Dalam periode menabung lagi untuk perjalanan selanjutnya,
aku tiba-tiba teringat kalimat salah satu kenalanku. “kamu terlalu pemilih,
Bil”.
Alasan di balik pernyataan itu subjektif parah, but kalau
dipikir lagi, adakah yang salah dengan itu? Waktu itu karena ada kerjaan divisi
yang mengharuskan kami bekerja sama, akhirnya aku memutuskan untuk membahas
beberapa hal dengannya. Tanpa merasa risih dan rahasia, ia menanyaiku tentang
“kriteria”. Aku jawab. Dan keluarlah pernyataan itu.
Aku ingin menertawakannya, karena kalimatnya selanjutnya
menakut-nakuti tentang tak ada sosok yang sempurna. WAIT, emang barusan aku
bilang aku sempurna juga?
Being picky adalah salah satu caraku untuk mencintai diri
sendiri. Aku tak segan untuk benar-benar melepas kebutuhanku akan yang
bersangkutan apabila dia sudah melanggar suatu nilai yang aku percaya. Dari
sinilah aku memutuskan untuk tidak pernah marah lagi, hanya berhenti peduli.
Lebih efektif.
Being picky berarti paham apa yang kita cari. Paham
tentang sesuatu yang pantas untuk kita, paham bahwa kita pantas juga terhadap
sesuatu tersebut. Paham bahwa kita siap, walaupun pada hakikatnya “the one” itu
bukan kita yang memilih.
Dari beberapa keadaan dimana negosiasi sebaiknya dihentikan
(Lewecki, 2007) terdapat satu variabel yang menyebabkan aku sendiri tidak
berminat untuk simpati lebih jauh kepada kenalanku ini, yaitu there’s nothing to gain.
Selama ini, being
picky memang menyebabkan masalah,
yang sebagian besarnya adalah rasa bersalah. Rasa bersalah karena beberapa kali
mereka terlanjur mengorbankan materi dan waktu mereka untuk membantuku. I
didn’t ask though.
Kepada seseorang yang menyebutku terlalu pemilih,
Aku menuliskan ini, karena suatu waktu perasaan bersalah itu muncul dan yang aku tahu, aku tak ada pilihan selain meminta maaf (walaupun sudah kulakukan sebelumnya). Aku menuliskan ini karena ingin mengoreksimu, ingin mengoreksi pernyataanmu. Tentu saja aku peduli, toh selama ini kita mengenal baik satu sama lain, bukan? Diantara kita, bukan aku yang tiba-tiba membalas dengan pendek dan salah tingkah saat berkumpul dengan yang lain. Aku tak pernah meminta apapun darimu, malah sebaliknya kau yang meminta ‘imbalan’, maka maafkan aku karena aku hanya manusia dan bukan tempat berharap. Biarkan aku menjadi pemilih, karena aku akan belajar mana kriteria yang benar-benar penting dan yang bukan. Dan, selamat berbahagia menemukan seseorang yang mau menerima kualifikasimu.
Aku menuliskan ini, karena suatu waktu perasaan bersalah itu muncul dan yang aku tahu, aku tak ada pilihan selain meminta maaf (walaupun sudah kulakukan sebelumnya). Aku menuliskan ini karena ingin mengoreksimu, ingin mengoreksi pernyataanmu. Tentu saja aku peduli, toh selama ini kita mengenal baik satu sama lain, bukan? Diantara kita, bukan aku yang tiba-tiba membalas dengan pendek dan salah tingkah saat berkumpul dengan yang lain. Aku tak pernah meminta apapun darimu, malah sebaliknya kau yang meminta ‘imbalan’, maka maafkan aku karena aku hanya manusia dan bukan tempat berharap. Biarkan aku menjadi pemilih, karena aku akan belajar mana kriteria yang benar-benar penting dan yang bukan. Dan, selamat berbahagia menemukan seseorang yang mau menerima kualifikasimu.
Comments
Post a Comment