Jadi tadi pagi (Senin, 14 maret 2016) aku dibikin geram gegara salah satu anak lab
di jurusanku ngajakin semua anak ikutan event
donor darah. Ada yang salah? Ada, di kata semua. Oke, aku kasih tahu
kenapa.
Di beberapa kota besar, terdapat komunitas blood for others,
tujuan komunitas ini adalah murni untuk penyebaran info kebutuhan stok darah.
Kalau di Jogja, tujuan operasi komunitas ini adalah memenuhi kebutuhan kantong
darah di Rumah Sakit Sardjito, rumah sakit pemerintah terbesar di Jogja.
Di info yang dirilis, akan jelas siapa nama pasien, berapa
kantong, golongan darah apa dan nomor yang bisa dihubungi. Grup Whatsapp juga
bersih dari informasi selain tentang donor darah. Seringkali komunitas ini
menyemangati satu sama lain saat ada yang tertolak juga memberi selamat kepada
yang berhasil. Donor darah ibarat perlombaan lari.
Iya, lomba lari. Lomba lari mencari pahala. Lomba menjadi
manusia paling berguna bagi sesamanya. Saking besarnya apresiasi komunitas ini
kepada pendonor sukarela, mereka menyediakan tulisan-tulisan unik yang bisa
jadi motivasi saat kegiatan donor beerlangsung. Para pendonor bebas memilih
tulisan yang ingin di foto, nantinya foto ini akan di upload ke twitter atau grup Whatsapp, menyebarkan lagi semangat
lomba lari tadi.
Di Jogja, banyak event
donor darah yang diadakan oleh kampus, supermarket, perusahaan, atau bahkan
mall. Jadi, selain mendonor di UPTD RS Sardjito dan PMI, sebenarnya kita
dimudahkan jika ingin berbuat baik kepada sesama, karena banyaknya channel untuk berbuat demikian.
Dengan banyaknya channel
ini, kita seakan diajak memilih ingin mendonor dimana. Mana yang adem, mana
yang lebih dekat dari rumah, mana yang antrinya kira-kira ga banyak. Iya,
seharusnya keinginan mendonor itu datang dari diri sendiri bukan paksaan.
Balik ke kalimat di atas, aku geram karena kenalanku ini
mempromosikan event lab nya tanpa
tahu apa saja dinamika menjadi pendonor darah. Ibarat marketing, dia tidak
paham produk apa yang ia jual. Bukan maksudku menantangnya untuk donor, tidak,
hanya saja menurutku ia harus paham syarat donor sebelum “terlalu bersemangat”
mengajak semua orang ikut.
Oiya, kata “semua” itu aku gunakan karena beberapa teman
yang tadinya mau ikut, bertanya padaku tentang waktu konsumsi obat terakhir,
siklus mens dan tekanan darah. Menurut penjelasan singkatku, mereka belum
memenuhi kriteria. Anak lab tadi tetap memaksa mereka dengan pembelaan “kan
nanti disana ada dokter”.
Bukan perkara ada dokter atau bukan, menyediakan dokter saat
event donor darah memang suatu
kewajiban, karena kita tidak pernah tau siapa yang sedang mengalami pengalaman
buruk saat pertama kali donornya. Entah jemari yang tiba-tiba menjadi biru atau
pingsan dengan keringat dingin. Menyediakan dokter memang kewajiban
penyelenggara, namun penyebaran informasi tentang syarat donor adalah kewajiban
kita semua.
Kalau dianalogikan pakai lomba lari tadi, para pelatih tak
akan mau melombakan anak didiknya yang belajar tumpuan kaki saat start nya saja salah, atau penggunaan
energinya boros, atau juga yang gampang menyerah. Untuk menjadi pendonor juga
ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi selain berat badan dan tekanan
darah (keduanya bisa dicek beberapa saat sebelum donor).
Seminggu sebelum dan sesudah menstruasi, seminggu setelah
mengonsumsi obat (obat alergi, demam, pilek, diare) adalah syarat yang sering
dikesampingkan. Akibatnya fatal, jika donor dilakukan mengganggu siklus mens,
maka kita akan kehilangan terlau banyak darah. Juga, jika jarak minum obat
terlalu dekat dengan waktu donor, ditakutkan zat yang terkandung obat masih belum
hilang dari darah kita.
Aku percaya, keinginan untuk mengajak donor juga merupakan
niat yang baik (karena, mengajak pada kebaikan mendapatkan satu pahala tanpa
mengurangi pahala yang diberi kepada yang melakukan), namun alangkah lebih
bijak jika kita juga menjadi agen pendidik bagaimana donor darah yang sehat.
Bukan hanya untuk pasien namun juga, pendonor.
Tambahan untuk posting kali ini adalah, ada perasaan
menyesal jika kita tertolak donor. Menyesal. Seperti tertolak cinta? Mungkin.
Tapi yang aku tau, itu nyesek, mengetahui
bahwa kita gagal membantu seseorang dengan darah kita. Indeed, ini sering terjadi, apalagi para perempuan yang hanya punya
seminggu emas untuk donor darah.
Jadi, selain paham dan menjadi agen penyebar informasi
tentang manfaat donor darah, kita juga harus menjadi pengamat yang baik
terhadap diri sendiri. Kenapa haemoglobin kita kurang? Kenapa tekanan darah
kurang, apa gegara begadang seminggu? Kenapa kekentalan darah kita tinggi?
Pahami saja, jika kita tertolak, itu juga merupakan keputusan terbaik,
dariipada kita membantu namun malah membahayakan resipien dan diri sendiri kan?
Comments
Post a Comment