaya tidak ada apa apanya bukan apabila hanya diamini dalam dada tanpa aksi nyata.

2k16

First of all. Sorry it took some times for the post. Both contributor had to span holidays and we agreed to postpone our writing for the next deadline. So here I am. Writing (dedicated to this blog) for the first time in 2k16.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

Introductory

Artist and scientist analyzes the world around them in surprisingly similar ways. We as two, thinker and feeler, have a mission. To document and observe the world around us as if we're never seen it before. To learn from it. And to make a better change of us. This is a museum of our finding. A storage of our thinking and feeling.

About (effective) crying

Lot of things happened recently. And to document what happened isn't easy for me, especially to express it verbally. But recent moments is enough to (again) realize and take a look on something: the more I resist to deny that I never cry, the more I have this ability to recall each tears I've spent on something. The more I want stuff to happen, the more likely it won't happened at all. The more I did not expect something foolishly, the more calmness followed.